Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Sejarah. Penulis lepas.

Cara Gus Dur Menyusun Kabinet dan Mengelabui Para Calon Menteri yang Kepedean

Gus Dur resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999. Suasana Gedung DPR/MPR mengharu biru. Tidak hanya itu, kemenangan presiden pertama dari kalangan santri ini disambut dengan lantunan salawat badr.

Harapan besar tersematkan dalam diri Gus Dur sehari setelah ia dilantik. Banyak media massa saat itu mengulas tugas-tugas yang harus segera dikerjakan dan diselesaikan oleh mantan Ketua Umum PBNU ini. Di antara tugas itu antara lain: menyelamatkan Indonesia dari disintegrasi, membasmi praktik Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN), menegakkan supremasi hukum dan sipil, serta mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.

Gus Dur sadar akan banyaknya tuntutan yang sedemikian besar itu. Maka dari itu, Gus Dur harus membentuk kabinet yang tangguh agar ia bisa menyelesaikan tuntutan-tuntutan itu. Sayangnya, seperti yang ditulis dalam buku Menjerat Gus Dur (2019), Gus Dur tak bisa leluasa memilih kabinetnya. Beragam intervensi dari para partai pendukungnya mulai ingin mengendalikan Gus Dur.

Salah satunya adalah Amien Rais. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta jatah jabatan Menteri Keuangan (Menkeu) harus dari PAN dan orangnya adalah Fuad Bawazier. Gus Dur tentu saja menolak permintaan Amien Rais, karena memilih kabinet merupakan hak prerogatif presiden.

Amien pun menggertak, bila Gus Dur tak mengabulkan permintaannya, maka PAN siap menjadi oposisi Gus Dur. Gus Dur pun akhirnya melunak, ia bersedia menempatan kader PAN sebagai Menkeu, tapi siapa yang dipilih itu merupakan hak Gus Dur. Maka dipilihlah Bambang Soedibyo menjadi Menkeu dalam Kabinet Persatuan Nasional.

Baca juga:  NU Era Gus Dur di Mata Djohan Effendi

Ketika Gus Dur mengumumkan kabinetnya yang terdiri dari 35 menteri dan pejabat setingkat menteri, banyak menimbulkan kekecewaan dan kritik. Sebab, publik berharap bahwa jumlah kabinet Gus Dur itu tidak banyak. Mungkin, hanya sekitar 20 orang menteri dan pejabat setingkat menteri.

Namun terlepas dari hal itu, ada cerita menarik dalam penyusunan dan pengumuman kabinet Gus Dur yang tidak dituliskan dalam buku Menjerat Gus Dur. Seorang narasumber yang mengaku hadir dalam pertemuan itu, menceritakan kepada penulis, “Dalam rapat penentuan menteri, banyak nama yang sudah disetor oleh para ketum partai. Gus Dur pun setuju dengan nama-nama yang diusulkan, kecuali Fuad Bawazier.”

Narasumber tersebut melanjutkan, beberapa orang yang digadang-gadang akan menjadi menteri sudah bersiap panggilan telepon dari Gus Dur—pada masa Orba biasanya penunjukkan seorang menteri itu melalui panggilan telepon Soeharto atau Sekretaris Negara. “Mereka sangat percaya diri, bahkan sudah merencanakan akan mengenakan baju apa saat pelantikan nanti,” ujarnya.

Akan tetapi, ketika Gus Dur mengumumkan nama-nama menterinya, beberapa orang ini tidak dipilih dan merasa sangat kecewa. Lalu, salah satu dari mereka menelepon Gus Dur menanyakan kenapa dirinya tidak dipilih menjadi menteri. Dalam panggilan telepon, Gus Dur menjawabnya dengan bercanda.

“Oiya ya? Maaf saya lupa nama panjenengan,” seloroh Gus Dur seperti ditirukan narasumber itu. Lalu, para calon menteri yang gagal itu hanya bisa menggerutu.

Baca juga:  Benarkah Kitab-Kitab Fikih Produk Perang Salib?

Kembali pada kekcewaan dan kritik publik terhadap kabinet Gus Dur. Hal lainnya yang dikritik oleh publik adalah komposisi kabinet Gus Dur juga masih diisi oleh beberapa politikus kroni Orde Baru (Orba) dan tentara yang dinilai sangat dekat dengan Soeharto. Selain itu, Gus Dur juga cenderung mengakomodasi kepentingan seluruh partai dan terkesan tidak menginginkan adanya oposisi.

Bahkan, media massa menyebut kabinet persatuan nasional ini sebagai cabinet Supermi (Super Kompromi). Publik khawatir, dengan banyaknya jumlah menteri dan mengakomodasi semua kepentingan politik justru akan membebani Gus Dur di kemudian hari.

Gus Dur diprediksi akan kesulitan mengatur kabinetnya dan kemungkinan tersandera oleh partai-partai pendukung akan semakin besar. Akibatnya, Gus Dur akan kehilangan otonominya dalam menjalankan pemerintahan.

Namun, dalam perjalanannya, Gus Dur ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan oleh para pengkritiknya, yakni kehilangan otonomi untuk menjalankan pemerintahan dengan melakukan banyak kompromi demi menjaga legitimasi. Sebuah hal yang sangat diharapkan pada pemerintahan hari ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top