Sedang Membaca
Kitab Salat Pertama di Jawa Dicetak Hingga India
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Kitab Salat Pertama di Jawa Dicetak Hingga India

Sejak kapan orang Nusantara sembahyang atau salat? Apa sejak Islam mula-mula mendarat di Aceh, di Jawa, di Bugis? Kita belum tahu persis. Kita juga belum dapat informasi siapa dan bagaimana para nenek moyang kita itu salat. Tapi, kita dapat mengetahui kitab atau buku tentang tata cara salat atau sembayang yang awal-awal ditulis di Jawa, dan diterbitkan menjadi buku atau kitab. Siapakah ulama yang menulis dan menerbitkan karyanya itu? DIcetak di mana karya itu?

1
“Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat,” kata Nabi. Semua muslim harus salat sesuai dengan contoh darinya. Takbirnya. Rukuknya. Sujudnya. Tak pernah perhatian dalam melaksanakan ibadah sebegitu mendetail seperti salat.

Tapi umat muslim kebanyakan di Nusantara ini tak bisa membaca sendiri kumpulan ratusan ribu hadis untuk menyimpulkan cara Nabi salat. Bahasa Arab rumit. Mengumpulkan seluruh hadis salat, lalu menentukan valid tidaknya, apalagi.

Syukur sudah ada ringkasan tata-cara salat dalam kitab-kitab fikih. Namun lagi-lagi bahasa Arab klasik menjadi hambatan. Salah memahami, bisa keliru salat seorang. Menjelaskan kitab adalah tugas para kiai, abuya, buya, ajengan, dan tuan-guru. Mereka yang disebut-sebut sebagai pewaris para nabi.

Baca juga: 

Kemewahan pelajaran sembahyang secara benar diperoleh muslim awam yang dekat dengan kiai. Bisa melihat salat kiainya sehari-hari. Bagaimana rukuknya. Bagaimana sujudnya. Pada waktu apa jari telunjuknya terbuka. Pada saat apa tertutup. Kedekatan ini mungkin sempurna jika seorang menjadi santri pesantren yang dipimpin kiai tersebut.

Selain contoh nyata, kiai pesantren juga akan menerangkan kitab-kitab fikih yang selalu wajib memuat bab tata-cara salat. Kiai menerjemahkan bahasa Arab klasik ke bahasa daerah setempat: Sunda, Jawa, Madura, Melayu, Bugis, Lombok, dan lain sebagainya. Seringkali juga disertai ulasan kiai yang sesuai kondisi daerahnya.

Gambar 1 MS Sloane 2645, h. f.34r. Berisi penjelasan tata cara salat. Gambar dari Wesbite British Library.

Dalam sebuah manuskrip kitab ngaji santri di Jawa tahun 1623 M kita melihat panduan ini (lihat gambar 1. MS. Sloane, h. f.34r-39r). Santri mengaji kitab Muqaddimah al-Hadramiyah menjadi mengerti bahwa salat punya fardu. Tiga belas jumlahnya. Dari niat hingga tertib.

Baca juga:  Penerbitan Era Kolonial: dari Buku Fasolatan hingga Injil Pegon

Dalam niat seorang santri menjadi paham bahwa ia harus menyatakan apakah itu salat Subuh atau Duhur, juga disunahkan memerinci jumlah bilangan rakaatnya. Ringkas kata, dilengkapi contoh nyata kiainya, santri menjadi yakin bahwa salatnya sudah mengikuti nabinya.

Namun kemewahan ini tidak diperoleh muslim awam di luar pesantren. Mereka yang tidak sempat mengaji dengan kiai secara langsung. Mereka juga tentu ingin salat dengan benar.

Perlu penelitian lebih dalam mengenai tradisi pengajaran sembahyang di masyarakat muslim di luar pesantren. Barangkali mereka melihat para santri lulusan pesantren. Barangkali para santri inilah yang mengajar di musala sejak dahulu hingga kini. Saya juga menduga jawabannya adalah mereka belajar melalui tradisi tuntunan salat dalam bahasa daerah daerah.

Para kiai berijtihad. Mereka akhirnya melahirkan satu jawaban cerdas: “Fasalatan”. Fasalatan adalah kata buatan baru yang bermakna “panduan salat”. Ini tradisi yang bermula sejak masa sebelum percetakan. Ketika semua buku adalah tulisan tangan (manuskrip).

Di masa sebelum era percetakan (berarti sebelum abad ke-19), Fasalatan belum menjadi satu kesatuan. Terpisah ke dalam banyak catatan.

Gambar 2 L.Or. 3050. Tersimpan di Perpustakaan Leiden. Berisi tentang panduan persiapan batin menuju salat. Foto Pribadi

Manuskrip L.Or. 3050, misalnya, menyimpan Fasalatan dalam rupa anjuran meninggalkan dunia ketika sembah. Termasuk diri yang salat (lihat gambar 2, baris 5).

“Amit banyu wudhu den sirnakenna awakke ingdalem kersane pengeran”. Artinya: “Sejak mengambil air wudhu, hilangkanlah kehendakmu dan meleburlah ke kehendak Tuhanmu”. Panduan salat tidak semata menyangkut sisi lahiriah namun juga sisi batiniah.

Tidak melulu salat lima yang wajib. Manuskrip lainnya lagi berisi panduan salat sunah hajat dan wirid setelahnya. L.Or. 5594 mengajarkan hal ini (lihat gambar 3 baris 4 dan seterusnya).

Gambar 3 L.Or. 5594 tersimpan di Perpustakaan Leiden. Bagian ini berisi tentang salat hajat dan wirid setelahnya. Foto Pribadi.

Usholli rak’ataini tho’atan hajatan lillahi ta’ala Allahu Akbar… sawuse fatehah inna anzalna… sawuse amaca fateha qul huwallah… sawuse salam amaca istighfar ping satus amaca subhanallah ping satus maca tahlil ping satus nuli dungo thowwil umur lan dungo daf’il bala’

Artinya:
[Bacalah niat salat hajat], “Usholli rak’ataini tho’atan hajatan lillahi ta’ala Allahu Akbar”… setelah membaca surat al-fatihah bacalah inna anzalna [surat al-Qadr]… setelah membaca al-fatihah [yang kedua] bacalah qul huwallah [surat al-Ikhlash]… setelah salam bacalah istigfar seratus kali, baca subhanalah seratus kali, baca tahlil seratus kali. Lalu baca doa “panjang umur” dan “tolak balak”.

2
Baru setelah era percetakan pada abad ke-19, Fasalatan yang utuh terbentuk. Kiai Soleh Darat (1820-1903) adalah yang pertama menyusun Fasalatan yang dicetak. Fasalatan Kiai Soleh ditulis dalam bahasa Jawa ngoko dan aksara Pegon.

Ia terbit di pusat percetakan Nusantara kala itu, Singapura, pada 1897. Diterbitkan oleh Muhammad Amin pada edisi pertama, kitab ini sukses dicetak untuk edisi kedua pada 1906.

Edisi kedua ini diterbitkan oleh al-Matba’ al-Karimi di Bombay. Dengan halaman 40, kitab ini dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Bahkan di tahun yang sama dengan penerbit yang beda, yaitu Kadhi Abdul Karim bin Nur Muhammad, kitab ini dicetak lagi di Bombay. Dengan jumlah 60 halaman, kitab ini dicetak juga 10.000 eksemplar (Proudfoot 1993, 231).

Baca juga:  Orang Desa Naik Haji

Saking larisnya, kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda pada 1905. Penerjemahnya adalah Haji Muhammad Hasyim bin Tibrani. Di percetakan Matba’ Idrisi di Singapura, kitab ini dicetak sebanyak 1.100 eksemplar (Proudfoot 1993, 231).

Tanggapan hangat dari pembaca memberikan kesadaran kepada kita. Masyarakat kita tidak buta aksara seperti cerita yang dipaksakan agar kita percaya dari pemerintah kolonial. Masyarakat kita mungkin tidak kenal aksara Latin, tapi bukan aksara Pegon.

Kita juga sadar bahwa perhatian masyarakat terhadap ibadahnya begitu besarnya. Kitab panduan salat begitu larisnya. Penerbitnya harus bekerja keras untuk menghasilkan sedemikian banyak cetakan dengan teknologi yang masih cetak batu.

Dalam sampul Fasalatan, penerbitnya menuliskan:

Hendaknya semua orang yang shalat mengerti makna bacaan yang mereka baca ketika shalat. Oleh sebab itu, hendaknya mereka mengaji kitab ini. Ia adalah kitab karya ‘Alim yang memiliki keutamaan, sikap wara’ dan kesempurnaan budi pekerti, Syaikh Haji Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya dan seluruh umat muslim. Amin.

Kitab ditujukan agar masyarakat memahami hakikat salat. Bukan hanya mereka mampu melaksanakan gerakan salat, tapi juga memahami hakikat batin salat. Ketika menjelaskan bahwa ketika takbiratulihram seorang yang salat hendaknya menghadirkan kesadaran keagungan Ilahi.

Kemudian ucapkanlah: ‘Allahu Akbar’. Yaitu hatimu berkata bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Agung kekuasaan-Nya; tidak ada yang agung selain Allah; dan tidak ada tuhan selain Allah. Jangan sekali-kali kamu menduga bahwa ada satu makhluk pun yang memiliki sifat keagungan dan sifat kemuliaan ini. Allah semata yang memiliki kedua sifat agung ini dan tidak ada satu makhluk pun yang menyekutui Allah (h.6).

Bacaan dalam salat tak perlu panjang-panjang. Bagi Kiai Soleh yang paling penting adalah memahami ayat yang dibaca. Kiai Soleh mengingatkan: “Setelah membaca surah al-Fātiḥah, disunahkan membaca surah pendek sebatas hafalan. Namun yang utama adalah mengerti maknanya. Jangan sampai mengucapkan atau membaca yang tidak mengerti maksudnya”.

Baca juga:  Aksara Pegon: Dahulu, Kini, dan Nanti

Fasalatan Kiai Soleh terus dicetak dari satu penerbit ke penerbit lainnya (Umam 2011, 144). Setelah berkelana di Bombay, kitab ini kembali ke rumahnya di Jawa. Pada 1933, ia diterbitkan oleh Salim bin Sa’ad bin Nabhan di Surabaya. Pada 1935, giliran penerbit Matba’ah al-Mishriyah yang menerbitkannya.

Kiai Sholeh mengawali tradisi penerbitan kitab Fasalatan. Kini banyak Fasalatan lain yang ditulis oleh ulama-ulama Jawa setelahnya. Kiai Asnawi Kudus, Kiai Abdul Hamid Kendal, Kiai Bisri Mustafa Rembang, dan Kiai Misbah Zainal Mustafa Bangilan, semuanya telah menulis Fasalatan yang jelas meneruskan tradisi Fasalatan Kiai Sholeh Darat Semarang.

“Salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku salat”, kata Nabi. Salat seorang muslim harus sesuai salat Nabi. Para kiai memudahkan petunjuk itu menjadi buku ringkas bagaimana-mengerjakan salat mereka. Salat begitu penting untuk mendekat pada-Nya. Seorang anak berpesan: “Sia-sialah mereka yang salat namun tidak tahu siapa yang disembah”.(ucapan tokoh Syamsu Tabriz kecil dalam manuskrip berbahasa Jawa berkode L.Or. 5604).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top