Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Sejarah. Penulis lepas.

Kisah di Balik Gus Dur Memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi

Pada tulisan sebelumnya dijelaskan bahwa pemilihan kabinet Gus Dur merupakan hasil dari kompromi yang tidak mungkin bisa dielakkan. Dalam buku Menjerat Gus Dur, Virdika mengutip Greg Barton bahwa menteri-menteri yang diangkat oleh Gus Dur, tiak hanya harus bertanggungjawab kepada Gus Dur, melainkan juga bertanggungjawab kepada ketua umum partai koalisi.

Dengan demikian, kekuasaan Gus Dur terkesan sangat terbatasi.  Hal ini yang membuat para pengamat ragu dengan komitmen Gus Dur yang akan menngiplementasikan kerja-kerja reformasi. Tidak hanya itu, adanya dualisme pertanggungjawaban juga membuat para menteri akan lebih menjalankan kepentingan partai politiknya daripada kepentingan pemerintahan Gus Dur.

Kekhawatiran itu terbukti pada 24 April 2020. Saat itu, Gus Dur mengumumkan memberhentikan dua orang menterinya yaitu Laksamana Sukardi, Menteri BUMN (PDI-P) dan Jusuf Kalla, Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Partai Golkar). Dalam hukum tata negara, semestinya pemberhentian atau pergantian menteri merupakan hak prerogative presiden. Akan tetapi, situasi menjadi runyam, karena Gus Dur menyatakan alasan pemberhentian kedua menterinya itu karena diduga terlibat kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Reshuffle itu menjadi titik awal hilangnya harmoni yang coba dibangun Gus Dur dengan para partai pendukungnya. Sebab, keduanya orang yang memiliki pengaruh cukup besar di partainya. Laksamana Sukardi merupakan “anak kesayangan” Megawati dan Jusuf Kalla adalah pengusaha besar dan salah satu donatur terbesar Partai Golkar.

Baca juga:  Pengalaman Jumatan di Bandung: Khatibnya Tidak Paham

Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla sangat marah dan menolak pernyataan Gus Dur. Bahkan, Jusuf Kalla dalam Majalah Tempo edisi 7 Mei 2000, menyebut Gus Dur sebagai tukang fitnah. Sayangnya, Gus Dur tidak mau membeberkan informasi yang detail mengenai dugaan keterlibatan KKN dua menterinya itu kepada publik.

Gus Dur hanya memberikan kumpulan fotokopi dokumen penting dugaan KKN yang dilakukan Jusuf Kalla setebal 400 halaman kepada Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar. Dalam halaman 149, buku Menjerat Gus Dur, dijelaskan beberapa kasus dugaan KKN Jusuf Kalla. Salah satu kasusnya adalah Jusuf KalLa dianggap melakukan penyimpangan kasus proyek listrik, impor beras oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), dan kebijakan pajak mobil mewah.

Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla masih tak terima dengan pemaparan isi dokumen itu. Lantas, keduanya mendesak Gus Dur untuk memberikan penjelasan yang spesifik. Akan tetapi, Gus Dur bersikap sangat dingin. “Enggak usah debat, enggak usah apa-apa. Saya pakai hak saya. Saya ganti saudara,” ucap Gus Dur seperti ditirukan oleh Laksamana Sukardi kepada awak media.

Tak pelak, reaksi Gus Dur menyulut kemarahan para politikus PDI-P dan Partai Golkar. Zuldan Lindan, Politikus PDI-P menyatakan semua tuduhan Gus Dur merupakan kebohongan publik. Sementara itu, Ade Komarudin, Politikus Partai Golkar menegaskan bahwa Gus Dur harus menjaga perangainya, apabila masih ingin bertahan sebagai Presiden Republik Indonesia sampai tahun 2004.

Baca juga:  Sayid Abdullah Lombok: Keluarga Suci dan Kolonisasi

Sampai di sini, Gus Dur membuktikan bahwa dirinya sebagai presiden tak bisa “diatur” dan tidak tunduk oleh partai koalisi. Meskipun, konsekuensi logisnya adalah kehilangan dukungan dan keseimbangan dalam koalisi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
10
Ingin Tahu
4
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top