Sedang Membaca
Memberi Daging pada Belulang Sejarah Solo dalam Novel Mahbub Djunaidi (2-habis)
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Memberi Daging pada Belulang Sejarah Solo dalam Novel Mahbub Djunaidi (2-habis)

Pada tulisan sebelumnya digambarkan fakta-fakta mengenai sejarah Solo yang dikaitkan dengan gambaran dalam novel Mahbub Djunaidi, sampai nomor sembilan. Berikut ini lanjutannya. 

10.     Dipotret pula suasana lebaran. Yang dewasa terisak-isak teringat kampung dan beduk suraunya masing-masing. Yang anak-anak tanpa baju baru, juga tak ada yang menyelipkan sesen dua ke tangan sesudah salaman. Baju biar kelihatan baru, dicelup dengan warna yang disukainya. Mahbub menceritakan kepedihan ini dengan jujur.

11.     Melihat Presiden Soekarno bertandang di balaikota dengan walikota Syamsurizal.

12.     Ayah seminggu tiga kali bekerja di Yogya, di kementrian pusat. Mengantar naik sepeda ke stasiun.

13.     Sejak 1946, ayah teman Mahbub, seorang bangsawan ulama, tak pulang ke rumah lagi. Bangsawan ialah kanjeng. Dulu orang berjongkok tatkala kanjeng lewat. Yang kebetulan sedang di pohon, meluncur turun ke bumi, berhormat tazim. Bangsawan hanya tersenyum kepada bangsawan, seperti semut yang hanya bisa mengerti bahasa semut.

14.     Peristiwa 3 Juli 1946, penculikan Perdana Menteri Syahrir di kantor Bank Indonesia.

15.     Gaji rendah, namun bisa hidup dan sehat wal alfiat. Pegawai negeri itu orang “resmi”, beda dengan tukang es yang dianggap bukan orang resmi. Pegawai ini mengabdi kepada kekuasaan (republik) yang eksis. Jiwa mereka dibalut virus nasionalisme yang sedang mewabah dan menggelegak darah revolusi.

16.     Periode itu, Mahbub menyorongkan istilah menarik bagi Yogyakarta sebagai “Mekah Revolusi”. Menurutnya, kelebihan Yogya dari Solo hanya lantaran di Yogya terdapat presiden bersama wakilnya. Sedangkan, pengungsinya lebih kurus ketimbang di Solo.

Baca juga:  Mengabadikan Pendekar Pena Bernama Mahbub Djunaidi

17.     Dari kacamata Mahbub, kelas sosial bangsawan kelama-lamaan tak ubahnya seperti penduduk kebanyakan. Orang kaya menjadi miskin. Hidup sistem barter pakaian dengan beras untuk bisa makan. Kemudian, ayam berkaki pincang ditukar sebakul singkong. Basid, temannya itu, beruntung mempunyai pohon sawo yang bisa ditukar dengan makanan mengeyangkan.

18.     Disinggung, besok  sore bertanding bola melawan “Laskar Kere” di alun-alun utara. Dari keterangan Mahbub diketahui kelompok ini merupakan gelandangan, yang tidur di pendapa keraton. Mereka tanpa mengenakan baju, tapi gemuk dan sehat.

19.     Kala itu, di jalan Slamet Riyadi sudah ditumbuhi pohon ketapang dan pohon asam. Jejak pohon yang menjadi penanda kota yang ramah lingkungan hijau ini sampai kini masih ada, kendati beberapa sudah dipotong Pemerintah Kota Surakarta atas nama pembangunan.

20.     “Pintu air sungai tempatku bermandi-mandi di Minapadi,” tulis Mahbub. Minapadi yang terletak di dekat Tirtonadi ini dibangun Gusti Mangkunegara VII untuk mengatasi bencana banjir tahunan sekaligus menyediakan ruang publik bagi warga “kampung lor” (sebutan wilayah kekuasaan praja Mangkunegaran).

21.     Ayahnya menjelaskan, pekerjaan PNS bagus untuk Mahbub kemudian hari. Namun dalam hati, bocah kecil ini berangan menjadi petintu berkat habis membaca kisah Joe Louis menghantam si Beruang Jerman yang tersaji di majalah Pandji Poestaka, milik Raden Ngabehi Dirdjodipuro, imam langgar kampung saat subuh.

22.     “Pesta Agustus 1946 di lapangan pacu kuda Manahan. Tribun penonton runtuh, penonton bergelimpungan”. Fakta yang disuratkan Mahbub ini membuka memori kolektif mengenai olahraga balap kuda yang menjadi gaya hidup keluarga bangsawan Mangkunegaran, tuan kulit putih permulaan abad XX, dan juragan batik Laweyan yang memiliki kuda terkenal.

Baca juga:  Humor Mahbub Djunaidi

23.     Mahbub sempat menerobos Eksposisi Nasional Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Sriwedari. Ia menyaksikan pula insiden kebakaran yang mengguncang acara berskala nasional itu. Andai Mahbub menyebut PON ini digelar di alun-alun, jelas menggugurkan fakta yang dianyamnya.

24.     Tatakala mengayuh sepeda menjemput ayah yang pulang kerja di Stasiun Balapan, Mahbub mendapati peristiwa pertempuran di Srambatan. Kejadian yang dikisahkannya memang nyata, dan terjadi di dekat Stasiun Balapan.

25.     Mencuat terminologi “tentara kantong” untuk menyebut “tentara hijrah” yang datang dari luar Solo sebagai akibat berlakunya perjanjian pembagian wilayah antara pemerintah

Kampung Kauman berubah menjadi gardu ronda besar. Tua-muda berjaga malam. Hal ini untuk berjaga-jaga karena tentara Belanda sudah merangsek mengepung kota.

27.     Balaikota yang indah dengan Hotel Merdeka di sebelahnya membiarkan dirinya lenyap. Kantor pos dan telepon ikut hancur. Juga Pasar Gedhe dan LP dibakar sampai para tahanan tunggang langgang. Fakta ini merupakan episode sejarah aksi “bumi hangus”.

28.     Pasukan Belanda berteriak “mana anjing Soekarno” dan menyebar selebaran bergambar Bung Karno dan Hatta sudah tertangkap dan dipenjara di luar Jawa. Kisah tersebut membuka kesadaran kita bahwa fenomena Hoax bukan barang baru dalam sejarah Indonesia. Untuk menangkalnya, peralatan komunikasi berupa radio sangat dibutuhkan. Rentetan atas kejadian ini, memunculkan fenomena “radio kambing” yang kini disimpan di Monumen Pers Nasional.

Baca juga:  Resensi Buku: Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual

29.     Belanda membawa makanan andalan berupa roti, dan diberikan pula oleh anak-anak. Fakta ini sesuai dengan yang dituturkan pemilik Toko Orion, Solo dalam buku Karma Cinta (2018) anggitan Bre Redana.

30.     Menjual Al Quran seharga serupiah setengah, dan Majmu Syarif 40 sen. Padahal, harga dawet cuma 10 sen uang Belanda pendudukan. Petilan fakta ini dapat dipakai untuk memasuki sejarah “uang NICA” yang berlaku kala itu, selain uang Hindia Belanda dan Jepang.

Mahbub telah memberi menyediakan dokumentasi sosial yang jernih. Menurut saya, Kota Solo bukan hanya membekas dalam diri Mahbub, tapi berhasil membentuk jati diri dia perihal wawasan keilmuan yang luas. Ia kemudian hari menjadi pelahap aneka tema dan menulis di banyak bidang. Dari kilas balik ini, tak salah jika novel Mahbub sering dipakai rujukan oleh peneliti sejarah yang mengkaji periode revolusi. Ia bukan hanya memberi sumbangan berharga bagi dunia sastra, namun juga bidang sejarah.

Pesan tersirat dari seorang Mahbub, yakni tatkala menulis karya sastra, jangan meninggalkan fakta sejarah, sebab dapat berguna bagi generasi berikutnya. Bukan sekadar untuk menopang kerja penelitian, generasi mendatang bisa memakainya untuk panduan blusukan atau wisata sejarah. Demikian warisan Mahbub yang berharga sebagai sosok intelektual dan sastrawan yang taat fakta.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top