Sedang Membaca
Sabilus Salikin (17): Beragam Tarekat Satu Hakikat
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (17): Beragam Tarekat Satu Hakikat

Sabilus Salikin (17): Beragam Tarekat Satu Hakikat
Tarekat adalah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal tarekat dari generasi ke generasi sampai sekarang.

Adapun dalam konteks wirid, Nabi SAW telah memberikan isi dzikir kepada para sahabat sesuai dengan derajat dan ahwalnya. Secara khusus ada dua sahabat yang diberikan oleh Rasulullâh SAW:

  1. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq. Ia mengambil dari beliau dzikir ismu al-Mufrad yaitu “Allâh”.
  2. Sahabat Ali bin Abi Thalib. Ia  mengambil dari beliau dzikir al-nafi wa al-itsbat yaitu “la ilaha illallâh”. Sebagaimana disebutkan oleh beberapa sumber sejarah, sahabat Ali bin Abi Thalib RA para suatu hari datang kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi bersabda, “Wahai Ali kamu harus melanggengkan dzikir kepada Allâh SWT dalam keadaan sendiri (khalwat)”.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Sahabat Ali berkata, “Ini adalah fadhilah dzikir. Setiap manusia melakukan dzikir.” Maka Rasulullah bersabda, “ Wahai Ali kiamat tidak akan terjadi selama disebut lafadz “Allâh”. Lalu sahabat Ali bertanya, “Bagaimana cara aku berdzikir wahai Rasulullah?” Lalu Rasulullah menjawab, “Pejamkan matamu lalu dengarkan aku tiga kali, lalu ucapkanlah tiga kali sekiranya aku mendengar.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     Kemudian Rasulullah bersabda, “Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Ali mendengar. Lalu Ali mengucapkan  Laa ilaaha illallâhu tiga kali, sambil memajamkan kedua mata beliau seraya mengeraskan suara dan Rasulullah SAW Mendengar”, (Abd Rahman Jabarut, Tarikh ‘Ajaibu al-Atsar fi al-Tarajim wa al-Akhbar, Juz 1, halaman: 346).
Baca juga:  Sabilus Salikin (133): Silsilah dan Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah

Sejak munculnya tasawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Tarekat” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Tarekat Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Tarekat Arbabi al-Aql wa al-Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran.

Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata atau empiris). Istilah “tarekat” terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “tarekat.”

Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allâh SWT dan ridhanya. Ada yang menggunakan metode latihan-Iatihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthmainah, lalu ke nafsu mulhimah, kemudian ke tingkat nafsu radhiyah, lalu ke nafsu mardhiyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah.

Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allâh dalam keadaan apapun.

Baca juga:  Khazanah Tafsir Indonesia: Tafsīr al-Itqān Karya Kiai Ahmad Haris Shadaqoh

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakekatnya satu. Hal ini sesuai dengan pernyataan para imam dan Syaikh tarekat. Di antaranya adalah:

  1. Imam al-Junaid bin Muhammad(297 H): Ahli Sufi adalah penghuni satu rumah, dimana orang lain tidak dapat memasukinya, (al-Risalah al-Qusyairiyah, halaman: 127).
  2. Imam Ibnu Arabi(638 H): Sesungguhnya para ahli adzwaq (Tarekat) jelas berada pada satu jalan, (al-Futûhât al-Makkiyah, juz 3, halaman: 213).
  3. Ibnu ‘Ajibahmenjelaskan pernyataan Ibnu Bana Sirqisthi: Madzhab Sufi telah disepakati maksud dan aktifitasnya meskipun berbeda-beda jalurnya. Sesungguhnya al-Haq adalah satu dan jalannya adalah satu meskipun berbeda-beda jalurnya, titik akhirnya satu dan Rasanya (dzauq) satu. Maknanya sebagaimana dikatakan bahwa tarekat-tarekat itu bermacam-macam dan jalan al-Haq adalah satu. Madzhab Sufi adalah kesesuaian atau kesamaan antara ushul dan furu’, (al-Futuhât al-Ilahiyah, halaman: 101).
  4. Razaq Qasyani(730 H), “Maksud saya, sesungguhnya jalan (thariq) dan tujuan (ghayah) adalah hakekatnya satu, yaitu Al-Haq (Allâh Swt)”, (Syarah Fushûsh al-Hikam, halaman: 155).
  5. Qadir Isa: Sesungguhnya jalan (thariq) hakekatnya satu, meskipun beRagam metode amaliyah dan tata cara sesuai dengan ijtihad pada masa, situasi dan kondisi saat itu. oleh karena itu muncul beRagam tarekat sufi yang mana hakikatnya adalah satu, ( Haqaiq ‘an al-Tasawuf, halaman: 272).
Baca juga:  Dalail Khairat: Citarasa Prosa Lirik dalam Shalawat

Selain beberapa pernyataan di atas, ada beberapa pernyataan senada yang mungkin terlalu banyak kalau semuanya ditulis. Diantaranya adalah:

  1. Syaikh Abu Nasr Siroj al-Thusi(378 H), (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 457).
  2. Syaikh Abu Thalib al-Makki(386 H), (Qûth al-Qulûb, juz 2, halaman: 79).
  3. Imam Abu Hamid Muhammad aL-Ghazâli(505 H), (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 255).
  4. Syaikh Ahmad Shawi al-Maliki al-Khalwati(1241 H), (al-AsRAr al-RAbbaniyah wa al-Fuyudhat al-Rahmaniyah, halaman: 45).
  5. Syaikh Muhammad Kansus Tijani(1294 H), (Kasyfu al-Hijab, halaman: 329).
  6. Syaikh Muhammad Abu al-Faidl al-Manufi(1312 H), (Ma’alim al-Thariq ila Allâh, halaman: 262).

Kebanyakan orang menganggap bahwa tasawuf terdiri dari beberapa madzhab dan aliran. Mereka menyamakan dengan bidang keilmuan yang menggunakan analisa logika sebagaimana filsafat. Kalau filsafat menggunakan analisa logika maka pantas muncul beberapa aliran. Sedangkan tasawuf adalah pengalaman seseorang (tajribah), maka tetap satu madzhab dan tidak terjadi brRagam aliran. Kalau kenyataan jalan (tarekat) tasawuf bermacam-macam, tetapi adanya perbedaan dan beragam jalan tersebut, semuanya menuju satu tujuan, (lihat al-Ta’arruf limadzhab ahli al-Tashawuf, halaman: 12-13).

Melihat beberapa pernyataan di atas maka sangat jelas sekali bahwa meskipun nama tarekat dan metodenya beragam tapi tujuan dan hakikatnya satu, yaitu al-Haq Allâh SWT (ilahi anta maqshudi waridlaka mathlubi).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top