Bagi seorang sastrawan, segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dapat menjadi inspirasi dalam menciptakan karyanya. Tak peduli peristiwa itu bersifat menggembirakan maupun menyedihkan bagi manusia.
Segala yang ada di sekeliling seorang sastrawan seolah menjadi materi yang tak akan pernah habis untuk ditumpahkan kedalam rangkaian kata dan kalimat. Kepiawian seorang sastrawan terletak pada bagaimana mengolah peristiwa menjadi untaian bahasa yang artistik.
Adalah Ibnu al-Wardi seorang sastrawan Arab era Dinasti Mamluk, yang pernah mengabadikan dahsyatnya wabah Tho’un. Nama lengkapnya adalah Umar bin Muzhaffar bin Umar bin Muhammad bin Abi al-Fawaris Abu Hafsh Zainuddin bin al-Wardi al-Ma’arri al-Kindi. Lahir di Ma’arrah al-Nu’man (sekarang terletak di Suriah) pada 691 H.
Sejak kecil, Ibn al-Wardi sudah menampakkan kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Ia memperdalam ilmu agama pada Fakhruddin Abu Amr (Ibn Khathib Jibrin), Shadruddin Abu Abdillah (Ibn al-Wakil), Abas bin Isa bin Ali al-Ulaimi, dan pemuka agama lainnya pada waktu itu. Tidak cukup itu, Ibn al-Wardi pun belajar berbagai ilmu pengetahuan hingga ia mumpuni dalam dunia sastra.
Karir Ibn al-Wardi tergolong cemerlang. Ia pernah menjadi wakil hakim di kota Aleppo, kemudian bekerja sebagai hakim di kota Shaizar dan Manbij. Selepas bekerja dalam dunia hakim, Ibn al-Wardi memilih menikmati hidupnya di kota Aleppo. Di sana, ia menghabiskan waku untuk menulis dan menulis. Diantara karyanya adalah Kitab al-Bahjah al-Wardiyah, Kitab Buhur al-Syi’r, Kitab al-Syihab al-Tsaqib fi al-Tashawwuf, Kharidah al-Aja’ib wa Faridah al-Ghara’ib, Risalah al-Naba’ an al-Waba, dan beberapa kitab lainnya.
Yang menarik dan unik dari beberapa karya Ibn al-Wardi tersebut adalah Risalah al-Naba’ an al-Waba. Karya yang satu ini merupakan tulisan Ibn al-Wardi yang menceritakan tentang peristiwa besar, yaitu wabah Tho’un yang melanda dunia Islam pada saat itu. Uniknya, peristiwa luar biasa itu diuraikan dalam bait-bait puisi. Oleh sebagian sejarawan sastra Arab, bait-bait puisi Ibn al-Wardi ini disinyalir sebagai awal munculnya sastra maqamat dalam dunia sastra Arab. Sejenis sastra naratif yang pemaparannya menggunakan bahasa bersajak, yang di dalamnya ada narator, tokoh, dan joke-joke yang dapat dijadikan nilai pelajaran.
Raed Abdul Raheem (2010) mengatakan bahwa Risalah al-Naba’ an al-Waba karya Ibn al-Wardi memiliki signifikansi bagi dunia Islam. Pertama, scara sosial-historis karya ini telah memberikan informasi tentang sejarah wabah yang pernah melanda dunia Islam pada era Dinasti Mamluk. Kedua¸secara artistik karya ini mencerminkan perkembangan dunia kesastraan Arab pada era Dinasti Mamluk, khususnya sastra ala Ibn al-Wardi.
Ibn al-Wardi melalui Risalah-nya mencatat bahwa wabah Tho’un yang melanda pada zamannya merupakan wabah keenam yang pernah terjadi dalam dunia Islam. Menurutnya, kota Aleppo menjadi titik awal munculnya wabah. Tepatnya, dimulai pada 1 Jumadil Ula. Setiap hari wabah ini telah merenggut ribuan nyawa. Di kota Aleppo, setidaknya minimal 500 ribu nyawa melayang. Termasuk juga Damaskus lebih dari seribu nyawa manusia melayang.
Sementara, Ibn al-Wardi menggambarkan tempat kelahirannya, Ma’arrah al-Nu’man, sebagai tempat yang tidak terdampak oleh wabah. Ibn al-Wardi mengilustrasikan dengan apik dalam bait puisi:
Kemudian dia (wabah Tho’un) masuk ke Ma’arrah al-Nu’man
“Kamu aman dari aku,” kata wabah kepadanya.
Kemudian ia kembali berkata kepada Shaizar dan Hareem: “jangan takut padaku!”
Kalian berdua, sebelum dan sesudahnya, selamat dari ku.
Tidak hanya melanda dunia Islam, wabah Tho’un ini pun menyebar ke hampir seluruh wilayah dunia, dari mulai Hindia, Afghanistan, Cina, Romawi, Aljazair, dan bahkan Antokia. Wabah ini benar-benar menggelobal, tidak saja dunia Islam tetapi juga wilayah dunia yang lain. Ibn al-Wardi mengatakan:
Wabah Tho’un ini begitu mematikan
Membawa kabar kegelapan
Tak ada benteng yang dapat mengahalanginya
Meluluh-lantahkan Hindia.”
Dalam ilustrasi yang lain, Ibn al-Wardi menggambarkan dahsyatnya wabah Tho’un dalam bait puisi:
Ingatah, wabah ini telah meluas
Hampir memuntahkan kibasan anginnya
Tak ada yang bisa selamat darinya
Kecuali atas rahmat Allah
Kedahsyatan wabah Tho’un pada saat itu menjadikan manusia dalam perasaan penuh kecemasan. Ibn al-Wardi menggambarkan suasana batin penduduk Aleppo ketika itu; sebagian bertaubat mendekatkan diri kepada Allah, ada yang banyak melakukan amal kebajikan, sebagian meratapi kemaksiatan yang pernah dilakukan. Putus harapan, memperbanyak kebajikan, dan memperbanyak bekal akhirat, menjadi cermin perasaan penduduk Aleppo ketika wabah terjadi.
Ada yang menasehati anaknya
Ada yang berpamitan tetangganya
Ada mempersiapkan amal
Ada yang mempersiapkan kain kafan
Ada yang berbuat baik kepada musuhnya
Ada yang bersikap baik kepada kawannya
Ada memperbanyak sedekah
Ada yang bersahat kembali dengan orang yang pernah mengkhianatinya
Ada yang menginfakkan hartanya
Ada yang membebaskan budaknya
Ada yang mengubah akhlaknya
Ada yang memperberat timbangan amalnya
Catatan sejarah peristiwa wabah Tho’un yang dilakukan oleh Ibn al-Wardi, menurut para peneliti, dianggap cukup akurat dan detil. Detil peristiwa yang digambarkan dalam Risalah-nya tidak jauh berbeda dengan catatan sejarawan muslim lainnya, seperti Ibn Taghry Bardy yang telah menulis kitab al-Nujum al-Zahirah fi Tarikh Muluk al-Qahirah.
Mungkin Risalah al-Naba’ an al-Waba yang ditulis oleh Ibn al-Wardi merupakan satu-satunya karya sastra yang telah mendokumentasikan peristiwa sejarah secara apik dalam bahasa yang artistik. Peristiwa wabah Tho’un yang telah meminta korban ribuan nyawa manusia, telah dikemas dengan sangat luar biasa kedalam narasi sastrawi. Risalah Ibn al-Wardi ini mengingatkan kita pada betapa pentingnya karya sastra sebagai dokumen sejarah.
Namun sayang, indahnya kesaksian Ibn al-Wardi atas peristiwa wabah penyakit Tho’un tidak menjadikan dirinya bisa lepas dari wabah itu sendiri. Akhirnya, Ibn al-Wardi pun menghembuskan nafas terakhirnya akibat terkena wabah Tho’un itu sendiri. Ia meninggal tahun 749 H.