Didi Kempot (DK) lahir di pusat peradaban Jawa: Surakarta. Sejak kecil ia diajari geguritan, tembang, macapat dan kebudayaan Jawa umumnya oleh bapaknya yang juga seniman Ranto Edi Gudel.
Sehari-hari, ia berbahasa Jawa. Lagu-lagunya semuanya dalam bahasa Jawa. Bukan pelajaran bahasa Jawa di sekolah atau seminar-seminar oleh lembaga kebudayaan Jawa, tapi DK-lah, yang menghidupkan bahasa Jawa dalam praktik hidup sehari-hari. Bahasa Jawa pun menyelinap ke sanubari para milineal. Sampai yang bukan berasal-usul Jawa pun terseret jatuh cinta.
Dan DK memang seniman jempolan dan serba bisa. Ia hidup dari dan menghidupi jagat keseniannya tersebut secara total.
Di daerah-daerah mungkin banyak seniman seperti DK. Lahir, tumbuh dan kemudian menghidupi bahasa ibu, bahasa daerahnya, melalui seni tradisi pop. Setara seriusnya, setara totalnya. Tapi mau bertungkus lumus sebesar apapun, mereka mungkin berat untuk menasional, salah satunya karena kebudayaan daerah, termasuk bahasanya, tak didukung sebanyak orang berasal-usul Jawa.
Jawa adalah suku terbesar di Indonesia, dengan hampir 40% dari penduduk Indonesia. Ini perkiraan sensus tahun 2010. Tentu belum termasuk para perantaunya. Orang boleh bilang bahwa Minang, Bugis, Batak atau Madura sebagai suku perantau, dan Jawa tak banyak disebut. Tetapi kenyataan sosiologis menunjukkan –melalui transmigrasi spontan dan resmi– orang Jawalah yang persebarannya paling merata di Nusantara. Profesinya bervariasi. Kelasnya terentang dari pejabat hingga kuli bangunan.
Ketika berkeliling ke sudut-sudut Nusantara, dari Toba, Sambas, Bone hingga Sumba yang terpencil, saya selalu berjumpa dengan orang Jawa. Sekali lagi dengan variasi profesi. Bukan hanya rumah makan atau tukang cukur. Dan semasa kecil di kampung, saya familiar dengan lagu-lagu pop berbahasa Jawa Koes Plus dari para komunitas Jawa yang berduyun datang sejak era kolonial karena keberadaan industri minyak di kecamatan saya.
Di Bali, ketika DK pentas, menurut dugaan kasar seorang teman 65% penontonnya orang Jawa. Jadi masih ada 35% yang bukan Jawa. Tapi di NTB, sopir yang membawa kami berkeliling selalu menyetel DK, meski dia bukan orang Jawa.
Inilah salah satu advantage yang dimiliki DK, dan tak banyak dipunyai oleh seniman-seniman dari daerah lain. Dan DK memanfaatkan advantage itu dengan serius, maksimal dan total.
Tentu saja ini bukan khas di dunia kesenian. Di dunia riset pun, pasar penelitian Jawa lebih menjanjikan. Hampir seluruh mereka yang masyhur sebagai indonesianis adalah peneliti tentang Jawa atau yang terkait dengannya: Geertz, Anderson, dan lain-lain. Mungkin karena itu seorang Denys Lombard yang sebelumnya menulis dengan gemilang tentang Iskandar Muda pindah meriset Jawa dan lahirlah Nusa Jawa, karyanya yang justru paling banyak dikutip dan membuatnya lebih terkenal. Antropolog James T. Siegel juga awalnya meneliti Aceh, tapi belakangan memalingkan perhatian ke Jawa dan menulis Solo in the New Order.
Di sebuah daerah di Kalimantan Selatan, saya pernah melihat spanduk ceramah Kiai Anwar Zahid, seorang penceramah yang konsisten menggunakan bahasa Jawa pesisiran. Tidak aneh karena daerah itu memang banyak orang Jawanya. Tapi sulit membayangkan seorang kiai di Kalimantan Selatan atau Sulawesi Selatan yang masing-masing berbahasa daerahnya diundang ke Jambi atau Yogya misal.
Tentu juga karena Jawa itu eksotik dan menarik. Dunia batin dan kosmologinya memukau. Sejarahnya kaya. Tapi entah mau diletakkan ke faktor berapa, terserah rapat panitialah, Jawa adalah pasar. Ini tak bisa dibantah
Tapi tidak semua seniman bisa mengolahnya, dan DK adalah pengecualian. Saya tak tahu apa ‘riyadhah’-nya, sementara seniman lain seangkatannya tenggelam, ia muncul kembali dan sukses ‘come back’.
Dan pengaruh Jawa DK ini, menariknya, dan syukurnya, tak dinyinyiri sentiman anti-Jawa. Mungkin karena ia bergerak di ranah musik pop, yang mengajak orang joget dan ambyar bersama.
Dan juga karena DK orang baik.
Baca esai Hairus Salim HS lainnya klik di sini