Sedang Membaca
Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)

Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat 1

Teknik Melakukan Rabitah

Di dalam shalat, ketika melakukan tasyahud, kita diperintahkan mengucapkan salam kepada Nabi SAW, Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam dan Rahmat serta barakah Allâh untukmu wahai Nabi SAW). Perintah ini harus dilakukan secara lahir dan batin, secara lahir dengan mengucapkan salam itu sendiri, sedangkan secara batin adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani Rasul SAW, agar kita bisa bersama dengan Beliau SAW

Bersama dengan Rasul SAW sekaligus mengandung makna bersama dengan Allâh SWT karena Rasul SAW tidak pernah berpisah sedetik-pun dari-Nya. Kenyataan bahwa di dalam rohani Beliau SAW tersimpan Nur Allâh SWT, dan bahwa Beliau SAW sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah RA. selalu berdzikir kepada Allâh SWT

حدثنا هارون بن معروف حدثنا اسحاق الأزرق حدثنا زكريا بن أبي زائدة عن خالد بن سلمة عن البهي عن عروة : عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يذكر الله في كل احيانه، (مسند أبى يعلى، ج 8، ص: 355 )

Dalam kaitan inilah mengapa sebagian Kaum Arifin yaitu orang-orang yang sudah mengenal Allâh SWT secara tahkik berkata: “Bersamalah engkau selalu dengan Allâh, dan jika engkau belum bisa, maka bersamalah engkau selalu dengan orang yang sudah bersama dengan Allâh”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 512).

Namun begitu, karena kita tidak mengenal Rasul SAW secara jasmani, maka yang dapat kita lakukan adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani ulama yang kita kenal secara jasmani, yaitu ulama yang benar-benar berkapasitas sebagai WaRAtsah al-Anbiyâ’ (Ahli Waris Para Nabi), yang kepada mereka beliau mewariskan isi rohani beliau dengan izin Allâh SWT

Baca juga:  Integrasi Dialektika Sains dan Agama  

Hamba-hamba Allâh SWT seperti itu dalam Alquran disebut antara lain dengan al-Shadiqun, dan Allâh memerintahkan kita agar selalu bersama dengan mereka (secara jasmani dan rohani).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh SWT dan hendaklah kamu selalu bersama orang-orang yang benar, (al-Taubah, 9: 119).

Bahkan, bersama atau berjamaah secara rohani jauh lebih mungkin direalisasikan daripada berjamaah secara jasmani, sebab tidak mungkin kita dapat berjamaah dengan mereka secara jasmani dalam semua keadaan. Maka al-Shadiqun yaitu orang-orang yang benar, dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang benar dalam keimanan mereka kepada Allâh, sehingga sebutan lain yang dikemukakan Alquran untuk mereka adalah al-Muminuna Haqqan, orang-orang mukmin sejati (hak), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allâh SWT, hati mereka bergetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allâh SWT kepada mereka keimanan mereka semakin bertambah, dan hanya kepada Allâh SWT mereka bertawakal, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian harta yang dikaruniakan kepada mereka.

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٤﴾ كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾

Baca juga:  Tadarus Rumi Bareng Haidar Bagir

(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka, (al-Anfâl, 8: 3-5).

Bukan orang-orang yang beriman tetapi di dalam hatinya tumbuh subur sifat-sifat nifaq (munafik) yang diantara ciri-ciri utama mereka adalah bahwa mereka tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴿١٤٢﴾

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali, (al-Nisâ’, 4: 142).

Mereka tiada lain adalah wali-wali Allâh yang oleh Nabi sebagaimana disinggung sebelumnya disebut dengan Mafatih al-Dzikr ‘kunci-kunci dzikir’, dan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kaum sufi, dan oleh Ibn Taimiyah disebut sebagai golongan yang paling baik setelah Nabi, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 11, halaman: 17). Memandang mereka melahirkan dzikir kata Nabi dalam riwayat Imam al-ThabRAni ketika menggambarkan keberadaan mereka, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205). Memandang mereka, terutama yang dilakukan secara rohani, mewujudkan apa yang dimaksud dengan Rabitah di sini.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top