Nanda Winar Sagita
Penulis Kolom

Pengajar sejarah dan penulis lepas, tinggal di Takengon, Aceh Tengah.

Naguib Mahfouz dan Orhan Pamuk, Dua Sastrawan yang bergelut dengan Agama dan Bangsanya

Dalam salah satu twit bernada satir yang diposting pada 8 Agustus 2013, Richard Dawkins—ahli biologi-evolusi Inggris yang masyhur dengan buku The God Delusion itu—mengatakan: “Muslim di seluruh dunia mendapatkan lebih sedikit Nobel dibandingkan lulusan Trinity College, Cambridge. Meskipun mereka telah melakukan hal-hal hebat di Abad Pertengahan.”

Merujuk kepada twit tersebut, tentu saja itu adalah fakta yang tidak terelakkan. Sejak pertama kali diberikan pada tahun 1901 silam, Penghargaan Nobel telah dianugerahkan kepada 935 penerima, yang mana terdiri dari 27 organisasi dan 908 individu. Meskipun tidak etis mengaitkan agama seseorang dengan konstribusinya bagi dunia, tetapi jika ditilik dari latar belakang agama masing-masing individu, maka “Nobelis” yang berasal dari agama Islam hanya 12 orang atau sekitar 1,4% dari total keseluruhan.

Sebagai perbandingan, dalam cuitan tersebut, Dawkins juga menyinggung kejayaan Islam di Abad Pertengahan. Faktanya, sepanjang abad  ke-7 sampai abad ke-13, dunia Islam memang telah banyak melahirkan banyak ilmuwan dan filsuf cemerlang. Hal itu pula yang menjadi landasan Martin Kramer, sejarawan Amerika-Israel, menulis sebuah artikel berjudul Islam’s Sober Millennium. Di salah satu alinea dia menyimpulkan:

“Seandainya Hadiah Nobel sudah ada sejak tahun 1000, maka secara ekslusif pasti akan diberikan kepada orang-orang Muslim.”

Namun, di samping itu, Penghargaan Nobel sendiri sebenarnya kerap diterpa kritik dan kontroversi, meskipun mayoritas masyarakat masih menjadikannya sebagai acuan dalam menilai pengaruh seseorang di dalam bidang yang telah ditentukan. Tanpa mengabaikan bidang lain, sudah menjadi semacam kesepakatan kolektif bahwa Nobel Sastra selalu menjadi hal paling menarik untuk diperbincangkan.

Baca juga:  Menelusuri Karya Ulama Nusantara di Perpustakaan IRCICA Istanbul

Naguib Mahfouz: Suara Kebebasan dari Dunia Arab

Pada 14 Oktober 1994, Naguib Mahfouz hendak pergi naik mobil bersama seorang temannya yang kebetulan adalah dokter. Namun sebelum berangkat, dua orang pemuda menghampiri mobil mereka. Mahfouz menyambutnya dengan membuka jendela karena mengira kedua pemuda itu adalah penggemar. Nahasnya, salah satu dari mereka malah menikam leher sang sastrawan dan langsung melarikan diri sebelum pada akhirnya tertangkap.

Beruntung, temannya langsung membawa Mahfouz ke rumah sakit sehingga nyawanya masih sempat diselamatkan.

Insiden itu terjadi di Kairo, saat Mahfouz berusia 82 tahun. Belakangan diketahui pemuda yang berhasil menikamnya bernama Mohammed Nagi, seorang ekstremis yang bahkan belum pernah sekalipun membaca karya-karyanya. Meskipun demikian, alasannya melakukan hal itu karena perintah dari atasannya yang menganggap Mahfouz telah murtad dan menjadi kafir lantaran menulis buku Children of Gabelawi.

Children of Gabelawi sebenarnya sudah diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung dalam surat kabar Al-Ahram pada 1959. Mahfouz langsung mendapat kecaman yang keras dari para ulama Al-Azhar karena dianggap telah menodai agama. Hal itu disebabkan karena alur dan tokoh-tokohnya sangat identik dengan rangkaian kisah dalam kitab suci serta penggambaran Tuhan dan nabi-nabi utama dalam agama abrahamik, khususnya Islam. Oleh sebab itu, para ulama Mesir melarang publikasi dalam bentuk buku. Pelarangan itu kemudian diikuti oleh semua negara Arab, kecuali Lebanon; sehingga pada tahun 1967, untuk pertama kalinya Children of Gabelawi diterbitkan di sana.

Pandangan sekuler Mahfouz memang tergambar jelas dalam karya-karyanya. Pada 1960-an, novel-novelnya cenderung mengangkat tema tentang manusia yang semakin jauh dari Tuhan. Selain itu, dia juga tertarik pada cita-cita sosialis dan demokratis sebagai bentuk antipati terhadap ajaran Islam yang diyakini oleh golongan konservatif. Pandangan sekuler tersebut juga tercermin dari kehidupan pribadinya.

Baca juga:  Siti Badilah Zubair, Feminis Awal di Muhammadiyah

Pada 1954, dia menikah dengan seorang perempuan Kristen Koptik yang bernama Atiyyatallah Ibrahim. Dia juga mengatakan bahwa menjadi manusia berbudi luhur jauh lebih penting ketimbang berdoa, berpuasa, atau menyentuhkan dahi di atas sajadah. Itulah sebabnya dia sama sekali tidak pernah menunaikan ibadah haji, meskipun sesekali masih sempat melaksanakan salat.

Orhan Pamuk: Berdiri di Antara Timur dan Barat

30 Agustus 2006 Mahfouz wafat. Tidak lama setelah itu, tepatnya 12 Oktober 2006, Akademi Swedia mengumumkan Orhan Pamuk sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 2006. Meskipun Pamuk tercatat sebagai orang Turki pertama yang dianugerahi penghargaan tersebut, tapi pemerintah saat itu sama sekali tidak menyambut dengan baik; sebab mayoritas dari mereka menganggap kemenangan itu dilandasi dengan nuansa politik.

Anggapan tersebut tidak terlepas dari kasus yang tengah menimpa Pamuk. Dia dituduh menghina negara setelah membuat pernyataan tentang Genosida Armenia dan pembunuhan massal atas orang-orang Kurdi yang terjadi di Turki. Akibatnya, buku-bukunya dibakar oleh kaum nasionalis dalam sebuah aksi unjuk rasa di kota Bilecik, sebelum pada akhirnya dia digugat ke pengadilan.

Pembakaran buku mendapatkan reaksi dari dunia internasional: delapan penulis terkenal dunia juga mengajukan pembelaan bersama terhadap Pamuk, mereka adalah Carlos Fuentes, Gabriel García Márquez, Günter Grass, John Updike, José Saramago, Juan Goytisolo, Mario Vargas Llosa, dan Umberto Eco. Pada 29 Desember 2005 tuntutan itu akhirnya dicabut oleh pengadilan Turki.

Baca juga:  Tuan Guru Sapat: Mufti yang Menolak Digaji

Terlepas dari kasus tersebut, kemenangan Pamuk sebenarnya sudah sangat layak. Hampir dalam tiap bukunya, dia selalu mengangkat tema tentang pembenturan budaya antara Timur dan Barat. Selain itu, Pamuk juga selalu menjadikan agama—dalam hal ini berarti Islam—sebagai salah satu unsur paling penting dalam tulisannya.

Pandangan agama Pamuk atas agama bisa dibaca dengan jelas dalam memoarnya yang berjudul Istanbul: Memories and the City. Dengan sedikit angkuh, Pamuk dengan tegas mengatakan bahwa dia sama sekali tidak terlalu membutuhkan Tuhan. Dia menulis:

“…tak seorang pun dari keluarga saya yang memandang perlu untuk memberi saya ajaran agama. Mungkin mereka tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada saya: saya tidak pernah melihat satu orang pun dari keluarga saya yang sujud di atas sajadah, berpuasa, dan mengucap doa-doa. Dalam hal ini, keluarga saya sama dengan keluarga-keluarga borjuis Eropa yang tidak percaya pada Tuhan, tetapi tidak memiliki keberanian untuk memutuskan ikatan penghabisan.”

Meskipun demikian, dalam sebuah wawancara dengan Der Spiegel, Pamuk mengakui tidak akan pernah mengatakan bahwa dirinya seorang ateis. Dia tetap mengidentifikasi diri sebagai seorang muslim, akan tetapi itu hanya sebatas pada ikatan sejarah dan budaya saja.

Di samping itu, dia sama sekali tidak percaya pada hubungan pribadi dengan Tuhan. Pernyataan tersebut juga tercermin dari pandangan politiknya, yang menganggap golongan islamis sebenarnya tidak punya hubungan apapun dengan Islam, sebagaimana yang disangka oleh kebanyakan orang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top