Sedang Membaca
Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

Petualangan Gus Dur Muda di Kairo

Bagi banyak mahasiswa Muslim Indonesia, Kairo pada 1960-an adalah kota pilihan untuk menuntut ilmu. Mereka menganggap Universitas Al-Azhar–kampus tertua di dunia yang sudah berusia ribuan tahun–sebagai daya tarik terbesar dari Kairo. Universitas ini berabad-abad lebih tua daripada Oxford, Cambridge, Sorbonne, dan universitas-universitas tua lainnya di Eropa.

Al-Azhar adalah juga pusat dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam dan di bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang yang masyhur sebagai perintis gerakan modernisme Islam, diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang pernah belajar di Al-Azhar dan banyak kaum intelegensia Muslim yang terbaik di Indonesia, berasal dari beberapa generasi mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Al-Azhar (Burhanudin, 2012).

Semula Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sangat bersemangat dengan studinya di Al-Azhar, tetapi dia kemudian sangat kecewa oleh karena masa keemasan Al-Azhar telah mencapai puncaknya beberapa dasawarsa sebelumnya. Pada pertengahan 1960-an itu, tingkat pertama di universitas ini tidak menawarkan banyak hal yang baru bagi seorang lulusan sejumlah pesantren Indonesia yang baik.

Menurut Gus Dur, ketika dia tiba di Al-Azhar, dia diberitahu oleh pejabat-pejabat universitas itu bahwa dia harus mengikuti kelas khusus untuk memperbaiki pengetahuan mengenai bahasa Arab. Dari studinya di Jombang pada 1960, dia telah mempunyai sertifikat yang menunjukkan bahwa dia telah lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pokok-pokok pelajaran terkait, yang semuanya memerlukan pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik, tetapi dia tidak memiliki ijazah yang menunjukkan bahwa dia telah lulus kelas dasar bahasa Arab.

Sebagai akibatnya, dia dimasukkan ke kelas yang benar-benar pemula. Banyak dari mereka yang baru dari Afrika dan hampir tidak tahu sama sekali abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa itu dalam percakapan.

Pembangkangan

Sebaik reaksinya, Gus Dur tidak mengikuti kelas itu. Diingatnya bahwa oleh karena sepanjang tahun 1964, dia hampir tidak masuk kelas pemula itu, dia juga artinya tidak melakukan studi formal. Sebaliknya, dia malah menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola yang banyak terdapat di Kairo, membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar, menonton film-film Prancis, dan ikut serta dalam pelbagai diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik. Bila Al-Azhar merupakan kekecewaan bagi Gus Dur, Kairo, sebaliknya, sangatlah menyenangkan. Kota ini adalah kota besar pertama yang dikunjunginya dan dia pun terpesona olehnya.

Diceritakan dengan cerkas oleh Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, dalam bukunya Abdurrahman Wahid: Muslim democrat, Indonesian president, a view from the inside (Sydney, Australia: UNSW Press, 2002)–edisi Indonesia berjudul Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: LKiS, 2003)–bahwa ketika berada di Kairo, Gus Dur berusia dua puluh limaan dan dia merasa bebas. Meskipun Al-Azhar cukup mengecewakan baginya, secara aneh tempat itu merupakan pengalaman yang membebaskannya, oleh karena dia dapat memperoleh kebebasan untuk menghabiskan waktunya dengan caranya sendiri. Dia tidak dihalangi oleh jadwal yang ketat, atau oleh orang-orang yang mengawasinya di kota-kota kecil di Jawa.

Di Kairo, Gus Dur mendapati bahwa dia dapat menonton film-film terbaik Prancis walaupun dia harus menunggu film-film itu diedarkan dari Eropa. Selain menikmati film-film Eropa dan Amerika Serikat, Gus Dur banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan Universitas Amerika di Kairo. Tempat ini adalah perpustakaan terbesar yang pernah dilihatnya hingga saat itu. Meskipun dia besar di rumah yang penuh dengan buku, dan keluarga serta teman-temannya memungkinkannya untuk membaca jauh lebih banyak buku daripada kebanyakan teman sebayanya, kerap kali dia harus bekeja keras untuk mendapatkan buku-buku yang benar-benar ingin dibacanya.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Agama Khong Guan

Kairo adalah jagat yang berbeda. Perpustakaan-perpustakaan di sana penuh dengan buku, jauh lebih banyak daripada yang pernah dilihatnya sebelum dia ke kota ini. Bila Gus Dur tidak membaca perpustakaan Universitas Amerika, dia sering berada di perpustakaan Universitas Kairo atau di Perpustakaan Prancis. Dia masih ingat bahwa ketika itu dia membaca apa saja, tanpa memilah-milih tempat. Dia juga membaca di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Bila tidak ada buku, maka potongan surat kabar atau sebuah majalah tua dapat memuaskan dahaganya akan bacaan.

Gus Dur dapat membaca dengan cepat. Bahkan ketika masih belajar di pondok pesantren di Jawa, dia masih bisa menyisihkan waktu untuk kegemarannya membaca ini. Di Kairo, berkat kebebasan yang secara relatif dimilikinya dan jadwalnya yang tidak padat sebagai hasil dari caranya yang nakal dalam menghadapi kelas-kelas yang seharusnya diikutinya, dia bisa membaca sebanyak yang diinginkannya.

Oleh karena dia bisa memperoleh bermacam-ragam buku baru, demikian kenangnya, dia merasa bahwa cita rasanya dalam membaca cepat meluas dengan adanya penemuan-penemuan baru. Menurut Mona Abbaza dalam karyanya Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar (Jakarta: LP3ES, 1999), Di Kairo, Gus Dur membaca hampir semua karya William Faulkner. Barangkali Faulkner menarik hatinya karena  keeksotikan Amerika yang dipaparkan oleh penulis ini dalam novel-novelnya: Daerah yang nun dari pesantren Jawa.

Gus Dur juga membaca dan menyantap novel-novel Ernest Hemingway. Semasa masih di pondok pesantren, dia telah mengembangkan cintanya akan puisi Arab, tetapi dia lebih suka sastra Eropa, terutama prosanya. Namun begitu, dia juga membaca prosa dan puisi karya Edgar Allan Poe dan puisi-puisi John Donne. Dihapalnya sebagian besar dari puisi Donne yang berjudul “No Man is an Island”. Dia juga mulai membaca karya-karya Andre Gide dan Franz Kafka, juga karya-karya Leo Tolstoy, yang sebelumnya tak bisa diperolehnya, karya-karya Alexander Pushkin, serta novelis-novelis Eropa lainnya yang telah mulai dibacanya ketika masih di Jawa.

Menurut Gus Dur, dia membawa ke Kairo buku-bukunya yang paling berharga, termasuk karya-karya Karl Marx dan Vladimir I. Lenin, yang dibacanya kembali dan kemudian didiskusikan bersama sesama mahasiswa dan kaum cendekiawan di kedai-kedai kopi di kota yang besar ini.

Baginya, Kairo adalah kota hiruk-pikuk dan sibuk dengan kehidupan sastra, pencarian pengetahuan, dan ide-ide baru. Di bawah pemerintahan Gammal Abdul Nasser, terdapat lingkungan intelektual yang penuh optimisme dan relatif terbuka (Rodenbeck, 1998).

Walaupun Gus Dur tidak belajar di universitas-universitas Eropa, sebagaimana yang sangat diinginkannya, selama dia berada di Kairo, dia berkenalan dengan pemikiran Eropa dan dia mampu bertukar pikiran dalam lingkup yang mungkin tidak dapat dilakukannya di Indonesia.

Kedai kopi sebagai “sekolah”

Selain itu, Gus Dur dan sahabatnya, Mustofa Bisri (Gus Mus) juga aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan membuat majalah bagi organisasi tersebut. Dia menulis secara teratur untuk majalah ini, sebagaimana juga dia menulis untuk majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya, ketika dia masih bermukim di Jombang tiga tahun sebelumnya.

Baca juga:  Gus Dur dan M. Imam Aziz: dari Jalan Kultural ke Tebing Politik

Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia dan dengan cepat terkenal sebagai pembicara dan penulis esai yang jenaka dan provokatif. Topik-topik esai yang paling disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas.

Bersamaan dengan semua kegiatan intelektual ini, Gus Dur bisa juga memuaskan kegemarannya yang liyan: sepak bola. Namun, sebagaimana ciri khasnya, dia terus-menerus mempelajari, menganalisis, dan membedah permainan serta kekuatan dan kelemahan tim-tim sepak bola dan strategi mereka. Dia adalah penggemar sepak bola yang benar-benar tertarik pada strategi dan permainan olah raga ini.

Di Mesir yang rakyatnya gila sepak bola, Gus Dur bisa memuaskan dahaganya menonton dan mengikuti pertandingan sepak bola. Diingatnya bahwa dia bisa dengan mudah mengikuti pertandingan-pertandingan Liga Eropa dan berbagai pertandingan regional lewat liputan surat kabar dan radio. Juga banyak pertandingan sepak bola setempat yang dapat ditontonnya.

Gus Dur mungkin saja hanya mengikuti sebagian kecil dari kelas bahasa Arabnya, tetapi dia tidak pernah melewatkan ujian-ujian akhir. Hal ihwal ini bukan karena dia sengaja belajar agar dapat lulus ujian-ujian itu. Baginya, ujian-ujian itu tidak ada gunanya. Dia sudah fasih berbahasa Arab dan mempunyai kemampuan membaca yang kuat. Juga dia menghafal peraturan-peraturan dasar tata bahasa yang harus dikuasai sebelum seseorang dapat menguasai peraturan yang pelik mengenai penulisan bahasa Arab klasik.

Ironisnya, kedai-kedai kopi penuh asap rokok–seperti yang dilukiskan begitu hidup oleh sastrawan Najib Mahfudz dalam novelnya Karnak Cafe’ (2008) itu–yang sering dikunjungi Gus Dur menjadi “sekolah” untuk menyempurnakan pengetahuan bahasa Arabnya.

Dengan mengunjungi kedai-kedai kopi tersebut, Gus Dur dapat memperbaiki sebagian besar kelemahan-kelemahannya dalam kemahiran berbahasa Arab. Ketika pejabat-pejabat universitas membaca kertas kerjanya dalam ujian, mereka sadar bahwa mereka telah salah menempatkan mahasiswa ini di kelas yang ditujukan untuk memperbaiki pengetahuan dasar bahasa Arab mahasiswa-mahasiswa asing. Akhirnya, dia pun dapat memasuki Institut Studi Islam dan bahasa Arab dari universitas ini.

Patah pucuk

Karena harus menunggu sangat lama sebelum dapat memulai studinya, Gus Dur menjadi kecewa lagi. Baginya, institut ini tidak sesuai dengan namanya. Lagi-lagi dia terpaksa harus mempelajari banyak teks klasik, yang di Jawa dikenal sebagai kitab kuning. Sebenarnya ketika belajar di Jombang dan Magelang, dia telah mempelajari teks-teks ini. Dia juga kecewa karena pendekatan yang digunakan adalah menghafal. Sekali lagi, kelas-kelas ini membosankan bagi Gus Dur dan kembalilah dia turun ke jalanan.

Padahal, apabila dia datang ke Al-Azhar untuk program pascasarjana, mungkin pengalamannya akan berbeda. Al-Azhar ketika itu masih mempunyai sarjana-sarjana agama yang terbaik di dunia dan Gus Dur mungkin tidak akan merasa bosan apabila dia mendapatkan penasihat akademik yang sesuai untuk membimbingnya dalam hal memperkaya bacaan dan melakukan riset. Namun, tentu saja program sarjana yang diikutinya memang membosankan dirinya. Seorang mahasiswa yang bersungguh-sungguh masih bisa mendapatkan keuntungan dari program sarjana di universitas Al-Azhar. Banyak mahasiswa Indonesia lainnya membuktikan perihal ini (Abaza, 1999).

Namun demikian, pendekatan yang digunakan di universitas ini tidak menarik bagi Gus Dur, khususnya karena dia lebih tertarik pada apa yang dapat diperolehnya di luar universitas ini. Al-Azhar memang murni sebuah universitas Islam dan sangat bangga akan sejarahnya nan panjang. Universitas ini tidak mau menggabungkan unsur-unsur pendidikan modern Barat dalam program pengajarannya. Sebaliknya, dengan bangga universitas ini memberikan pokok-pokok pelajaran klasik, seperti yang telah diajarkan selama berabad-abad lamanya, dengan memprioritaskan hafalan tinimbang dengan analisis (Abaza, 1999).

Baca juga:  Harmonisasi Keislaman dalam Pancasila: Pendapat Santri Lirboyo hingga Mbah Maimun Zubair

Karena Gus Dur mempunyai daya ingat yang kuat, hafalan tentu saja sangat tidak menarik baginya. Di benaknya, Al-Azhar nampaknya telah terbenam dalam masa lampau. Walaupun Gus Dur, merasa kecewa dengan studi formal dan prestasinya yang tidak baik di Al-Azhar, dia menarik banyak manfaat dari lingkungan sosial dan intelegensia di sana. Gus Dur akhir menyelesaikan studinya empat tahunnya di Universitas Baghdad pada pertengahan 1970-an setelah mendapatkan beasiswa dari universitas itu.

Arkian, Gus Dur memang seorang yang memiliki beragam ilmu. Dia lancar berbicara Arab dan memilih pengetahuan yang mendalam tentang kebudayaan Arab, meskipun dia tidak pernah menyelesaikan studinya di Al-Azhar disebabkan keorganisasian di kampus itu yang (baginya) buruk. Meskipun demikian, Gus Dur mengikuti kursus studi Arab dan Syariah, serta mengadakan hubungan pribadi dengan para syeikh terkenal. Dikatakannya, bahwa dia mengikuti banyak halaqah dan pada dasarnya mengambil pelajarannya di luar universitas.

Gus Dur juga menghabiskan waktunya di Perpustakaan Nasional Mesir, Darul Kutub dan perpustakaan-perpustakaan Barat lainnya di Kairo yang banyak jumlahnya, seperti pusat Amerika, pusat Prancis, dan sebagainya. Senyatanya, bahwa dia tidak terdaftar resmi di Al-Azhar memungkinnya untuk bersikap kritis terhadap para ulama yang menjadi lebih bersifat pegawai pemerintah daripada pembimbing agama, seperti yang diungkapkannya.

Kairo memberikan kesempatan besar baginya untuk menikmati kehidupan intelektual tahun 60an. “Kami mengenal dan melihat dunia lewat Kairo,” ujarnya. Timur Tengah pada masa itu dibagi antara Beirut sebagai pusat bisnis dan Kairo sebagai pusat ilmu pengetahuan, (baik agama maupun sekuler).

Hidup di Kairo selama dua tahun telah memberikan Gus Dur kebebasan dan kesempatan untuk membaca, baik kitab-kitab turats (kitab-kitab kuning klasik) maupun literatur Islam modern. Dia juga dapat mengikuti pelbagai perdebatan yang menarik yang berlangsung antara kaum sekuleris, komunis, dan para pemimpin agama tradisional.

Meskipun dia tahu bahwa Presiden Nasser melarang partai-partai politik, tapi Gus Dur memuji periode Nasser, yang mengizinkan para cendekiawan untuk mengungkapkan diri mereka secara bebas di media massa. Dia mengikuti dengan penuh perhatian perdebatan para intelektual liberal Mesir seperti Zaki Naguib Mahmud, Soheir Al-Qalamawi, dan Shawki Deif. Diakuinya, bahwa dia didorong oleh perjuangan yang tengah berlangsung antara para penulis muda pembaru dengan kelompok yang lebih tradisional dari Al-Azhar.

Gus Dur sama sekali bukan seorang alim tradisional, dan dia sangat kritis terhadap para Azhari yang tradisional, yang nampaknya tidak menghargai tulisan-tulisan jurnalistiknya. Beberapa Azhari angkatan lebih tua mengatakan bahwa Gus Dur menulis mengenai terlalu banyak persoalan yang berlainan satu sama lainnya, seperti permainan sepak bola dan soal-soal remeh-temeh lainnya, yang bernada kontroversial dan menyentil bagi ulama. Gagasan-gagasannya secara keseluruhan kemungkinan juga bertentangan dengan pemikiran tradisional dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dalam konteks ini, Gus Dur kala itu dapat diteroka sebagai intelektual Muslim yang mempunyai kecenderungan pengikut Nasser, dalam arti dia membela supremasi bangsa tanpa mengabaikan pentingnya peranan umat Muslim.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top