Sedang Membaca
Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)

Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat 1

Dari segi bahasa makna rabitah adalah hubungan atau ikatan; terambil dari kata rabth yang berarti mengikat atau menghubungkan, (al-Munawir Qamus ‘Arabi-Indunisia, halaman: 501). Ungkapan rabitah al-mursyid, dengan demikian, menunjukan kepada makna menghubungkan diri dengan mursyid atau merabit dengan mursyid.

Pada hakikatnya perintah rabitah itu mengikuti dan mempunyai landasan dari ayat Alquran, Hadis dan pendapatnya para ulama’, Di dalam Alquran perintah melakukan rabitah diungkapkan melalui firman Allâh SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung, (Ali `Imrân, 3: 200).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, (al-Maidah: 35)

Sedangkan dari Hadis sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih al-Bukhari:

أَنَّ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ  الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ شَكَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمَ انْفِكَاكِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ حَتَّى فِى الْخَلَاءِ، أَيْ بِحَسْبِ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَجْهَهُ يَأْخُذُهُ الْحَيَاءَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (البهجة السنية، ص: 71)

Sesungguhnya sayyidina abu bakar as-Shiddiq RA. mengeluh kepada nabi Muhammad SAW. Tidak dapat berpisah dengan nabi hingga di dalam tempat mandi sekalipun (secara ruhani atau terbayang-bayang), sehingga Abu Bakar RA. merasa malu terhadap nabi SAW, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 71).

وعن أَبي موسى الأشعري رضي الله عنه: أن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (( المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 237)

Baca juga:  Balada Sang Pemikul Gandum

Kata rabithu dalam ayat tersebut menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab-nya bermakna hafizhu atau lazimu berkekalan atau terus-menerus, yaitu al-Muwazhabah ‘ala al-Amr berkekalan atau terus-menerus melakukan sesuatu. Asal makna RAbithu (ribath atau murabathah) adalah al-Iqamah ‘ala jihad al-‘aduw (melakukan perang terhadap musuh), (Lisan al-Arab, juz 7, halaman: 303).

Pemahaman ideal mengenai maksud kata rabithu (ribrah atau murabathah) dalam firman Allâh tersebut, dengan menyimak makna-makna yang terkait dengan kata itu sendiri, muncul dalam tarekat, yaitu berkekalan atau terus-menerus menghubungkan diri secara rohani dengan mursyid dalam rangka memerangi iblis sebagai musuh manusia yang paling nyata. Tidak ada musuh yang paling layak untuk selalu diwaspadai dan diperangi kecuali iblis la’natullah yang memang berusaha terus menghancurkan manusia.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) pada dasarnya adalah berjamaah secara rohani dengan mursyid, yaitu imam-berimam dalam khafilah rohani Rasulullah SAW Menunjuk kepada pengertian inilah Imam Ja’far al-Shâdiq, tokoh sufi dari kalangan ahli bait Nabi SAW, yang dikutip oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani dalam ensiklopedia orang-orang suci–nya yang berjudul Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengatakan: “Barangsiapa menjalani hidup dengan bergabung dalam batin (rohani) Rasul, maka dialah yang disebut orang sufi, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 20).

Baca juga:  Merajut Mata Rantai Al-Fadani

Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) menunjuk kepada makna melibatkan Rasul SAW dalam setiap munajat dan ibadah agar munajat dan ibadah itu dapat langsung mendapat sambutan dari Allâh sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allâh SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللهَ تَوَّاباً رَّحِيماً ﴿٦٤﴾

Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, (al-Nisâ’, 4: 64).

Melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dalam ibadah dapat disimak pula dari sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan imam-imam Hadis lainnya disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin kepada Nabi SAW, untuk menunaikan ibadah umrah, Nabi SAW bersabda:

فَقَالَ يَا أَخِي لَا تَنْسَنَا مِنْ دُعَائِكَ، (مسند أحمد، ج 1، ص: 326)

“Wahai saudara mudaku, serikatkan (libatkan) kami dalam doamu dan jangan lupakan kami, (Musnad Ahmad, juz 1, halaman: 326).

Dalam kasus yang berbeda, melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dapat disimak dari kisah Umar ibn Khaththab RA. yang melibatkan Paman Nabi SAW yang bernama Abbas RA. ketika ia berdo’a memohon hujan:

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (12): Al-Waraqat, Pengantar Memahami Ushul Fiqh

فَقَدْ ذَكَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَوَسَّلُوْنَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ فِي الْاِسْتِسْقَاءِ ثُمَّ تَوَسَّلَ بِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوَسَّلَهُمْ هُوَ اِسْتِسْقَاؤُهُمْ، (تحفة الأحوذي، ج 10، ص: 26)

Sayyidina umar RA. Telah menyebutkan sesungguhnya para sahabat bertawassul kepada nabi di waktu masih hidup untuk meminta hujan kepada Allah SWT kemudian para sahabat bertawassul kepada paman nabi (abbas) setelah wafat beliau, (Tuhwah al-Ahwadzi, juz 10, halaman: 26).

Artinya, Umar melibatkan ‘Abbas RA. sebagai pengganti Rasul SAW untuk mendapatkan karunia Allâh SWT berupa hujan. Dengan melibatkan ‘Abbas RA. sesungguhnya Umar RA. hendak bergabung dalam khafilah rohani Rasul SAW melalui orang yang masih hidup dan yang dicintai Rasul SAW meskipun Umar RA. sendiri memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasul SAW

Berdasarkan hal ini, maka orang-orang mukmin lainnya, apalagi yang hidup pada masa sekarang, sudah seyogianya mencari seorang hamba Allâh SWT yang karena kecintaan dan ketaatannya kepada Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW layak dicintai oleh Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW dan layak pula menduduki posisi sebagai khalifah pengganti Rasul SAW

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top