Sedang Membaca
Syekh Ihsan Jampes: Kopi dan Rokok dalam Kitab Kuning
Khafidzu Khofidz
Penulis Kolom

Santri Plumbon, sedang kuliah di kampus STIK.

Syekh Ihsan Jampes: Kopi dan Rokok dalam Kitab Kuning

Kopi rokok

Mendengar kata ngopi maka seketika itu kita akan tertuju pada kegiatan menyeruput secangkir kopi di pagi hari ataupun malam hari secara perlahan dengan penuh kenikmatan.

Berbicara mengenai kopi, tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung pasangan serasinya, tentu, ia adalah rokok. Jika menikmati kopi terkenal dengan sebutan ngopi, maka nyebat merupakan istilah yang familiar untuk menikmati sebatang rokok dengan sensasi asap di setiap hisapannya.

Umumnya, orang menikmati secangkir kopi ditemani dengan sebatang rokok. Dua hal ini memiliki eksistensi yang tinggi di tengah masyarakat Indonesia. Disisi lain keduanya menjadi polemik dikalangan para ulama’ seluruh dunia, perihal hukum mengonsumsinya. Namun polemik hukum mengonsumsi rokok lebih masyhur dan ramai diperdebatkan oleh ulama’ dari empat madzhab.

Jumhur ulama (kebanyakan ulama’) berpendapat bahwa mengonsumsi kopi adalah halal, sehingga sedikit polemik yang timbul. Sedangkan hukum mengonsumsi rokok memiliki dua pendapat. Pendapat pertama adalah halal dengan dasar yang mereka ajukan, ada pula pendapat yang mengharamkan rokok dengan semua alasan kemudhoratan dan lain sebagainya.

Lalu bagaimanakah menyikapi kedua pandangan hukum rokok tersebut?. Tentunya kita harus mencari informasi yang konkret sebagai dasar mengonsumsi rokok, agar terhindar dari pelanggaran syariat agama islam tentunya. Jika kita mencari hukum mengonsumsi rokok didalam Al-qur’an, maka tidak ada ayat yang menyebutkan hukum rokok secara spesifik, dan hal ini juga berlaku pada Hadits.

Karena di zaman Nabi Muhammad Saw belum ada rokok. Mengingat sejarah tembakau sebagai bahan dasar rokok baru menyebar ke seluruh dunia pada tahun 935H atau 1517M. Dan tembakau merupakan tanaman yang berasal dari daerah bernama Tobago di negara Mexico, Amerika Utara. Yang menunjukkan tembakau bukan tanaman asli dari daerah Jazirah Arab.

Jika Al Qur’an dan Hadits tidak menyebutkan dalil rokok, maka dasar hukum yang tepat adalah Ijma’ (keputusan) para ulama’. Dengan kitab kuning sebagai sumber referensi. Di sini penulis mengacu pada kitab “Irsyad al ikhwan fi Bayan al Hukm al Qahwa wa ad Dukhan” karya ulama’ kharismatik asal Indonesia yang berasal dari desa Jampes, Kediri, Jawa Timur, yaitu  Syekh Ihsan Dahlan Al Jampesi, atau biasa disebut Syekh Ihsan Jampes.

Baca juga:  Membayangkan Prancis Jadi Negeri Muslim

Syekh Ihsan Jampes dilahirkan dari keluarga Pesantren Jampes Kediri, dari pasangan KH.Dahlan dan Nyai.Artimah, dimana KH.Dahlan merupakan ulama’ terkenal dari Desa Jampes di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Beliau tinggal di lingkungan pengonsumsi rokok. Dibuktikan dengan keberadaan PT. Gudang Garam Tbk, salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Di desa beliau.

Alasan tersebut yang membuat beliau menulis kitab ini, beliau menjelaskan sejarah kopi dan rokok dari masa ke masa, keharaman serta kehalalan kopi dan rokok, untuk menjawab polemik dikalangan para ulama’, sehingga memudahkan khalayak umum dalam mencari dasar hukum sebagai landasan mengonsumsi kopi dan rokok.

Pertama adalah hukum meminum kopi, sebagian ulama’ seperti Syaikh ‘Abtawi (Syiria), Syaikh Ibnu Sulthan, dan Syaikh Ahmad ibn ‘Abd al Haq as Sanbathi (mesir) dengan mengikut pendapat ayahnya Syaikh Ahmad dimana ketinggian ilmunya sudah masyur, mereka berpendapat bahwa di dalam kopi terdapat suatu kemudharatan (bahaya) tertentu.

Meskipun beberapa ulama’ mengharamkan kopi, tetapi mayoritas ulama’ berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan, bahwa kopi merupakan sesuatu yang boleh dikonsumsi dengan hukum meminumnya adalah mubah (boleh) bahkan setelah itu terjadi ijma’ ulama’ yang menyatakan bolehnya meminum kopi.

Dikuatkan dengan pendapat Ibn Hajar al Haitam dan dikukuhkan oleh ar Ramli dalam fatwanya, keduanya mengutip pendapat yang cukup bagus dari kitab al Ubab karangan Syaikh al Qadhi Ahmad ibn Umar al Muzjid “Kopi tidaklah menghilangkan akal. Ingat itulah”.

Sebagian ulama’ yaman berfatwa selain tidak menghilangkan akal kopi juga dapat menghasilkan kebugaran, melegakan dan menenangkan pikiran serta tidak membahayakan, justru terkadang dapat menambah semangat bekerja.

Mereka menganjurkan mengambil hukum yang ini, karena jika perbuatan yang kita lakukan adalah suatu bentuk ketaatan maka kopi yang diminum sebelumnya bernilai ketaatan, sebaliknya jika perbuatan yang kita lakukan adalah bentuk mubah maka kopi yang kita minum bernilai mubah.

Menurut Syekh Ihsan Jampes sendiri, kopi dapat bermanfaat bagi sebagian orang, juga dapat membahayakan bagi sebagian lainnya. Khasiat kopi diantaranya dapat bermanfaat untuk membangkitkan kekuatan otak dan kerja pikiran, dapat mengurangi tidur bagi mereka yang tidak terbiasa ngopi, melenturkan otot syaraf sehingga aliran darah menjadi lancar.

Baca juga:  Sabilus Salikin (65): Wadzifah al-'Ammah Tarekat Sa'diyyah

Ketiga khasiat tersebut dapat ditemukan bagi pengonsumsi kopi baik pria maupun wanita, yaitu mereka yang memiliki kegiatan “berpikir tinggi” seperti penyair, pengarang, dan pengajar. Akan tetapi, kopi juga berbahaya bagi mereka yang mengidap penyakit empedu, penyakit kuning, dan komplikasi dengan penyakit darah tinggi.

Selanjutnya segolongan ulama’ telah menyatakan bahwa hukum merokok adalah haram. Diantara ulama tersebut, Syaikh asy Syihab al Qalyubi lah yang termasyur. Dalam karyanya al Jalal al Mahali yang mengomentari kitab al Minhaj-nya Imam Nawawi.

Beliau menerangkan rokok dalam kitabnya pada Bab Najis dengan berkata, berbeda dengan benda cair yang memabukkan tersebut, benda-benda (non-cair) seperti candu dan benda lain yang dapat membahayakan pikiran, tidak dihukumi najis. Artinya, barang-barang seperti itu suci hukumnya, meskipun haram menggunakannya mengingat barang tersebut dapat membahayakan.

Sebab salah satu efek rokok membuka saluran tubuh sehingga mempermudah masuknya penyakit berbahaya ke dalam tubuh. Oleh karena itu merokok kerap kali menimbulkan lesu dan sesak nafas, ataupun gejala lain yang sejenis. Bahkan sumber yang dapat dipercaya menyatakan bahwa merokok dapat menimbulkan perasaan kepala berputar-putar alias puyeng.

Ulama’ lain yang mengharamkan rokok diantaranya Syaikh Ibnu Hajar, Syaikh Ibrahim al Laqqani al Maliki atas kitab-nya al Manhaj, al Muhaqiq al Bujairimi dalam kitabnya al Iqna’ fi Syarh Matn Abi Syuja’, Syaikh Hasan asy Saranbila dari madzhab Hanafi dengan Syair berjudul al Wahbaniyah, Imam ath Tharabisyi dengan risalah Thubshirat  al Ikhwan, serta sekelompok sufi yang mengukuhkan keharaman rokok seperti Sayyid al Husain ibn Abi Bakr, Ibnu ‘Alan, Syaikh Abdullah ibn Ahmad Basudan.

Melihat pendapat ulama’ yang mengharamkan rokok, mereka mengharamkan rokok berdasarkan empat perspektif.

Pertama, rokok dapat membahayakan kesehatan, dan setiap sesuatu yang membahayakan kesehatan hukumnya haram dikonsumsi. Kedua, rokok diqiyaskan dengan candu yang termasuk barang memabukkan (melemahkan) badan, haram dikonsumsi. Ketiga, bau rokok sangat tidak disenangi sehingga dapat menyakiti hati orang yang tidak merokok. Keempat, merokok dipandang sebagai suatu pemborosan dan cerminan sifat berlebih-lebihan.

Setelah kita mengetahui ulama’ yang mengharamkan rokok beserta pendapatnya, selanjutnya diterangkan tentang golongan ulama’ yang menghalalkan atau memperbolehkan rokok. Salah satu ulama dengan lantang menyatakan tidak diharamkannya rokok adalah al Imam Abd al Ghani an Nabalisi yang bermadzhab Hanafi, dengan kitabnya ash Shulh bain al Ikhwan fi Hukm Ibahah Syarb ad Dukhan.

Selian beliau masih ada sejumlah ulama yang berpendapat merokok adalah halal seperti, Syaikh Ali al ajhuriy dalam kitabnya Ghayah al Bayan li Hilli Ma la Yaqib al Aql min Ad Dukhan, ar Rusyd dalam Hasyiyah ala Nihayah, Syaikh as sulthan, Syaikh Ali asy Syabramalis. Mereka berpendapat bahwa hukum rokok itu tidak haram serta tidak najis, dan hukum mengonsumsi rokok itu halal jika tidak membahayakan.

Baca juga:  Mengulik yang Tak Banyak Dilirik

Jumhur (mayoritas) ulama telah menakwilkan hukum haram yang dilontarkan pihak ulama yang kontra rokok. Jumhur menegaskan bahwa haramnya rokok dikhususkan bagi orang yang tubuhnya akan mendapat mudharat jika merokok, dan jumhur ini sudah sangat populer dikalangan madzhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i. Namun, ada juga sebagian ulama yang menghukumi makruh pada rokok, seperti Imam al Bajuri dalam Hasyiyah Ala Syarh al Ghayah pada bagian kitab al Buyu’.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Imam asy Syarqawi dan Imam al Kurdi dalam karyanya Al Fatawi. Mereka berpendapat bahwa hukum rokok haram itu merupakan pendapat yang lemah, begitupun pendapat yang mengatakannya mubah (boleh). Pendapat yang mu’tamad (terpercaya) adalah makruh. Namun demikian terkadang hukum rokok dapat berubah menjadi wajib.

Misalnya, jika seseorang meninggalkan rokok maka ia akan mendapat kemudharatan. Terkadang hukum makruh itu dapat berubah menjadi haram jika orang yang mengonsumsinya dapat menambah parah penyakitnya, atau misalkan, seseorang membeli rokok dengan uang yang seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarganya dan dia tahu jika menggunakan uang tersebut untuk membeli rokok akan membahayakan keuangan keluarganya.

Demikianlah, hukum mengonsumsi rokok dapat berubah, dengan berdasarkan Jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan bahwa hukum rokok itu dapat berubah sesuai dengan orang yang mengonsumsinya, atau tergantung si pemakainya bukan pada rokoknya. Dan hukum rokok adalah makruh menjadi pendapat yang mu’tamad (terpercaya) bagi khalayak umum. Selebihnya wallahu a’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Scroll To Top