Sedang Membaca
Membaca Fenomena Fundamentalisme Islam di Madura
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Membaca Fenomena Fundamentalisme Islam di Madura

Beroperasinya jembatan Suramadu diiringi makin mudahnya akses internet tidak hanya menggeser tata nilai budaya, eksploitasi sumber daya alam dengan kemaruk, sempitnya ruang-ruang hidup, sampai pada tidak berdayanya orang Madura menghadapi laju industrialisasi, tetapi juga berdampak pada cara pandang orang Madura di dalam memahami agama (baca; Islam).

Suatu ketika, saya salat jumat di salah satu masjid di Kabupaten Sumenep, ujung timur Pulau Madura. Masjid ini laiknya seperti masjid-masjid pada umumnya. Sepintas tak ada suatu hal yang mengganjal. Namun, saat khatib membaca teks khotbah, baru perasaan saya mulai terusik. Apa isi khotbahnya?

Isi khotbah mengurai akan kemusyrikan tradisi petik laut, selamatan desa, dan pelbagai tradisi lain yang sudah ratusan tahun mengakar di tengah-tengah masyarakat.

Itu semua, kata sang khatib, merupakan sumber dari malapetaka yang terjadi di negeri ini. “Karena itu, kita harus meninggalkan tradisi-tradisi yang musyrik itu. Tak ada yang lain yang patut diminta pertolongan selain Allah Swt………..” kata khatib, panjang lebar sambil sesekali mengutip ayat Alquran dan hadis.

Pengalaman serupa juga saya alami kala perjumpa dan terlibat diskusi dengan seorang guru di salah satu lembaga pendidikan di Madura. Sang guru ini mempunyai pandangan bahwa salat jenazah bagi orang-orang yang tertimpa musibah gempa dan sunami di Palu, beberapa waktu lalu, adalah perbuatan sia-sia. Apa alasannya?

Sebab katanya, berdasar berita yang tersebar di media sosial, orang-orang itu sebelumnya telah berbuat maksiat. Jadi, untuk apa mensalatkan orang-orang yang benar-benar dilaknat oleh Allah Swt?

Kemudian, sang guru tersebut juga menggugat sila pertama daripada Pancasila. Menurutnya, sila pertama Pancasila yang pas sebagai dasar negara ialah bertuhan kepada Allah Swt dan berdasarkan kepada syariah Islam secara kafah (menyeluruh).

“Perubahan sila pertama Pancasila ini karena ulah PKI. Mereka kan tidak percaya akan adanya Tuhan….” katanya.

Saya tertegun mendengar argumen guru ini. Bagaimana kalau pendapatnya ia cekoki kepada murid-murid yang rerata masih remaja dan belum memiliki pengetahuan mendalam, utamanya soal nilai-nilai dasar kebangsaan dan keislaman.

Baca juga:  Hamdan atau Hamadan?: Tentang Kota dan Ulama

Gerakan ideologi yang menginginkan penerapan syariah Islam pada setiap tatanan sosial-politik di Madura bukan barang baru. Gerakan itu bangkit kembali ketika kran reformasi dibuka yang kemudian membuahkan otonomi daerah. Mereka mengimajinasikan Madura menjadi serambi Madina, di mana syariah Islam meresap sebagai dasar aturan formal pemerintahan.

Kabupaten Pamekasan merupakan satu-satunya wilayah di Madura yang memiliki Perda Syariah. Di antaranya Perda No. 18 Tahun 2001 Tentang Larangan Minuman Beralkohol, Perda No. 18 Tahun 2004 Tentang Larangan Pelacuran, Perda No. 05 Tahun 2014 Tentang Penertiban Kegiatan Pada Bulan Ramadlan. Pendekatan formalistik ini diyakini dapat menjauhkan masyarakat dari kemaksiatan dan mendekatkan pada ketakwaan.

Apabila ditarik lebih jauh bahwa gerakan keagamaan yang mengutamakan akan ketaatan simbolik atau hal-hal dhahir di dalam beragama, bermula dari gerakan Sarekat Islam (SI).

Dalam catatan Kutowijoyo (1980:490), SI di Sapudi Sumenep, melancarkan kerusuhan-kerusuhan di beberapa tempat. Langkah ini dilakukan karena, salah satu sebabnya, masih banyaknya masyarakat yang lalai di dalam melaksanakan kewajiban agama. Demikian juga dengan SI Duko, Pamekasan, pimpinan Kiai Taman.

Oleh karena itu, gerakan ideologi impor dimaksud dengan mudah membuat sel-sel jaringan di Madura. Walau pun saat ini masih terbatas pada wilayah-wilayah perkotaan saja. Tetapi, apabila kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin dengan muda mereka akan menggeser karakter beragama orang Madura yang santun, lebih menitik beratkan pada kebaikan sikap atau akhlak.

Dalam hal tersebut, NU sebagai ‘agama’ bagi orang Madura harus sesegera melakukan langkah-langkah antisipasi. Terpenting adalah merawat simpul-simpul jaringan kiai dan pondok pesantren tetap berada dalam lingkaran NU. Karena sejarah telah mengajarkan (termasuk pesatnya perkembangan SI) bahwa suatu kelompok akan berkembang di Madura apabila berhasil ‘mengendalikan’ simpul yang memiliki pengaruh kuat pada masyarakat bawa, yakni kiai.

Baca juga:  Keramat Kiai Basyir Madura

Dua peristiwa tersebut memberi sinyal bagi saya bahwa ada yang bergeser dari paradigma orang Madura memahami agama Islam. Sebagai wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Pulau Jawa, penyebaran agama Islam ke Pulau Madura sepertinya adalah sebuah keniscayaan.

Karena itu, karakter penyebaran Islam atau keislaman di Madura tidak jauh beda, yakni selalu akomodatif terdahap tradisi setempat dan perubahan masa. Sebagaimana strategi dakwah yang telah dirintis oleh Wali Songo.

Salah satu contoh yang bisa disebut adalah adaptasi pengenalan akan dua puluh sifat-sifat Allah SWT, sebagaimana diurai dalam kitab Aqidatul Awam karya Syaikh Ahmad Marzuki, ke dalam bahasa Madura. Sehingga penanaman nilai-nilai tauhid dengan mudah dapat terserap. Syair ini biasanya dilantunkan di beberapa langgar sebelum salat berjamaah dimulai. Berikut petikan teksnya:

Allah bedhe dullu langgeng// apar bidhe kalaben makhlogghe// jumenneng kalaben dzat dhe dhibik// settong Allah// kobhesa// kasokan// oneng odhik…..

Contoh lain adalah dakwah yang dilakukan Syaikh Ahmad Baidlawi atau dikenal sebagai Pangeran Katandur, cicit dari Sunan Kudus, yang hidup pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Makamnya terletak di desa Bangkal (sebelum mengalami pelebaran wilayah dulu bagian dari desa Parsanga) Sumenep. Sampai hari ini, selalu ramai dikunjungi peziarah, baik yang datang dari sekitar Madura maupun Pulau Jawa.

Jalan dakwah yang ditempuh oleh Pangeran Katandur untuk menanamkan ajaran agama Islam adalah bercocok tanam (nandur). Dapat dipahami, karena desa Bangkal memiliki persediaan air yang cukup.

Di samping itu, desa ini berbatasan dengan beberapa desa yang termasuk wilayah subur; ujung timur ada desa Paberasan, sebuah desa yang dikenal sebagai lumbung padi, sedang sebelah utara ada desa Kebunan, sebuah desa yang menjadi pusat perkebunan.

Baca juga:  Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Dan, konon, tradisi kerapan sapi seperti dapat disaksikan hari ini merupakan negosiasi kultural yang dilakukan Pangeran Katandur. Karena pada mulanya yang diadu dalam kerapan sapi ialah manusia.

Karenanya sebaran Islam di Madura -seperti yang dilakukan Pangeran Katandur- tidak memunggungi kondisi lingkungan di mana ia berada. Perombakan terhadap tradisi setempat yang menyimpang dengan nilai-nilai keislaman, tentu ada. Tetapi itu semua dikemas dengan sikap atau cara-cara yang elegan. Berbeda sekali dengan kelompok keagaman yang sebenarnya tidak memiliki akar kuat di Madura. Atau mereka yang di di setiap majelis ta’lim selalu teriak-teriak; “takbir” dengan mengatasnamakan pembela syariah Islam (apa saja namanya) yang agresif-ofensif terhadap nilai luhur kebudayaan.

Bahkan, oleh para pendakwah “made in” Madura, agama didekatkan kepada masyarakat dengan penuh canda tawa. Misal, betapa akal tidak kuasa mempertanyakan hal-hal yang masuk ke dalam kategori qath’i, seperti ketentuan berwudu. Suatu ketika seorang santri yang telah kuliah di kota bertanya kepada kiai kampung, kiai yang mengajari baca Alquran. Dialognya kira-kira demikian:

Santri: “Kenapa saat berwudu yang dibasuh muka, bukan dua ‘jalur’ keluarnya air besar dan kecil? Menjawab pertanyaan demikian, kisah sang dai, tongkat yang dipegang kiai kampung itu dipukulkan ke betis santri.

Santri: “Aduh,” sambil teriak. “Sakit, Kiai!”

Kiai: “Lah, yang saya pukul kan betismu? Mengapa mulutmu yang sakit dan teriak-teriak lagi. Apa hubungannya betis dengan mulut?”?

Nah, dalam hal ini orang luar banyak yang tidak mengetahui bahwa orang Madura begitu lentur di dalam beragama. Karenanya jarang sekali carok atau friksi sosial terjadi karena sentimen agama atau keyakinan. Walau pun agama, seperti daerah lain di negeri ini, bagi orang Madura adalah ‘martabat yang harus dibela sampai titik darah penghabisan’.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top