Dalam peristiwa Isra dan Miraj (perjalanan Nabi menuju Tuhan), Nabi SAW dipandu oleh Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, imam atau guide, yaitu pemandu jalan yang menuntun dan membimbing beliau hingga sampai di hadirat Allâh ‘azza wa jalla.
فقال: مَا هَذِهِ يَا جِبْرَائِيْلُ؟ قَالَ: سِرْ يَا مُحَمَّدْ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، فَإِذَا شَيْءٌ يَدْعُوْهُ مُتَنَحِّيًا عَنِ الطَّرِيْقِ يَقُوْلُ: هَلُمَّ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ جِبْرَائِيْلُ: سِرْ يَا مُحَمَّدُ، فَسَارَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَسِيْرَ، قَالَ: ثُمَّ لَقِيَهُ خَلْقٌ مِنَ الْخَلَائِقَ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا أَوَّلُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا آخِرُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا حَاشِرُ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: اُرْدُدْ السَّلَامَ يَا مُحَمَّدُ، قَالَ: فَرَدُّ السَّلَامَ، ثُمَّ لَقِيَهُ الثَّانِيْ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَقَالَةِ الْأَوَّلِيْنَ (1) حَتَّى انْتَهَى إِلَى بَيْتِ الْمُقَدَّسِ، فَعُرِضَ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَاللَّبَنُ وَالْخَمْرُ، فَتَنَاوَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّبَنَ، فَقَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَصَبْتُ يَا مُحَمَّد الْفِطْرَةَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْمَاءَ لَغَرَقْتَ وَغَرَقَتْ أُمَّتُكَ، وَلَوْ شَرِبْتَ الْخَمْرَ لَغَوَيْتَ وَغَوَتْ أُمَّتُكَ، ثُمَّ بُعِثَ لَهُ آدَمُ فَمَنْ دُوْنَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَأَمَّهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ. ثُمَّ قَالَ لَهُ جِبْرَائِيْلُ: أَمَّا الْعَجُوْزُ الَّتِيْ رَأَيْتَ عَلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ، فَلَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا بِقَدْرِ مَا بَقِيَ مِنْ عَمْرِ تِلْكَ الْعَجُوْزِ، وَأَمَّا الَّذِيْ أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، فَذَاكَ عَدُوُّ اللهِ إِبْلِيْسُ، أَرَادَ أَنْ تَمِيْلَ إِلَيْهِ، وَأَمَّا الَّذِيْنَ سَلَّمُوْا عَلَيْكَ، فَذَاكَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى، (تفسير الطبري ج 17، ص: 336)
Dalam Tafsir al-Thabari disebutkan bahwa dalam Mi’raj itu, Nabi SAW bertemu dengan seorang tua renta di sisi jalan, dan ketika beliau bertanya siapa orang itu, Jibril As. berkata, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!
Beliau juga mendengar sebuah suara yang menyeru beliau agar menyingkir dari jalan, “Halumma ya muhammad (ke sinilah Muhammad)!, sebelum Nabi SAW sempat menoleh Jibril sudah langsung memperingatkan, Teruslah berjalan, wahai Muhammad (sir ya muhammad)!
Beberapa saat kemudian Jibril memberikan penjelasan. Orang tua yang engkau lihat di sisi jalan tadi menunjukan bahwa tidak tersisa dari dunia ini kecuali sekadar sisi umur orang tua itu, sedangkan suara yang hendak memalingkanmu adalah Iblis (Tafsir al-Thabari, juz 17, halaman:336, Tafsir Ibn Katsir, juz 3, halaman:6, Al-AHadis al-Mukhtarah, juz 6, halaman:258).
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW memang menjadi rujukan utama para sufi, terutama yang berkenaan dengan unsur Jibril As. yang berfungsi sebagai mursyid, sang pemandu.
Keberadaan unsur Jibril AS. sangat mutlak sedemikian rupa sehingga andai kata unsur ini tidak ada, maka Nabi SAW akan terperangkap oleh jebakan iblis. Lalu bagaimana dengan umat beliau? Apakah mereka juga memerlukan unsur Jibril ini? Jawabannya pasti: ya, tidak boleh tidak. Posisi dan fungsi unsur Jibril As. ini justru diduduki dan dilaksanakan oleh Nabi sendiri.
Urgensi unsur Jibril sangat jelas terutama mengingat pernyataan Nabi SAW bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang mukmin, (Syarh Sunan Ibn Majjah, halaman: 313). Artinya, orang-orang mukmin juga dimungkinkan mengalami mi’raj dengan izin dan kehendak Tuhan. Sebagai saRAna mi’raj, dalam shalat seorang mukmin harus melibatkan unsur Jibril, kalau tidak, maka shalatnya akan didominasi oleh unsur setan, sehingga shalat itu menjadi shalat yang tanpa makna, gersang, dan jauh dari nilai-nilai khusyuk, yang pada gilirannya tidak dapat berfungsi sebagai tanha an al-fahsya wa al-munkar mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, (Q.S. al-Ankabut, 29:45).
Shalat semacam ini kata Nabi SAW dalam riwayat al-Thabrani dengan perawi-perawi sahih (Majma al-Zawaid, juz 2: 258), adalah shalat yang hanya akan menjauhkan pelakunya dari Allâh SWT (man lam tanhahu shalatuhu an al-fahsya wa al-munkar lam yazdad minAllâhi illa budan), (al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, halaman: 54). Berbagai kasus dalam kehidupan orang-orang mukmin menjadi bukti tak terbantah atas pernyataan ini.
Mi’raj adalah karunia Tuhan yang berupa perjalanan menuju Dia SWT dengan perbentangan berbagai fenomena ghaib (metafisik) sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
Dalam sejarah Nabi SAW dikenal dua jenis mi’raj: Khusus dan umum. Mi’raj khusus dialami Nabi SAW pada saat beliau menerima perintah shalat wajib lima waktu. Sedangkan mi’raj umum dialami Nabi SAW pada saat-saat yang lain termasuk ketika beliau dimuliakan Allâh dengan diangkat sebagai Rasul.
Dalam wacana sufi mi’raj umum lebih sering disebut dengan istilah muraqabah, dan sangat dimungkinkan dialami oleh siapa pun dari kalangan orang-orang beriman. Pengalaman melihat surga dan neraka dengan mata kepala (muraqabah) yang dialami para sahabat merupakan indikasi nyata atas kemungkinan ini.