Sedang Membaca
Novel dan Universitas Al-Azhar
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Novel dan Universitas Al-Azhar

Konon, novel sanggup memengaruhi para pelajar Indonesia pergi belajar ke Mesir. Mereka bergerak ke perguruan terkenal Al-Azhar. Jumlah orang Indonesia belajar di Al-Azhar bertambah setelah penerbitan novel Ayat-Ayat Cinta (2004) dan Ketika Cinta Bertasbih (2007) garapan Habiburrahman ES.

Dua novel itu bertokoh para mahasiswa asal Indonesia sedang mempelajari ilmu-ilmu di Mesir. Mereka ingin meninggikan derajat keilmuan di institusi pendidikan Islam tertua di dunia.  Di Al-Azhar, mahasiswa sibuk dan keranjingan belajar dan menunaikan ajaran Islam tapi sulit mengelak dari lakon asmara.

Ikhawanul Kiram Mashuri di Republika (29 Februari 2016) menjelaskan bahwa dua novel telah menuntun orang-orang pergi ke Al-Azhar: “Namun, minat para pemuda Indonesia untuk menuntut ilmu di universitas paling bergengsi itu tentu bukan lantaran ingin mengejar cinta dan romansa.” Kedatangan ke Al-Azhar bermisi mempelajari pelbagai ilmu.

Novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih terbit pada abad XXI. Situasi keilmuan, politik, dan teknologi sudah mengalami kemajuan pesat. Pergi ke Mesir biasa menggunakan pesawat terbang ketimbang menempuh perjalanan dengan kapal. Urusan ongkos belajar bisa dielesaikan melalui beasiswa. Hubungan Indonesia-Mesir pun menentukan jumlah dan capaian keilmuan para mahasiswa Indonesia saat belajar di Al-Azhar.

Apakah sebelum Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, pembaca sastra Indonesia pernah mendapat pengaruh novel bercerita tentang ilmu, asmara, dan Al-Azhar?

Jawaban ada di novel lawas terbitan 1935. Novel terbit saat Indonesia masih menanggung lakon kolonialisme. Novel itu berjudul Student Soelaiman gubahan  Muhammad Dimjati, diterbitkan oleh Lectuur Islam Indonesia (Surakarta).

Baca juga:  Alquran dan Bahasa Nusantara: Kapur Barus di antara Pewangi dan Pengawet

Novel tersebut terbit memberi cerita bersahaja dengan latar Semarang, Salatiga, Jogjakarta, dan Betawi. Tokoh bernama Soelaiman adalah “student”, belajar ilmu umum dan agama.

Di Semarang, Soelaiman belajar dan bermukim di pesantren: mendalami ilmu-ilmu agama sambil mengembangkan minat sebagai pengarang.

Di pondok, Soelaiman terbiasa merenung saat malam telah sepi. Duduk bersandar sambil merenungkan segala impian: asmara dan ilmu. Muhammad Dimyati menulis adegan Soelaiman merenung:

Maka terbajang-bajang dalam kalboenja endah tertjantoem betapa senangnja kelak doedoek dibangkoe sekolah tinggi Al-Azhar, bertjampoer gaoel dengan studenten bangsa Djawa, Sumatra, Semenandjoeng, India, Perzi, Arab, Mesir, Sjerie, Maroko, Tripolie, Afghanistan, Turkie, Tiong Hoa dan lain-lainnja jang sama menoentoet ‘ilmoe disana, seajoen seboeai bernaoeng dalam pandji Islamijah, bertjita-tjita hendak memadjoekan si’ar Islam dinegeri masing-masing bila telah mendapat idjazah loeloes peladjarannja.” Renungan di malam hening itu bakal terwujud.

Di rumah, bapak dan ibu Soelaiman juga sedang memikirkan nasib Soelaiman. Mereka berjanji ingin menuruti keinginan Soelaiman pergi ke Al-Azhar. Segala usaha dikerjakan agar uang terkumpul untuk meninggikan ilmu. Mereka malah merencanakan agar Soelaiman pergi dulu ke Tanah Suci untuk berhaji sebelum meneruskan perjalanan ke Mesir. Bapak berkata:

Kian dalam koefikirkan, kian tetaplah maksoedkoe hendak melangsoengkan mengirim dia ketanah Mesir. Telah koetangkoep telentangkan, koeboeai koeajoenkan mentjari djalan bagaimana daja oepaja kita mengoesahakan mengoempoelkan belandjanja.”

Uang segera dikumpulkan dengan cara menjual tanah pusaka. Soelaiman mesti berilmu dan memiliki pemahaman agama Islam di Al-Azhar.

Orang tua memberi restu pada Soelaiman. Belajar memang tak pernah berakhir, sebelum ajal tiba.

Baca juga:  Hubungan Baru NU dan Pemerintahan Jokowi

Di Semarang, Soelaiman rajin belajar dan mengusahakan diri menjadi pengarang. Sekian tulisan sudah dimuat di surat kabar terbitan Jogjakarta. Segala kemajuan belajar diketahui orang tua. Sang bapak berkata:

Kalau benar ia sedang dimaboek gelombang ilmoe, ta’ baik kita poetoeskan ditengah-tengah, nanti ia patah hati.”

Soleiman dan orang tua bermufakat. Pergi ke Mesir itu bermisi mulia. Novel tak melulu bercerita misi ilmu. Soelaiman pun memiliki cerita asmara bersama Siti Alimah, pelajar sedang bersekolah di Jogjakarta.

Dua insan, Soelaiman dan Siti Alimah, tak mau melanggar ajaran agama berdalih hasrat cinta. Mereka tak bertingkah seperti “student” bercap modern atau Barat. Mereka berjanji bakal menikah setelah Soelaiman tamat belajar di Al-Azhar.

Adegan sebelum Soelaiman pergi dari rumah menuju Betawi untuk naik kapal menuju negeri-negeri asing terasa mengharukan. Ibu memberi pesan ke Soelaiman:

“Besar harap kami, nak, dapatlah hendaknja engkau kelak djadi orang ‘alim, berdjasa bagi kemadjoean agama dan bangsamoe. Seboleh-bolehnja sekembalinja dari Mesir kelak, engkau telah dapat memimpin bangsamoe, mendjadi tiang tonggak pertahankan Islamoe…”

Bapak pun turut bernasihat:

“Hendaklah engkau radjin beladjar disekolahmoe Al-Azhar, tjamkanlah segala petoeah goeroemoe. Djangan sampai engkau bertabiat malas dan lengah, bertoealang kian kemari dari qahwa ke qahwa, dari lepau ke lepau, dari cafe ke cafe, djangan! Ingat-ingat, ja anakkoe.”

Segala nasihat diterima sebagai bekal melanjutkan belajar ke Mesir.

Baca juga:  Sabilus Salikin (100): Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (2)

Novel berjudul Student Soelaiman bercerita keinginan Soelaiman belajar ke Al-Azhar. Pengarang tak pernah bercerita keadaan Soelaiman saat di Mesir. Cerita berakhir di perjalanan naik kapal melintasi laut demi laut. Pengarang menulis kalimat-kalimat terakhir di novel:

Kapal jang sebegitoe besarnja terapoeng-apoeng ditengah laoetan Hindia jang beratap langit. Entah selamat tidaknja pelajaran itoe, wallahoe’alam!”

Pembaca tak pernah tahu jika tokoh bernama Soelaiman berhasil belajar di Al-Azhar. Novel telah berakhir.

Novel lawas memiliki pesan tentang kemauan belajar ke Al-Azhar pada saat Indonesia masih terjajah. Misi  belajar dijalankan bermodal kemauan, uang hasil penjualan tanah pusaka, dan perjalanan melalui laut.

Novel Student Soelaiman mendahului Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih jika berkaitan Al-Azhar. Dampak cerita memang berbeda saat pembaca sastra Indonesia tak memiliki ingatan ke novel lawas. Kita cuma menduga bahwa penulisan dan penerbitan Student Soelaiman dipengaruhi misi para pelajar Indonesia melanjutkan belajar ke Al-Azhar, berbeda haluan dengan “student” saat mengimpikan jadi manusia ilmu dan berperadaban modern dengan pergi belajar ke Belanda atau Eropa. Janji Soleiman:

“Laloe dilajangkan poela fikirannja mengingat akan segala peristiwa perdjalanan poedjangga-poedjangga Islam dahoeloe kala, jang mereka itoe tetap hati dan tegoeh iman sama bersoenggoeh-soenggoeh menoentoet ‘ilmoe pengetahoean, pergi kerantau orang jang djaoeh-djaoeh oentoek menambahi pengetahoeannja, dengan ta’ mengendahkan soesah pajah dan menempoeh doeri ranjdau.”

Novel lawas telah mengingatkan pembaca tentang pelajar, Indonesia, Al-Azhar, dan Islam. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top