Sedang Membaca
Pesantren Sebagai Pelestari Bahasa Daerah
Rijal Mumazziq Z
Penulis Kolom

Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember

Pesantren Sebagai Pelestari Bahasa Daerah

Punahnya satu bahasa di dunia bukan karena penutur jatinya (“native speaker”) berhenti berbicara, melainkan karena ayah-ibu dalam satu keluarga tidak lagi menggunakan bahasa ibu (“mother tongue”) di ranah keluarga. Demikian tulis Gufran A. Ibrahim dalam artikelnya di Kompas, 21 Februari 2018.

Prof. Gufran perlu menuliskan kekhawatiran punahnya bahasa lokal dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional, yang diperingati atas mandat Unesco saban 21 Februari. Anda baru tahu ada hari spesial ini? Sama.

Oke, lupakan pengetahuan kita yang minim soal hari-hari nasional dan internasional ini. Yang paling penting, seberapa banyak kita bertutur menggunakan bahasa ibu ini dalam ruang lingkup keluarga. Sebab, dengan jumlah suku bangsa yang sangat banyak, keberadaan bahasa daerah lambat laun berkurang. Beberapa tahun silam, ada bahasa lokal di Maluku yang jumlah penuturnya tinggal 11 orang. Itupun sudah banyak yang berusia senja. Bagaimana nasib bahasa daerah tersebut? Saya tidak tahu.

Begini, saya sepakat jika bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, bahasa persatuan. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar dalam ruang birokrasi, komunikasi edukasi, maupun mempererat relasi sosial/ekonomi. Bahasa resmi.

Tapi selaras dengan itu, ada tanggungjawab personal bagi kita untuk tetap mempertahankan bahasa lokal, bahasa daerah. Mengapa? Sebab, selain menjadi penguat identitas primordial agar tidak kehilangan asal-usul, bahasa daerah juga menjadi penguat akar kedirian. Ketika Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam masih belia, beliau dititipkan ke keluarga di perdesaan, antara lain, untuk membiasakan berkomunikasi menggunakan Arab yang “murni” serta dikenalkan dengan syair-syair Arab purba. Di kemudian hari, Harun Arrasyid remaja juga melakukan hal yang sama, termasuk Al-Amin dan Al-Makmun, kedua putranya.

Baca juga:  Pesan Buya Hamka di Warung Sate

Ada pula Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang di masa remajanya juga belajar di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang sudah kondang kefasihan dan kemurnian bahasanya, syair-syair mereka, serta pengetahuan mereka akan silsah leluhur bangsa Arab.

Di tanah air, para pangeran sebelum dibaiat menjadi raja, mula-mula diajar akar kebahasaan mereka. Pangeran Jawa belajar falsafah Jawa, petuah-petuah leluhur, hingga tembang-tembang purba. Demikian pula dengan para sultan di Maluku, Gowa, Pontianak, Palembang dan sebagainya. Setelah dikukuhkan akar identitasnya, mereka kemudian diperkenalkan dengan budaya dan bahasa lain. Arab, Belanda, hingga Inggris.

Nama-nama di atas yang saya sebutkan “menggali ke dalam” terlebih dulu, mengenali identitas kedirian mereka, sebelum kemudian menjelajah dimenasi keilmuan dan kebudayaan lain. Sehingga kita menemukan fakta Diponegoro adalah seorang pangeran yang fasih bercerita mengenai filosofi Jawa, termasuk mitologi yang melingkupinya. Fakta yang sama kita temui pula dalam diri Soewardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, termasuk pula pada diri Raja Ali Haji hingga Amir Hamzah, bangsawan Melayu yang menjadi penggerak kesusastraan era baru.

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, sebaiknya kita angkat topi dan bertepuktangan atas upaya pesantren menjaga keberlangsungan bahasa daerah. Di lembaga ini, proses pengajaran dilakukan dengan menggunakan metode sorogan (tutorial) dan bandongan (seminar) dengan tetap mendahulukan bahasa daerah sebagai pengantar, khususnya dalam memaknai kata per kata dalam sebuah kitab. Di Jawa, Sunda, dan Madura, transformasi ilmu dilakukan menggunakan metode “utawi iki iku” dengan bahasa lokal masing-masing.

Baca juga:  Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra

Bagi saya, ini adalah upaya jenius dalam melindungi kepunahan bahasa-bahasa lokal, sungguhpun di dalam memaknai kata per kata, banyak sekali kosakata bahasa daerah yang mulai asing karena jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

Misalnya, mertela-ake (menerangkan), ndepe-ndepe (merendahkan diri), kepailan (paceklik), rojokoyo (hewan peliharaan), pepaes (perhiasan), aris (murah hati), dodot (pakaian), melanggeri (memberi definisi), dan seterusnya. Ini adalah bahasa Jawa namun penggunaannya sehari-hari nyaris tidak dijumpai. Namun, di pesantren, istilah ini tetap terlestarikan dalam frekwensi ilmiah untuk memaknai kata berbahasa Arab.

Pelestarian kosakata Jawa yang terasing dari penuturnya ini adalah wujud mempertahankan identitas budaya dan akar tradisi. Sebuah upaya yang juga didukung oleh habitus lain, yaitu etika lokal: gestur saat berhadapan dengan lawan bicara dan pilihan kata yang halus (Kromo Inggil) dalam berkomunikasi antara guru dan murid.

Jangan lupa, pelestarian kosakata Jawa ini bisa berlangsung dengan baik juga berkat “bantuan” aksara Arab-Pegon, abjad Hijaiyah yang telah dimodifikasi sesuai dengan tradisi intelektual di Jawa, Sunda, dan Madura, yang secara penulisan sedikit berbeda dengan Arab-Jawi (Melayu).

Di lain pihak dalam ruang lingkup yang sama, para ulama kita juga menganggit kitab berbahasa lokal. Misalnya yang dilakukan KH. Soleh Darat, KH. Asnawi Kudus, KH. Bisri Mustofa, Ajengan Ahmad Sanusi, Habib Utsman bin Yahya, dan sebagainya. Sebuah upaya menjaga agar identitas dan jatidiri tidak luntur.

Baca juga:  Perjuangan Kemerdekaan oleh Santri-Santri Nusantara dari Kairo (Bagian 3)

Uniknya lagi, meski lahir dari rahim yang sama dan besar dalam tradisi intelektual yang sama, penggunaan bahasa Jawa antara KH. Bisri Mustofa dengan adiknya, KH. Misbah Zainal Mustofa, banyak perbedaan. Ini bisa dicek dalam karya-karya beliau. Khususnya dalam tafsir. Kiai Bisri menggunakan corak bahasa Jawa Tengahan pesisir. Adapun Kiai Misbah menggunakan bahasa Jawa Timuran. Maklum, sang kakak tinggal di Rembang, sedangkan adiknya tinggal di Tuban. Perbedaan geografis yang mempengaruhi bahasa tutur keseharian ini kemudian merembet pada pola penulisan karyanya. Asyik, bukan?
—-
Kita boleh saja berbahasa Inggris dengan alasan modern, atau berbahasa Indonesia untuk mengerek gengsi, atau beristilah Arab untuk kelihatan wow, tapi mula-mula, sebaiknya kita ajarkan komunikasi bahasa daerah dengan anak-anak kita, dalam ruang keluarga.

Mengajari anak berbahasa daerah bukan lambang primordialisme, melainkan bagian dari pengokohan identitas personal, sebagaimana kata Habib Lutfi bin Ali bin Yahya. Bahwa, dengan mengajari anak berbahasa daerah, kita bangga bisa menjadi bagian dari Tamansari Indonesia. Sebagaimana Sunda, Batak, Dayak, Bali, Papua, Bugis, Madura dan berbagai suku bangsa lainnya yang telah menjadi mozaik pembentuk Indonesia.

Yang merasa orang Jawa, sudah kah membiasakan komunikasi berbahasa kromo inggil dengan anak? Urang Sunda, bagaimana? Reng Medhureh, masih aktif berbicara bahasa ini di keluarga?

WAllahu A’lam bisshawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top