Apa yang kalian pahami tentang biasnya pendidikan perempuan, dan terkait isu kesetaraan gender yang sampai saat ini tak kunjung terselesaikan? Hal ini akan menarik untuk dibahas dalam tulisan ini.
Sebelum memaparkan tentang “Bias Gender: Pendidikan Perempuan di Era Modern”, ada baiknya kita sedikit mengulik kondisi pendidikan di Indonesia. Indonesia adalah negara berkembang, dan masyarakatnya diwajibkan untuk sekolah minimal 12 tahun mulai dari SD, SMP sampai SMA. Tetapi, banyak masyarakat khususnya perempuan yang berasal dari daerah terpencil, yang terkendala dengan akses untuk mendapatkan haknya tersebut, yang akhirnya banyak masyarakat yang tidak belajar dan buta huruf. Selain terkendala akan akses, ada juga yang terkendala dengan ekonomi.
Padahal kemajuan bangsa salah satunya diukur dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu. Hal ini, menjadi tugas dari pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikannya. Dapat dilihat dalam sebuah artikel Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, karya Harum Natasha, Vol. XII, No. 1, 1 Juni 2013. Yang menjadi bukti bahwa sebagian perempuan masih tertinggal dalam pendidikan.
Menurut penulis sendiri ketika melihat riil di lapangan, negara Indonesia yang memiliki jumlah demografinya yang tinggi, yang mengakibatkan diskriminasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan. Nyatanya di beberapa desa, banyak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Dikarenakan harus bekerja untuk membantu dan memenuhi anggota keluarganya. Dan menurut sebagian masyarakat tidak perlu berpendidikan tinggi, karena nantinya juga akan mengurus dapur. Padahal, seiring berjalannya waktu, dengan menambah pendidikan akan mengubah kualitas pengetahuan, cara pandang dan ekonomi kehidupan.
Misalnya, salah satu contoh yang dapat saya lihat, yaitu di Desa Bantarwaru, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, yang di dalamnya terdapat kampung kecil, yaitu Kubang-Karees. Kubang-Karees ini adalah salah satu kampung, yang sebagian besar masyarakatnya kurang memiliki motivasi untuk melanjutkan pendidikan karena dipengaruhi oleh ekonomi dan motivasi belajar.
Menurut mereka, dengan kurangnya ekonomi, justru lebih baik bekerja, ataupun menikah sebagai bentuk solusinya. Sebaliknya, ada yang lebih cukup dari materi kehidupannya, justru tidak melanjutkan pendidikan, karena kurang motivasi dari keluarga dan anaknya. Dan ada sebagian kecil juga dari beberapa keluarga, yang anaknya melanjutkan pendidikan sampai magister dengan beasiswa. Dikarenakan ada motivasi kuat dari anaknya tersebut untuk belajar.
Selain itu, kita bisa lihat ketertindasan yang dirasakan oleh perempuan dan kebiasaan gender dalam pendidikan. Dimana para perempuan dipandang sebagai orang yang lemah, dan tidak bisa melakukan sesuatu yang biasa laki-laki kerjakan. Misalnya pertama, kita liat sistem pembelajaran di sekolah dan lingkungan keluarga. Dalam sistem pembelajaran berupa buku ajar, gambar pilot selalu ditujukan kepada laki-laki karena memiliki kecakapan dan kekuatan. Sedangkan perempuan selalu dikaitkan dengan guru, yang tidak terlalu kuat dalam fisiknya, dan hanya berfungsi untuk mendidik anak-anak.
kedua, adanya diskriminasi dalam kesempatan memperoleh pendidikan dalam keluarga, karena kondisi ekonominya yang kurang, bahwa yang perlu didahulukan adalah anak laki-laki karena laki-laki akan membimbing keluarganya nanti. Sedangkan perempuan dinilai tidak perlu tinggi dalam pendidikan karena nantinya juga akan berada dalam ruang domestik seperti mengurus anak, suami dan rumahnya. Dari pandangan ini dinilai bahwa pendidikan tinggi tidak perlu bagi kaum perempuan.
Ketiga, ketimpangan dari segi minat. Minat laki-laki lebih dominan pada bidang teknologi dan industri. Namun, perempuan akan selalu memilih tentang perawat kesehatan, teknologi kerumahtanggaan dan lain sebagainya. Karena sudah menjadi kebudayaan dan patriarki di dalam masyarakat.
Berdasarkan kasus umum dan kebiasan pendidikan di atas ada 3 alasan alternatif bagi peningkatan pendidikan perempuan. Yaitu di antaranya; pertama, akses perempuan dalam dunia pendidikan harus seimbang. Kedua, adanya bias gender yang perlu dirubah kurikulumnya. Dan ketiga, pendidikan formal di Indonesia belum menjawab kehidupan sepesifik bagi perempuan. Karena hal ini perlu dan terus diusung bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Rustan Efendy yang berjudul “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan” dalam jurnal al-Maiyyah. Vol 07, No. 2, Juli-Desember tahun 2014.
Sedangkan pandangan dari K.H. Husein Muhammad tentang konsep kesetaraan gender dalam pendidikan Islam bagi perempuan adalah adanya kesamaan antara laki-laki dan perempuan baik dari materi pembelajaran, fasilitas yang didapat di kelas dan tidak adanya pemisahan ruang di dalam pesantren, cukup bersikap dan mempraktikkan akhlak yang baik, karena dengan akhlak yang baik tentunya akan menjadi kunci keberhasilan dalam pembelajaran.
Dapat dilihat dari skripsi Hilma A’laudina yang berjudul “Konsep Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam Menurut K.H. Husein Muhammad dan Relevansinya dengan Sistem Pendidikan Di Pondok Pesantren”, dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, April tahun 2021.
Dapat dipahami bahwa dari solusi yang ditawarkan di atas, bias gender dalam pendidikan perempuan tersebut bisa disolusikan dengan pendidikan alternatif, yang memberikan pemahaman tentang gender kepada perempuan, bahwa dengan memiliki pengetahuan tentang gender, tentunya akan memberikan pencerahan dan pengetahuan sehingga nantinya akan memprioritaskan pendidikan formal sebagai hal yang utama untuk menjadi manusia yang berkualitas.
Selain itu juga ditambah dengan pandangan KH. Husein Muhammad bahwa dengan menggunakan akhlak yang baik, tentunya akan menjadi kunci keberhasilan dalam pembelajaran di kelas tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan penulis sendiri berusaha untuk terus mengembangkan diri sendiri menjadi lebih baik ke depan, mulai dari pengetahuan, pengalaman, kemampuan dan tidak bergantung penuh kepada laki-laki.