Sedang Membaca
Sabilus Salikin (53): Dasar-Dasar Tarekat Ghazaliyah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (53): Dasar-Dasar Tarekat Ghazaliyah

Dasar-dasar Tarekat Ghazaliyah terkumpul dalam istilah Qawaidul ‘Asyrah (al-Ghazâli: Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, Dâr al-Fikr: 1996, halaman: 430-432).

  1. Niat yang sungguh-sungguh
  2. Beramal karena Allah SWT tanpa menyekutukan Allah SWT dan persekutuan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.:

اعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Tanda-tandanya adalah;

  1. Salik (orang yang berjalan menuju Tuhan) tidak menyukai amal yang tidak benar.
  2. Salik memutuskan segala sesuatu selain Allah SWT, sehingga salik menjauhi makhluk.
  3. Hendaklah salik meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya merasa aman dari Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: ”Sebagai salah satu kebaikan Islâm seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berfaidah baginya”.

Jika ketiga pokok ini sudah nyata, maka cabang  yang tumbuh akan membuahkan dekat kepada Allah, maka salik hidup di dunia bermakna akhirat. Rasul bersabda:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرَ سَبِيْلٍ وَ عُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُوْرِ

  1. Selaras, sesuai dengan kebenaran secara lahir batin, tidak menuruti dorongan nafsu, menjauhkan nafsu dari kesenangannya. Hal itu dilakukan dengan penuh kesabaran dan meniggalkan kesenangan, sesuatu yang lezat, tempat yang indah dan perselisihan yang didorong oleh nafsu. Barangsiapa membiasakan diri dengan hal ini, maka dia dikeluarkan dari hijab nafsu lalu masuk ke terbukanya hijab. Tidurnya menjadi terjaga dari percampuran dengan mahluk menjadi uzlah bagi salik, dari kenyang menjadi lapar, dari mengaggap diri mulia menjadi hina, dari berbicara menjadi diam, dari mengambil yang banyak menjadi sedikit.
  2. Beramal dengan mengikuti nabi Muhammad SAW. Dengan tujuan salik bukan termasuk orang yang mengikuti dorongan kesenangan, tidak ada pandangan kemegahan pada diri salik, karena orang yang sengaja melakukan amal perbuatan wali itu tidak beruntung.
Baca juga:  Ijtihad Islam Nusantara: Medan Negosiasi Bumi dan Langit

قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: عَلَىْكُمْ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ لَوْ كاَنَ عَبْدًا حَبَشِيًّا

  1. Tidak menunda-nunda keinginan yang luhur untuk melakukan amal kebaikan karena menundanya menjadi penyebab kerusakan.

Imam Ghazâli berkata: “Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”. Jika tidak demikian maka salik masuk pada ungkapan: “Barangsiapa yang rela dengan sesuatu yang rendah maka dia terhalang mendapat sesuatu yang lebih tinggi”. Salik yang kamil adalah salik yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW, bukan orang yang membuat aturan sendiri, bukan orang yang keluar dari aturan atau ahli bid’ah.[blockquote align=”right” author=”Imam Ghazali”]“Jangan meninggalkan amalmu hari ini untuk dilakukan hari esok. Karena amal-amal perbuatan tersusun dari sebagian amal yang lain”[/blockquote]

قَالَ النَّبِيُّ صَلْعَمْ: (يَا أَحْبَابِيْ عَلَىْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ) قالوا: يا رسول الله و ما السواد الأعظم؟ قال: (مَا أَنَا عَلَىْهِ وَ أَصْحَابِيْ)

  1. Sâlik harus merasa lemah dan hina. Bukan berarti malas melaksanakan taat dan meniggalkan bersungguh-sungguh tapi bermakna lemah melakukan sesuatu kecuali atas kekuasaan Allah SWT yang Maha Pemberi, dan salik memandang mahluk dengan pandangan penuh kewibawaan dan kemuliaan. Karena sebagian mahluk bisa menjadi lantaran (wasilah) bagi sebagian yang lain untuk dapat memandang keagungan Allah SWT Karena berdasarkan kebiasaan-kebiasaan Allah SWT (sunnatullâh) tatkala Allah SWT menghendaki sesuatu maka Allah SWT menetapkan lantaran (wasilah). Jika Allah SWT menghendaki menunjukkan keagungan-Nya maka Allah SWT menyandarkannya pada selain Allah SWT dengan tujuan menjaga kaidah ketertiban.

Ketika engkau mengetahui bahwa segala sesuatu itu berada dalam kekuasaan Allah SWT dan kembali pada-Nya lalu engkau merasa sombong, maka engkau telah sombong terhadap-Nya, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan engkau sampai kepada-Nya. Maka jadikanlah kelemahanmu dalam kekuasaan Allah SWT. Jadikan tempatmu sebagai alasan untuk sampai kepada-Nya. Kekuasaanmu (pada saat ini) tidak terbentuk karena telah tercabut dalam proses pembentukan.

  1. Khauf dan raja’ secara maknawi. Tidak ada ketenangan dalam keagungan ihsan, kecuali telah ada kenyataannya. Dalam hal ini ada tuntutan khusnuzhan (perasangka baik) dengan sifat murah hati yang baik.
  2. Terus-menerus memiliki hak-hak baik hak Allah SWT atau hak hamba. Karena barangsiapa tidak berusaha memenuhi hak, maka harta bendanya bersumber dari pertolongan. Orang yang berusaha terus menerus akan merasa bosan lalu melepaskan kebosanannya itu. Berbeda dengan orang yang menghilangkan (kepemilikan) amal perbuatan dan ucapannya (ikhlas). Karena nafsu menyebar sifat bosan baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Nafsu juga menjaga hak-hak hamba sebagaimana perbuatan makhluk ada yang baik dan buruk. Maka reaksi nafsu salik timbul cinta (ketika baik), timbul benci (ketika perbuatan jelek) dengan apa yang disenangi oleh nafsu akan dicintai dan apa yang dibenci oleh nafsu akan dibenci salik.
  3. Melanggengkan murâqabah kepada Allah SWT.  Hati salik tidak lupa kepada Allah SWT walaupun sekejap mata. Barangsiapa hatinya bisa bermurâqabah terus menerus kepada Allah SWT maka selainnya akan hilang, lalu salik akan menemukan Allah SWT dan kebaikannya. Dengan seperti itu ilmu al-yaqîn bisa engkau dapatkan yaitu engkau menyaksikan beberapa gerakan, diam suatu benda digerakkan dan didiamkan oleh Allah SWT.
Baca juga:  Kerukunan Mazhab di Makam Syekh Yazid al-Busthami

Kemudian engkau menambah murâqabahmu hingga engkau naik pada ilmu al-yaqîn dan itu adalah hakikat yakin.

Hakikat muroqobah adalah melirik pada dzat yang mengawasi dengan mengalihkan perhatian kepada-Nya. Muroqobah merupakan keadaan hati yang bisa menjadi buah dari kemakrifatan, amal dhohir dan amal hati (batin). Sementara keadaan hati bisa timbul dengan menjaga hati terhadap dzat yang mengawasi, sibuk dengan-Nya, menoleh, melirik, memperhatikan kepada-Nya.

Adapun makrifat yang menjadikan buah pada keadaan ini (menjaga hati) adalah adanya guru karena Allah melihat terhadap perasaan/suara hati, mengetahui terhadap rahasia yang tersimpan, mengawasi terhadap perbuatan hamba, melaksanakan perbuatan yang dilakukan oleh diri manusia.

Sesungguhnya rahasia hati pada hakikatnya terbuka sebagaimana dzohirnya kulit yang ada pada makhluk juga terbuka akan tetapi terbukanya hati lebih kuat. Sehingga makrifat ini ketika menjadi yakin akan mengurangi keraguan, kemudian makrifat akan menguasai dan memaksa hati.

Terkadang salik diberi pengetahuan tentang sesuatu yang tidak ada keraguan-keraguan, sehingga salik tidak bisa mengontrol hatinya seperti, salik mengetahui tentang kematian. Ketika makrifat menguasai hati maka hati akan melaksanakan penjagaan pada sisi pengawasan dan makrifat memalingkan angan-angannya hanya kepada Allah SWT

Muroqobah dibagi menjadi 2 tingkatan:

  1. Muroqobah al-Muqorrobîn, yang dilakukan oleh shiddiqin (orang-orang yang memiliki kejujuran dan di akhirat di bawah bendera Abu Bakar al-Shiddiq RA) adalah muroqobah keagungan dan kemuliaan.
  2. Muroqobah al-Waro’în, yang dilakukan oleh Ashhab al-Yamîn (orang-orang yang bisa mengendalikan lahir, batin dan hati untuk bisa secara yakin memperhatikan Allah Swt). Adalah melirik pada keagungan, hatinya masih tetap pada batas i’tidal (lurus) tetap berusaha menoleh pada keadaan dan perbuatan, (Ihyâ’ ‘Ulumuddin, juz 4, halaman: 346-347).
    Sâlik harus mengetahui sesuatu yang wajib bagi salik untuk menyibukkan diri baik secara lahir dan batin dengan sungguh-sungguh, karena orang yang merugi dan bodoh.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top