Sedang Membaca
Kecamuk Pamuk
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Kecamuk Pamuk

Kecamuk Pamuk
[blockquote align=”left” author=”Orhan Pamuk”]“Aku tidak mau menjadi seorang pelukis,” ujarku. “Aku akan menjadi seorang penulis.”[/blockquote]

SEBUAH tekad yang kuat tampaknya telah diguratkan. Dan harus dijalankan. Memang, dunia kemudian tahu bahwa sang pengarang kalimat itu muncul sebagai seorang penulis dan pengarang cerita penting di era mutakhir ini. Dia adalah Orhan Pamuk, pengarang Turki peraih Nobel Kesusastraan 2006. Kalimat yang saya kutip di atas adalah bagian paling ujung dari bukunya yang terbit pada 2005, Istanbul: Memories of A City. Memoar ini dengan sangat memikat menuturkan keindahan Istanbul, dari sudut pandang seorang warganya yang peka menangkap sasmita keindahan itu.

Istanbul sebetulnya menceritakan riwayat hidup Pamuk, namun tidak terasa sebagai sebuah memoar melainkan lebih sebagai sebuah novel. Kisahnya kemudian dilekatkan pada sebuah bingkai yang kokoh, yaitu kota Istanbul yang muncul tidak hanya sekadar sebagai sebuah lanskap, melainkan sebagai sesosok makhluk yang seakan-akan berjiwa, yang punya riwayat, punya manis-getir pengalaman, dan punya indra untuk menyaksikan pelbagai peristiwa yang bermunculan di dalamnya, mulai dari masa keemasan dinasti Ottoman hingga masa keruntuhannya, dengan puing-puingnya yang kini menjadi ornamen kota Istanbul.

Satiris, Melankolis

Orhan Pamuk merupakan novelis terkemuka Turki saat ini. Dia dilahirkan sebagai Ferit Orhan Pamuk di Istanbul pada 7 Juni 1952 dari sebuah keluarga berada–ayahnya adalah  CEO pertama IBM Turki. Pamuk menghabiskan sebagian besar hidupnya di Istanbul, diselingi masa tiga tahun di New York saat dia menjadi dosen tamu di Universitas Columbia dari 1985 hingga 1988.

Setelah sempat kuliah arsitektur selama tiga tahun di Universitas Teknik Istanbul karena tekanan keluarganya yang ingin agar dia menjadi insinyur, Pamuk memutuskan ke luar untuk menjadi penulis penuh waktu dan berkonsentrasi menulis novel pertamanya–walaupun kemudian dia menyelesaikan kuliahnya di jurusan jurnalistik Universitas Istanbul pada 1977.

Pamuk yang awalnya lebih tertarik pada seni rupa, mulai menulis secara serius pada 1974. Novel pertamanya, Karanlik ve Isik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan dengan judul Cevdet Bey ve Ogullari (Tuan Cevdet dan Anak-anaknya) pada 1982, dan memenangkan Hadiah Sastra Orhan Kemal pada 1983. Novel ini berkisah ihwal tiga generasi sebuah keluarga Istanbul kaya yang hidup di Nisantasi, sebuah kawasan makmur di Istanbul, tempat Pamuk dibesarkan.

Baca juga:  Riwayat Danarto, Sastrawan Sufistik Itu..

Pilihan tepat atas jalan hidupnya ditandai dengan sejumlah penghargaan yang diraih Pamuk untuk karya-karya awalnya, termasuk Hadiah Madarali 1984 untuk novel keduanya Sessiz Ev (Silent House) dari Prix de la Decouverte Europeenne 1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel ini. Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985–diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai The White Castle pada 1990), memenangkan Independent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 1990 dan meluaskan reputasinya di luar negeri. The New York Times Book Review yang berwibawa itu, bahkan menulis perihal Pamuk dengan pujian meninju langit, “Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki.”

Novel Pamuk berikutnya, Kara Kitap (The Black Book, 1990), menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitas dan kekayaannya. Pada 1992, dia menulis naskah untuk film Gizli Yuz (Wajah Rahasia) berdasarkan novel Kara Kitap yang disutradarai oleh sineas Turki terkemuka, Omer Kavur. Novel keempatnya, Yeni Hayat (The New Life), menimbulkan sensasi di Turki saat terbit pada 1995 dan sempat menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu.

Reputasi Pamuk kian melambung seiring terbitnya novel Benim Adim Kirmizi (My Name is Red) pada 1998 yang mendapat sambutan hangat di pelbagai belahan dunia. Novel ini menggabungkan teka-teki misteri, kisah cinta, dan renungan filsafati yang berlatar masa kekuasaan sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah dalam sembilan hari di musim salju 1591, sekaligus mengajak pembacanya untuk mengalami ketegangan antara Timur dan Barat, dari perspektif yang sangat  memukau.

Kisah indah dan memikat ini bermula di Istanbul–simbol tonggak kejayaan Islam yang terakhir–di ujung abad ke enambelas, saat sang Sultan secara diam-diam menugaskan pembuatan buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman yang mengerjakan buku itu dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya, ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada akhirnya menguak jejak benturan peradaban (Timur-Islam) dan Barat (Eropa-Kristen)–dua cara pandang dunia berbeda yang pada akhirnya memicu konflik tak berkesudahan, bahkan hingga saat ini.

Baca juga:  Tadarus Rumi Bareng Haidar Bagir

Novel lain Pamuk adalah Kar (Salju, 2002–diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), yang membahas konflik antara Islam dan Barat di Turki Modern. The New York Times mencatat Snow sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik 2004. Sementara itu, terjemahan bahasa Prancis novel ini, Neige, meraih Prix Medicis 2005. Dus, tiga novel terbaru buah pena Pamuk adalah The Museum of Innocence (2010), A Strangeness in My Mind (2015), dan The Red-Haired Woman (2017).

Karya-karya Pamuk umumnya bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh benturan antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya kerap mengganggu dan menggelisahkan, dengan alur yang rumit nan memikat, serta penokohan yang kuat. Di negerinya sendiri yang penduduknya mayoritas muslim, dia dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rusdie dan membela hak-hak etnis minoritas Kurdi. Pamuk juga bicara lantang tentang hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isu-isu lingkungan hidup. Hingga kini novel-novelnya telah diterjemahkan ke sekitar tigapuluh bahasa dan menjadi buku laris di banyak negara. 

Seni Sang Pembangkang

Sebagai seorang novelis, Orhan Pamuk memang telah membuktikan bahwa tekadnya itu bukan sekadar isapan jempol. Tentu saja jalan yang ditempuhnya untuk mewujudkan tekad itu bukanlah jalanan yang mulus lurus, melainkan berliku, penuh tantangan, mulai dari ketidaksetujuaan sang ibu (yang ingin melihat anaknya menjadi arsitek, bukan menjadi pengarang), sampai kepada mendisiplinkan diri sendiri untuk menaklukkan kemalasan, rasa jemu, rasa cepat puas diri, dan rasa “perlu menunggu ilham datang terlebih dahulu”.

Sejak usia duapuluh dua tahun, Pamuk memutuskan untuk menempuh jalan hidup kepengarangannya itu. Kini usianya 64 tahun; artinya sudah 42 tahun dia habiskan hidupnya sebagai pengarang. Pamuk mendisiplinkan dirinya dengan menulis 10 jam sehari! Kepengarangan adalah sebuah pekerjaan, yang menuntut dedikasi dan ketekunan. Dengan kata lain, jalan kepengarangan adalah sebuah jalan yang harus diretas dengan “darah, airmata, dan doa (bagi yang memercayainya)”.

Baca juga:  Beberapa Kemiripan Bung Mahbub Djunaidi dan Gus Dur

Pamuk adalah salah satu contoh baik untuk melihat perjuangan berat seorang penulis, dalam melahirkan sebuah buku–puncak karya dari penulis yang mengagungkan gagasan. Dalam buku non-fiksinya yang terbit pada 2007, Other Colours: Essay and A Story (Writing on Life, Art, Books and Cities), Pamuk misalnya memberikan sedikit rahasia bagaimana dia menggarap novel Snow yang indah itu. Dia memerlukan empat kali kunjungan ke kota kecil Kars yang menjadi lokasi novelnya, kota yang mengusik Pamuk dan merangsangnya menuliskan novel tersebut. Dia mengumpulkan bahan-bahan, dengan melakukan observasi yang mendalam, lengkap dengan tape recorder dan kamera video untuk merekam percakapannya dengan warga Kars dan untuk merekam lanskap kota itu.

Dalam bagian lain dari buku esainya setebal 433 halaman itu, pengumpulan bahan-bahan dari lapangan saja belumlah cukup. Ada faktor lainnya yang tak kalah penting, setidaknya dalam kasus Pamuk, yakni membaca pelbagai buku. “Kemajuan seorang pengarang akan sangat tergantung buku-buku bermutu yang dibacanya. Namun membaca dengan baik bukanlah dengan mengamati perlahan-lahan teks yang ada di hadapan dengan menggunakan mata dan pikiran, melainkan dengan menyesapkan/menyatukan diri kita ke dalam jiwa dari buku yang sedang dibaca itu.” (halaman 109).

Arkian, resep yang dianut Orhan Pamuk ialah: pengamatan yang seksama dan teliti, bahan bacaan yang baik, perenungan yang dalam, lalu dilengkapi disiplin yang ketat untuk melahirkan sebuah karya. Aku percaya, inilah juga yang dilakukan oleh pengarang-pengarang kelas dunia lainnya. Dari deretan faktor ini, sering disiplin merupakan faktor yang terabaikan. Padahal, kendati bukan segala-galanya, disiplin adalah unsur penting bagi proses kelahiran sebuah buku. Apalagi jika ingin menjadi penulis nan produktif.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top