Sedang Membaca
Narasi Harmoni dan Sejarah Penyemaian Kristen di Kota Bengawan
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Narasi Harmoni dan Sejarah Penyemaian Kristen di Kota Bengawan

Img 20210926 Wa0010

Beberapa kali, saya “ditodong” oleh lembaga plat merah dan publik untuk membagikan “praktik baik” dalam kerja komunitas. Selain mengeledah rumusan ideal berkomunitas, tak luput saya mengudari kisah lara lapa (pahit manis) dalam berkegiatan. Pengalaman pahit tiga tahun silam itu masih membekas dalam batok kepala saya.

Komunitas Solo Societeit yang saya dirikan hendak mengadakan diskusi dan jelajah sejarah di seputaran Pasar Gedhe, Surakarta. Komunitas sejarah-budaya yang diisi segelintir anak muda lintas bidang tersebut memang getol diseminasi (menyebarluaskan) pengetahuan sejarah lokal di Kota Bengawan. Selain itu, rajin pula bersesorah melalui unggahan di media sosial. 

Kala itu, rencana blusukan dan sarasehan mengusung judul “Bersulang Sejarah Minuman di Solo”. Pendaftaran peserta sudah terisi penuh meski baru dibuka dalam hitungan dua hari. Tanpa dinyana, telepon berdering di sebuah siang yang terik.

Penelpon mengaku sebagai intel kepolisian mengajak bercakap. Ia menanyakan kegiatan kluyuran sejarah itu. Dikabarkan, acara yang kami helat dicurigai oleh suatu ormas di Solo sebagai kegiatan mabuk-mabukan. Maka, berpotensi menimbulkan konflik, dan setidaknya harus digagalkan. 

Kami sudah menjelaskan format acara secara gamblang. Juga pokok pembahasan yang hendak dibagikan ke publik. Peserta bakal diajak keliling naik sepeda ke sejumlah titik bersejarah yang berkaitan dengan minuman tempo doeloe.

Kami tidak mampir ke Bekonang, menyoal minuman keras ciu seperti yang diresahkan oleh ormas tersebut. Mak deg. Kami dirundung kesedihan tak terperi. Sebab, pihak keamanan menyarankan untuk mengagalkan acara, bukan malah menjamin kegiatan positif itu berjalan. “Negara telah kalah?” batin saya bersama panitia yang sering berkegiatan tanpa uluran bantuan dari lembaga plat merah.

Baca juga:  Kaesang "Rabi" (dan Batik Solo)

Akhirnya, kami mengalah dengan gumpalan perasaan jengkel dan kecewa silih berganti menyambangi hati. Uang pendaftaran Rp. 20.000 sekadar pengganti biaya hidangan dan penggandaan materi, kami kembalikan ke puluhan peserta.

Dari sini, kami menyadari bahwa untuk berbuat baik dan positif sekaligus mencerdaskan masyarakat di luar kampus-sekolah, ternyata tidak didukung, malah dimusuhi akibat pemahaman mereka yang cetek.

Mereka emoh mengedepankan dialog terlebih dahulu. Padahal, dalam pengetahuan aneka minuman yang pernah hadir di Solo merupakan produk sejarah dan potret harmoni lintas kelas.

Penting diumumkan ke masyarakat luas bahwa Solo pernah diberi stempel negatif “kota konflik” dan “sarang teroris”. Maka, perlu disodorkan narasi tandingan melalui pengetahuan budaya tentang minuman dan kuliner. 

Masih segar dalam ingatan, aksi pengeboman gereja Kepunton beberapa tahun silam mengoyak kerukunan umat beragama. Ingat, penganut agama Nasrani hadir bukan “kemarin sore”. Mereka relatif sukses beradaptasi dengan kultur lokal.

Penyebaran Kristen Sejak 1890

Menurut sejarawan Merle Ricklefs (2004), gagasan menyemaikan Kristen di kota tua ini dimulai sejak 1890. Tapi, rencana itu ditolak toewan residen lantaran berpotensi menggangu ketertiban umum masyarakat yang masih memegang adat Jawa-Hindu dan Islam.

Baru permulaan abad XX, Gubernur Jenderal Idenburg di Batavia menelurkan izin menyebarkan agama Nasrani di kota multietnis ini. Tahun 1910 seiring kota Jawa terkena arus modernisasi, dua penguasa tradisional kerajaan Jawa menyetujui lisensi itu.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (1): Mengenal Sejarah Syari’at Islam

Karya zending Kristen dimulai secara aktif selepas kedatangan pendeta van Andel tahun 1911. Dialah penggembala zending untuk jemaat Kristen pribumi Jawa yang dirintis di Margoyudan. 

Agar proses kristenisasi gampang diterima rakyat, pemerintah mencoba lewat jalur sosial. Yaitu, membuka rumah sakit Kristen Jebres periode 1912 yang dikelola zending. Disebabkan dana terbatas, rumah sakit dibuat sederhana.

Fasilitas umum di bidang kesehatan pertama di Surakarta tersebut hanya menempati suatu rumah biasa yang juga dipakai sebagai rumah dinas dokter, kamar periksa, dan kamar pasien. Kendati demikian, rumah sakit ini sanggup menopang perkembangan agama Kristen di kota. 

Kegiatan menanamkan ajaran Kristen diwujudkan pula dengan mendirikan sekolah Kristen dan menyebar-luaskan buku Kristen dalam bahasa Jawa. Kerja sosial keagamaan ini lumayan berhasil, makin banyak masyarakat Jawa yang memeluk Kristen.

Guna memenuhi kebutuhan rohani umat, tahun 1928 para pengijil membagi jemaah menjadi tiga kelompok. Yakni, GKJ Margoyudan dengan daerah pelayanana ke arah utara dan timur, GKJ Tumenggungan dengan daerah pelayanan ke arah barat, dan GKJ Danusuman dengan daerah pelayanan ke selatan.

Pascakemerdekaan, pergulatan Kristen dan Jawa terlihat jelas dari lagu sembahyangan yang dibawakan di dalam gereja Jawa.

Buku terbitan Bentara Budaya Yogyakarta berjudul Simplek Nganggo Berko (2013), membeberkan musisi terkemuka Hardjasoebrata mengarang kidung “Atur Roncen”, “Sri Yesus Mustikeng manis”, dan “O Kawula Punika”.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (12): Qoirawan, Kota yang Menyihir Banyak Intelektual

Syairnya dipungut dari Rerepen Suci. Lagunya diciptakan sendiri memakai tangga nada pelog. Inilah komposisi lagu gereja pertama dalam musik Jawa.

Sebetulnya, ragam lagu itu bukan untuk dipentaskan, namun dipakai dalam kebaktian sore. Saat lagu dibawakan, muncul perasaan tenang. Di sinilah, kekuatan bahasa Jawa sebagai olah rasa, menghadirkan rasa wening dan ketenangan batin, kendati tidak bergelimang harta dan tak berjabatan tinggi. 

Jika jeli mengamati, ternyata terselip harmoni dalam pergumulan unsur Kristen dengan Jawa, laiknya Hindu-Jawa dan Islam-Jawa. Ya, merawat kehidupan harmonis serta menjaga suasana tetap ayem tentrem merupakan cita-cita kolektif bangsa Indonesia.

Sejarah juga membuktikan bahwa di banyak tempat, dakwah dengan pendekatan kultural dan sosial lebih manjur ketimbang dengan membawa pentungan. Inilah sepotong narasi harmonis yang patut dikabarkan ke publik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Img 20221217 Wa0008

Mangkunegaran untuk Publik

Img 20220401 Wa0013
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top