Sedang Membaca
Asghar Ali Engineer dan Teologi Pembebasan Perempuan
Rimanda Maulivina
Penulis Kolom

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Asghar Ali Engineer dan Teologi Pembebasan Perempuan

Kartini, Agnes Mo,. Najwa Shihab

Pada zaman kebodohan (jahiliyah) kaum perempuan dianggap sebelah mata dalam kehidupan, direndahkan, tidak dihargai, dianggap layaknya sampah bahkan apabila lahir anak perempuan, maka bayi tersebut langsung dibunuh secara hidup-hidup. Sebelum masuknya Islam, wanita tidak memiliki peran apapun. Dari segi sejarah, perempuan selalu menjadi korban mitologi, ketidaknyamanan saat hamil, dan rasa sakit yang dialami saat melahirkan. Hal tersebut dianggap sebagai hukuman atas dosa pertama (Dosa Hawa).

Dalam penempatan posisi antara wanita dan pria, Islam merupakan agama satu-satunya yang tidak berat sebelah, artinya Allah tidak memihak antara laki-laki ataupun perempuan. Hal ini juga diperkuat oleh firman Allah Bahwa “makhluk yang paling dekat dengannya bukanlah laki-laki atau perempuan, tetapi orang yang paling saleh dan bertaqwa kepada-Nya, baik itu laki-laki maupun perempuan.”

Pada saat kemunculan Islam sebagai agama yang membawa kabar baik dan sebagai petunjuk serta peringatan untuk umat manusia, seketika itu pandangan terkait perempuan mulai berubah. Status perempuan telah dicabut dari semua bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dalam ajaran agama Islam kedudukan laki-laki dan perempuan mempunyai status yang sama. Islam mulai membawa keadilan bagi perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Islam merupakan agama yang sangat menjaga harkat dan martabat perempuan dengan memegang prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan sosial. Karena itu, Asghar Ali memandang Islam sebagai agama yang didalamnya terdapat semangat pembebasan. Dengan demikian, ia mencoba untuk membangun kembali nilai-nilai pembebasan dalam Islam sebagai bentuk teologi pembebasan.

Baca juga:  Korban Kekerasan Seksual (4): Bagaimana Korban Kekerasan Tidak Dilecehkan Kembali

Asghar Ali adalah seorang feminis yang bertekad untuk membela hak kaum perempuan dalam Islam. Ia seorang aktivis sekaligus pemikir India yang lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajasthan, India, sebagai putra seorang pendeta Bohra penganut paham dari Syi’ah Ismailiyah yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Vikram, Ujjain dan lulus dengan gelar doctor di bidang teknik sipil.

Ketika pemberontakan terjadi di Udaipur, tahun 1972, ia berperan utama dalam gerakan reformasi. Terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pusat Komunitas Dawoodi Bohra dalam konferensi pertamanya di Udaipur pada tahun 1977. Kemudian ia mendirikan  Institute of Islamic Studies di Mumbai tahun 1980 dan mendirikan “Pusat Penelitian Sosial dan Sekularisme” pada 1993 untuk mempromosikan kerukunan masyarakat.

Menurutnya, adanya ketimpangan gender didasarkan pada anggapan teologis bahwa diciptakannya perempuan itu lebih rendah dari laki-laki. Seperti adanya anggapan bahwa perempuan hanya boleh melakukan aktivitas di dalam rumah karena mereka tidak pantas untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin dan kemampuan yang dimilikinya tidak setara dengan laki-laki.

Namun Asghar Ali juga menjelaskan bahwa Al-Qur’an memberikan tempat yang sangat mulia bagi semua orang, baik laki-laki dan perempuan. Kitab suci Al-Qur’an menyatakan bahwa status sosial dan keagamaan perempuan itu sama dengan laki-laki. Oleh karenanya, pemikiran Asghar Ali ini sudah jelas berawal dari kecemasan, yaitu keadaan kaum perempuan dalam Islam yang masih mengkhawatirkan, sehingga konsep emansipasi yang diberikan sangat menarik.

Baca juga:  Sitti Maimunah: Aktivis NU yang Menjadi Da’iyah Sejak Muda

Hingga saat ini pemikirannya masih sangat menarik karena konsep-konsep yang diberikan Asghar Ali tidak hanya memberikan ide-ide teoritis bagi pemikiran keagamaan Islam. Tetapi ia juga memperjuangkan pembebasan dan kemanusiaan terutama bagi para aktivis kesetaraan perempuan yang memberikan landasan teologis.

Ia memberikan metode teologis sosial yang dapat memberikan jawaban yang rasional (mampu berpikir logis) , realistis, dan tetap berpegang pada nilai-nilai agama Islam dalam berbagai isu yang berkaitan dengan pembebasan atas hak-hak perempuan. Cara berpikir Asghar Ali terhadap isu-isu terkait perempuan cukup berbeda dengan literatur Islam selama ini.

Dalam hal ini terdapat alasan-alasan tertentu : Pertama, ia melihat persoalan tentang perempuan yang berkembang di dunia Islam dari perspektif metodologis dan tidak terbatas pada persoalan fikih, tetapi meliputi tentang persoalan filosofis, antropologis (ilmu tentang manusia), sosiologis (ilmu tentang sosial) dan sejarah. Kedua, ia menyajikan karya-karyanya dari sudut pandang tantangan sosial dan budaya yang dihadapi di era Islam modern saat ini.

Upaya revitalisasinya berdasarkan atas analisis sejarah pembebasan yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan penjelasan yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga mempermudah proses pembebasan. Terdapat beberapa ayat yang berkaitan tentang pembebasan  yaitu ayat tentang memerdekakan budak, kesetaraan gender dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia.

Baca juga:  Perempuan dalam Perspektif Islam dan Psikoanalisis (2): Kemurnian Cinta Ibu

Jadi, pandangan Asghar Ali tentang asumsi dasar teologi pembebasan adalah manusia mempunyai kebebaasannya sendiri. Dalam artian bahwa secara alami manusia akan melawan berbagai bentuk penindasan dan pada dasarnya manusia adalah makhluk cerdas yang cenderung pada kesetaraan dan keadilan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top