Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Hari Asyura, Menelusuri Makam Kepala Husain

Sumber-sumber Syiah menyebutkan bahwa makam kepala Sayyidina Husain yang mulia berada di Karbala. Namun sumber-sumber selain Syiah menyebutkan berbagai macam tempat tak hanya Karbala.

Perbedaan sumber ini dipicu oleh kejadian setelah kepala beliau dibawa ke Yazid putra Muawiyah RA. Apa yang terjadi berikutnya masih diperselisihkan oleh para ulama Sunni. Mereka menyebut enam kemungkinan tempat: Damaskus, Karbala, Raqqa, Ashkelon, Kairo, dan Madinah.

Asy-Syablanji, seorang muta’akhirin bermazhab Syafi’i dari Mesir menceritakan dalam Nurul Abshar (hlm. 267) bahwa setelah pembantaian Karbala, keluarga, tentara, dan kepala Husain digiring layaknya tawanan memasuki Kufah menuju Ibn Ziyad, pemimpin Kufah yang memerintahkan menyergap Husain di Karbala. Ketika itu, rakyat Kufah menangis dan Ali bin Husain yang masyhur dikenal sebagai Imam Zainal Abidin bertanya-tanya, jika semua orang Irak menangis iba pada kami, lantas siapa sebenarnya yang tega membunuh kami?

Setelah dari Kufah, rombongan serta kepala Husain diarahkan ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid. Sampai di sini para sejarawan masih sepakat. Namun setelah dibawa kepada Yazid para sejarawan berbeda pendapat. Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah (2/1122) meriwayatkan dari Mazhab Imamiyah bahwa kepala Husain berhasil diambil dan disatukan dengan badan beliau di Karbala pada hari keempat puluh setelah tragedi Karbala. Oleh karena itu, pada 20 Safar Karbala akan ramai dikunjungi peziarah untuk memperingati hari berkumpulnya kepala dan jasad beliau. Namun sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada sumber rujukan Sunni tentang riwayat ini.

Sementara Abbas Aqqad dalam Abqariyyat (3/297) menukil dari Sibt Ibn Jauzi bahwa tatkala kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia mengirimkan kepala itu kepada keluarga Abu Mu’aith. Keluarga Abu Muaith sendiri tinggal di Raqqa, lalu kepala itu dimakamkan di salah satu rumah mereka sebelum akhirnya digusur untuk pembangunan Masjid Jami. Penulis sendiri tidak bisa memastikan apakah Abu Mu’aith yang dimaksud ini adalah ayah dari ‘Uqbah, satu-satunya orang yang pernah dibunuh Nabi SAW. Lagi pula, riwayat Sibth Ibn Jauzi ini tidak berhasil penulis telusuri di beberapa kitab asli beliau.

Sementara As-Sakhawi dalam Tuhfah al-Lathifah (hlm 514) menukil bahwa kepala Husain diarak keliling Damaskus dan berhenti di Masjid Jami. Setelah itu, kepalanya dimakamkan di bawah tiang masjid yang menghadap kiblat. Ibn Hibban berkata—sebagaimana ditulis Al-Sakhawi, “Aku setuju hal ini”. Namun As-Sakhawi juga menyebut versi lain yang menyatakan kepalanya berada di menara ketiga Bab Firdaus di Damaskus.

Baca juga:  Refleksi Santri Nurul Jadid atas Hari Santri Nasional

Sementara Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (8/204) menulis jika kepala Husain sempat digantung di pusat Kota Damaskus selama tiga hari. Setelah itu, kepalanya disimpan di dalam brangkas senjata. Ketika Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa ia meminta agar kepala itu diambil. Ketika itu kepalanya hanya tersisa tengkorak dan Sulaiman memerintahkan agar kepala itu dikafani dan dimakamkan di pemakaman umum orang Islam. Namun beberapa tahun berselang kelompok musawwadah (maksudnya Abbasiyah) menggali makam itu dan mencurinya.

Menariknya, dalam Tarikh al-Islam (2/583) Adz-Dzahabi sempat merekam sebuah kisah riwayat yang unik dari seorang pria bernama Abu Karb:

“Aku (Abu Karb) termasuk pemberontak yang menerobos istana Al-Walid bin Yazid. Aku juga termasuk orang yang merampok dan masuk ke dalam brangkas istana. Lalu aku menemukan safath (tempat perempuan menyimpan perlengkapannya) dan aku berpikir barangkali hal ini akan mencukupi kebutuhanku. Lalu aku keluar dan memacu kudaku. Ketika aku sudah keluar dari Bab Tuma, aku berhenti dan membuka kotak safath itu. Ternyata di dalamnya berisi sebuah benda yang dibungkus sutra. Ketika aku buka isinya adalah kepala dan bertuliskan ‘ini adalah kepala Husain’. Lalu aku ambil pedangku dan menggali tanah. Aku kubur kepalanya di situ.”

Bab Tuma atau Gerbang Thomas adalah salah satu dari tujuh gerbang kuno yang ada di Damaskus. Cerita di atas menarik bukan hanya karena tampak asli (meskipun secara sanad harus diteliti lagi). Namun juga bisa diambil mafhum bahwa kepala Husain masih utuh. Dalam ilmu kalam sendiri lazim diajarkan bahwa martir (orang yang mati syahid) jasadnya tidak akan hancur (lihat di Nazham Zubad Ibn Ruslan, misalnya).

Baca juga:  Mengenal Peradaban Kitab di Pesantren

Sementara itu Al-Qalqasyandi dalam Ma’atsir al-Inaqah sempat menyitir sebuah qiil (pendapat) bahwa kepala Husain dimakamkan di Ashkelon. Mengenai prosesnya, Asy-Syablanji dalam Nurul Abshar menceritakan bahwa ketika kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia memerintahkan agar kepala itu diarak keliling kota. Akhirnya arak-arakan itu terus berjalan dan baru berhenti di Ashkelon. Lalu amir Ashkelon memerintahkan agar kepalanya dimakamkan di situ.

Jika kepala beliau memang benar di Ashkelon, maka pendapat selanjutnya yang mengatakan kepala Husain berada di Kairo juga akan memiliki kemungkinan benar. Karena proses perpindahan kepalanya adalah—sebagaimana ditulis Al-Qalqasyandi—ketika Raja Al-Faiz bi Dinillah (salah seorang raja Syiah Fathimi yang berkuasa di Mesir) hendak membangun universitas (jami’/masjid jami?) ia ingin agar kepala Husain dibawa ke sana. Akhirnya Al-Faiz memerintahkan Thala’i bin Ruzzik untuk menyogok warga Ashkelon agar mau memindah kepala Husain ke Kairo. Asy-Syablanji menyebut uang suap yang dikeluarkan Thala’i bernilai tiga ratus ribu Dinar. Akhirnya mereka setuju dan tentara Dinasti Fathimi berangkat ke Ash-Shalihiyyah seraya tidak memakai sandal untuk menghormati kepala Husain dan menjemputnya di sana.

Makam Kairo ini tampaknya dibenarkan oleh Al-Qalqasyandi—juga oleh ahli tasawuf semacam Asy-Sya’rani dalam Minan-nya. Namun riwayat ini sendiri ditolak mentah-mentah oleh Ibn Taymiyyah. Beliau mengatakan bahwa baik masyhad Husain yang ada di Ashkelon maupun Kairo bukanlah lokasi asli kepala Husain. “(Yang ada di Ashkelon itu) tidak ada tanda-tanda bahwa itu kuburan orang Islam,” ujar beliau dalam risalah beliau Ra’su Husain halaman 14, “Apalagi kuburan kepala Husain!” ia  lebih suka jika itu kuburan orang Nasrani.

Begitu juga di Kairo, ia sama sekali tidak setuju jika itu disebut sebagai makam kepala Husain. Bahkan, ia menggunakan perkataan Al-Hafizh Al-Qasthalani bahwa yang di Kairo itu kuburan seorang pendeta. Sayang sekali Ibn Taymiyyah tidak memberi rujukan atas ucapan Al-Qasthalani di atas.

Lantas di mana makam kepala beliau? Menurut mayoritas ulama—juga Ibn Taymiyyah—makam beliau berada di samping ibunya, Sayyidatuna Fathimah radhiya Allahu anhum ajma’in di Baqi’. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat yang disampaikan baik oleh Ath-Thabari, Adz-Dzahabi, Ibn Katsir dan lain-lain. Sejarawan barat terkemuka Philip Hitti sendiri lebih condong kepada pendapat ini.

Baca juga:  Lukisan Farshchian, dari Karbala hingga London

Terlepas dari itu, wafatnya Husain adalah duka bersama umat Islam apa pun aliran dan golongannya. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top