Sedang Membaca
Mengenal “Cerita Pendek Sekali” dalam Tradisi Sastra Arab
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Mengenal “Cerita Pendek Sekali” dalam Tradisi Sastra Arab

Dalam khazanah sastra Indonesia, kita mengenal cerita pendek atau cerpen. Di Arab sana, ada istilah Qisshah Qashirah Jiddan, cerita pendek sekali. Apa itu cerita pendek sekali? Bagaimana awal mula kemunculannya? gaya bahasanya? Apa saja temanya?

Mula-mula saya akan memulai tulisan ini dengan memberikan satu contoh Qisshah Qashirah Jiddan, tujuannya sederhana, saya ingin pembaca memiliki gambaran awal bagaimana bentuk Qisshah Qashirah Jiddan. Hitung-hitung sebagai perkenalan awal antara pembaca dengan Qisshah Qashirah Jiddan, langsung saja berikut ini contohnya:

غَضَبٌ

هَمَّتْ بَعُوْضَةٌ بِلَدْغِ قَدَمِ فَلّاحٍ حَافٍ، وَكَانَتْ قَدْ جَذَبَتْهَا الرَّائِحَةُ، لَكِنَّهَا لَمْ تَسْتَطِعْ إِدْخَالَ خُرْطُوْمِهَا فَطَارَتْ مُغْضِبَةٌ وَهِيَ تَقُوْلُ يَا له مِنْ جلد؟؟

MARAH

Seekor nyamuk bermaksud menggigit kaki telanjang seorang petani, baunya telah menariknya untuk datang, tetapi ia tidak berhasil memasukkan belalainya. Maka, dengan keadaan marah nyamuk itu pun terbang sambil berujar, “alangkah kerasnya kulit kaki petani itu!!?”

Qisshah Qashirah Jiddan berjudul “Ghadab” di atas saya kutip dari penelitian kritikus sastra Arab dari UIN Sunan Kalijaga, Tatik Mariyatut Tasnimah.

Singkat dan nyaris sangat singkat struktur narasi dari contoh Qisshah Qashirah Jiddan yang saya sajikan di atas, namun perlu dipahami, di balik strukturnya yang mungil dan singkat, Qisshah Qashirah Jiddan menyajikan narasi yang rampung, selesai. Persis dan nyaris sejalan dengan namanya Qisshah Qashirah Jiddan, cerita sangat pendek.

Tatik Mariyatut Tasnimah yang mengutip pendapat Ahmad Jasim al-Husein menyebutkan, bahwa penggunaan istilah Qisshah Qashirah Jiddan (QQJ) dalam tataran sastra Arab mulanya belum berlaku permanen. Di samping istilah QQJ, ada beberapa penamaan yang dipakai untuk menyebut fiksi dengan ukuran mini ini, antara lain lauhah qashashiyah, wamdat qashashiyah, maqtu’at qashirah, burturaihat, maqati’ qashashiyah, masyahid qashashiyah, malamih qashashiyah, khawatir qashashiyah, al-khatirah, al-qisshah al-qashirah asy-syaʼiriyyah, al-qisshah al-qashirah al-lauhah.

Lebih lanjut, rupa-rupanya istilah Qisshah Qashirah Jiddan lebih populer digunakan. Kepopuleran nama ini dilatari karena kecocokan Qisshah Qashirah Jiddan yang di dalamnya mengungkapkan maksud secara detail dan jelas, yakni dengan strukturnya yang pendek dan penyampaiannya yang bersifat naratif. Pada milenium ketiga inilah kemudian Qisshah Qashirah Jiddan (cerita sangat pendek) disandingkan dengan Qisshah Qashirah (cerpen/cerita pendek), Riwāyah (novel) yang merupakan sastra naratif kontemporer.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (7): The Sun, Membuat Kita Tak Bisa Berpaling dari Majid Majidi

Mula Munculnya Istilah Qisshah Qashirah Jiddan 

Istilah Qisshah Qashirah Jiddan mulai muncul pada awal milenium ketiga. Qisshah Qashirah Jiddan sekaligus menunjuk sebuah genre baru dalam pusparagam sastra Arab, khususnya dalam kelompok fiksi naratif.

Namun, agaknya kemunculan istilah Qisshah Qashirah Jiddan ini memiliki dua ujung pendapat yang berbeda. Pendapat yang pertama diwakili oleh kritikus Ahmad Jasim Husein yang mengatakan bahwa Qisshah Qashirah Jiddan adalah genre sastra modern yang muncul akibat pengaruh langsung dari sastra Barat. Sementara itu, pendapat kedua diwakili oleh kritikus dari Palestina, Yousef al-Hittini yang menyatakan bahwa akar Qisshah Qashirah Jiddan sudah ada sejak lama dalam sastra Arab.

Ujung pendapat kedua, rupanya sejalan dengan pendapat Mahmud Taymur dan Faruq Khursyid berkenaan dengan munculnya cerpen sebagaimana dikutip oleh Syukri Muhammad Ayyad dan Anis al-Maqdisi mengenai sastra narasi secara umum. Itu artinya teks-teks Qisshah Qashirah Jiddan telah muncul mendahului namanya. Fenomena ini menjadi wajar karena banyak sekali tathbiq (praktik) yang mendahului nadzari (teori), atau lebih mudahnya lagi banyak sekali bayi yang lahir mendahului namanya, kalaupun nama bayi telah ada sebelum lahirnya jabang bayi, itu hanya alternatif, opsional saja.

Sebagai orang yang ingin memperkenalkan Qisshah Qashirah Jiddan kepada pegiat sastra Arab di Indonesia, agaknya saya lebih condong setuju kepada ujung pendapat kedua yang secara gamblang mengatakan bahwa teks-teks Qisshah Qashirah Jiddan telah muncul mendahului namanya atau istilahnya. Hal ini nampak jelas sekali jika kita melihat karya sastrawan Arab dari Maroko, Ibrahim bin Ali al-Hushri atau yang terkenal dengan nama kuniyahnya Abu Ishaq al-Hushri al-Qayrawani (w. 453 H/1061 M).

Baca juga:  Bagaimana Gus Dur Mengenalkan Gus Mus kepada Kaum Seniman?

Karya Abu Ishaq al-Hushri al-Qayrawani yang saya maksud adalah Jamʼu al-Jawahir fi al-Milhi wa al-Nawadir. Penamaan kitab ini muncul setelah adanya tahqīq terhadap manuskrip kitab Abu Ishaq al-Hushri al-Qayrawani. Jika kita melihat tahun wafat dari Abu Ishaq al-Hushri al-Qayrawani yang jauh sebelum munculnya Qisshah Qashirah Jiddan dan beliau telah menyusun sastra narasi yang masuk dalam kategori Qisshah Qashirah Jiddan, maka benar bahwa teks-teks Qiṣṣah Qaṣīrah Jiddan telah lahir medahului penamaannya.

Berikut ini saya ambil salah satu kisah yang ada dalam Jamʼu al-Jawahir fi al-Milhi wa al-Nawadir:

غَفْلَةٌ

مَرَّ رَجُلٌ بِإِنْسَانٍ وَعَلَى عَاتِقِهِ عَصَا فِيْ طَرَفَيْهَا زَنْبِيْلَانِ قَدْ كَادَا يَحْطِمَانَهُ، فِيْ أَحَدِهِمَا بُرٌّ وَفِيْ الآخَرِ تُرَابٌ. فَقَالَ: لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: عَدَّلْتُ البُرَّ بِالتُّرَابِ، لِأَنَّهُ كَانَ قَدْ أَمَالَنِيْ إِلَى أَحَدِ جَنْبِيْ؛ فَأَخَذَ الرَّجُلُ زَنْبِيْلَ التُّرَابِ وَقَلَّبَهُ وَقَسَّمَ البُرَّ نِصْفاً فِي الزَّنْبِيْلَيْنِ. وَقَالَ: الآنَ فَاحْمِلْ، فَحَمَلَهُ فَخَفَّ عَلَيْهِ؛ فَقَالَ: مَا أَعْقَلَكَ مِنْ شَيْخٍ!.

TELEDOR

Seorang laki-laki berjalan dengan seseorang yang melintangkan sebilah tongkat di bahunya, di kedua ujung tongkat itu terdapat keranjang yang penuh dengan muatan, sampai-sampai tongkatnya melengkung menahan bebannya. Kerangjang satunya berisi gandum, sementara keranjang yang lain berisi pasir. “Kenapa engkau memikul seperti itu?” tanya laki-laki itu. “Aku menyeimbangkan gandum yang kubawa dengan pasir. Pasir ini hanyalah untuk keseimbangan, agar pikulanku tidak miring.”  

 

Mendengar jawaban itu, laki-laki tadi langsung mengambil kantong yang berisi pasir dan menumpahkannya. Lalu membagi gandum menjadi 2 bagian dalam 2 kantong seraya berkata, “Nah, sekarang pikullah!” Orang itu pun memikulnya dan merasa ringan. “Wah, cerdas sekali Anda!” katanya takjub.

Salah satu karya Abu Ishaq al-Hushri al-Qayrawani yang saya kutip di atas menunjukkan, bahwa teks-teks atau naskah Qisshah Qashirah Jiddan telah dahulu lahir, jauh mendahului istilah Qisshah Qashirah Jiddan itu sendiri yang baru muncul di milenium ketiga.

Baca juga:  Seni Islam: Diba` dan Kasidah Khas Madura

Qisshah Qashirah Jiddan sebagai Genre Sastra 

Setidak-tidaknya jika mengutip wawancara Meriem Beghibegh–seorang akademikus sastra Arab dari Universitas Abdel Hafid Boussouf Mila Aljazair– yang mewawancarai Jamil Hamdawi–kritikus sastra Arab dari Maroko– ada tiga pendapat terkait Qisshah Qashirah Jiddan sebagai genre baru sastra Arab. Sekadar info, hasil wawancara Meriem Beghibegh kepada Jamil Hamdawi telah dibukukan di tahun 2020 dengan tajuk “ Qisshah Qashirah Jiddan wa al-As’ilah al-Kabirah Jiddan“. 

Berikut ini tiga pendapat dalam paparan Jamil Hamdawi saat ditanya Meriem Beghibegh  ihwal Qisshah Qashirah Jiddan sebagai genre baru sastra Arab:

Pertama, sikap yang mendukung kemandirian Qisshah Qashirah Jiddan sebagai genre tersendiri dan optimis dengan masa depannya yang dipelopori oleh Ahmad Jasim al-Husein, Yusuf al-Hatini, dan Jamil Hamdawi sendiri. Keoptimisan Jamil Hamdawi dibuktikan dengan banyaknya buku yang ia tulis yang membahas Qisshah Qashirah Jiddan, tidak berhenti sampai disitu ia pun menerapkan berbagai teori sastra untuk meneliti Qisshah Qashirah Jiddan. Salah satunya adalah penelitiannya di tahun 2019 yang membedah Qisshah Qashirah Jiddan di Arab Saudi dan menjadikan karya Hasan Ali Batran sebagai objeknya.

Kedua, sikap negatif yang menolak Qisshah Qashirah Jiddan sebagai genre yang otonom yang diwakili cerpenis Maroko, Ahmad Buzfur. Ketiga, sikap yang wait and see, tidak menolak tetapi juga tidak mendukung, dan inilah sikap mayoritas para kritikus sastra Arab yang diwakili Suad Miskin dan Salma Barahimah dari Maroko.

Apa yang saya sajikan di atas hanya sekelumit dari pembahasan dan perdebatan ihwal Qisshah Qashirah Jiddan. Di atas saya belum membahas di negara mana saja Qisshah Qashirah Jiddan berkembang, kemudian siapa saja penulis yang menekuni Qisshah Qashirah Jiddan. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat. Sekian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
3
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top