Sedang Membaca
Sabilus Salikin (99): Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (1)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (99): Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (1)

Para Syaikh dalam Tarekat Hisytiyyah menganjurkan metode zikir sebagai berikut ini: sang murid mesti duduk dengan lutut terlipat, atau duduk bersila, dan menghadap kiblat (Ia tidak harus berwudu lebih dahulu, namun akan lebih baik jika berwudu). Ia mesti duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima (urat nadi yang ada dalam kaki) atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya.

Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat, mampu menghilangkan bisikan-bisikan jahat, dan bisa melarutkan lemak di sekitar hati, yang menjadi tempat khannas atau “yang membisikkan rasa was-was”. Dengan duduk seperti ini, sang murid mulai melakukan zikir jali atau dzikr khafi (zikir keras atau zikir diam).

Perlu kiranya diperhatikan tujuh macam kondisi zikir itu diungkapkan dalam sajak berikut ini:

“Keadaan antara “dzât”, “shifât”, “perpanjangan”, “penekanan”, “bawah”, dan “atas”,
Memberikan kepada sang murid semangat dalam setiap tarikan nafas

  1. Yang dimaksudkan dengan “Keadaan antara” (barzah) adalah bentuk kiasan syaikh (pembimbing spiritual). Ini diperlukan untuk mengobati kemunafikan dalam hati.
  2. Yang dimaksud dengan “dzat” adalah dzat Wujud Mutlak.
  3. Yang dimaksud dengan “sifat” (shifát) adalah tujuh sifat utama Allah SWT., yakni Maha hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, Mahakuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Berbicara. Sang murid harus merenungkannya, dan mesti memikirkan dzat Allah SWT.
  4. Yang dimaksud dengan “pemanjangan” (madd) adalah pemanjangan kata la (manakala dilakukan zikir Khafi dan itsbât), atau pemanjangan huruf alif dalam kata Allah (ketika dilakukan zikir seh-paya [tiga ketukan] dalam Tarekat Hisytiyyah).
  5. Yang dimaksud dengan “penekanan” (syadd) adalah penekanan yang dikenakan pada kata-kata illallah atau pada kata
  6. “Di bawah” (taht) menunjukkan bahwa, manakala sedang berlangsung zikir nama Allah, hamzah dalam kata Allah mestilah dimulai dengan kekuatan dan diucapkan dari bawah pusar, dan manakala sedang berlangsung zikir nafî wa itsbát, kata la mesti dimulai dengan kekuatan dari bawah pusar.
  7. Yang dimaksud dengan “atas” (fawq) adalah bahwa zikir nama Allah mestilah dirampungkan dalam otak. Dalam dzikr nafî wa itsbât, zikir ini disempurnakan di bahu kanan.
Baca juga:  Waliyullah itu Tidak Harus Memiliki Karomah yang Ditampakkan

Dengan memperhatikan kesemuanya itu, zikir nafî wa itsbât chahârpaya (empat ketukan) dilakukan demikian:

Sambil duduk dalam posisi shalat atau duduk bersila, dengan penuh konsentrasi, seseorang harus menarik kata la dari pusar dengan cara memperpanjang suara dan membawanya ke bahu sebelah kanan. Kemudian, ia harus menarik kata ilâha dari pusat otak, dan berpikir bahwa ia telah mencabut segala sesuatu selain Allah SWT. dari hatinya dan membuangnya jauh-jauh. Lantas, sembari mengambil nafas baru, ia mesti mengetukkannya di hati kuat-kuat dengan kata-kata illallah, agar berhala-berhala yang ada dalam dirinya bisa dihancurkan dan diluluhkan, dan pada saat berlangsung zikir penegasan berpikir, bahwa realitas yang dicari-cari sesungguhnya ada di hadapannya, dan bahwa sang hamba sendiri telah lenyap dan lebur.

Sang Sahabat masuk ke dalam dan kami pergi keluar.

Dengan la penafian, sang murid menafikan segenap ma’budiyât (berbagai objek penyembahan) selain Allah SWT.; sang dzâkir yang tengah menempuh tahap pertengahan menafikan seluruh maqshûdiyât (tujuan akhir) selain Allah SWT.; dari sang dzâkir yang telah mencapai kesempurnaan menafikan wujud segala sesuatu selain Allah SWT. Syarat utama zikir ini adalah konsentrasi dan pemahaman makna agar sang dzâkir tidak tertimpa kesengsaraan dan kemurkaan hebat yang disebutkan dalam Hadis di bawah ini:

Baca juga:  Sabilus Salikin (169): Aurad Tarekat Tijaniyah

Aku mengingat dengan kutukan orang yang mengingat-Ku dengan kelalaian, dan manakala hamba-Ku mengingat-Ku dengan bersenda-gurau, maka singgasana-Ku berguncang dengan kemurkaan.

Syarat berikutnya adalah bahwa sang murid mesti memperhatikan bentuk kiasan syaikh atau pembimbing spiritualnya, ketika melakukan zikir. Syaikh Qadhi Khân Yûsuf menandaskan: Empat ribu pembimbing spiritual menuju Allah SWT. sepakat bulat bahwa diperlukan dua hal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yang satu adalah zikir dan yang lainnya adalah lapar. Hanya saja, orang yang melakukan zikir keras jangan sampai kelewat lapar. Cukuplah kiranya kalau ia menyisakan seperempat perutnya kosong. Ia mesti makan lebih banyak mentega (ghee) yang lebih jernih agar otaknya tidak kacau lantaran usang.

Dalam Tarekat Hisytiyyah, Dzikri Haddâdi juga diamalkan sebagaimana dalam Tarekat Qâdiriyyah. Ini dituturkan dari Imam Abû Hafsh Haddâd. Metode mengamalkannya adalah sebagal berikut:

  1. Sang dzâkir mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah.
  2. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa.
  3. Ketika mengucapkan la ilaha, ia berdiri di atas kedua lututnya, dan kemudian kembali ke posisi semula.
  4. Lalu ia mesti meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat, dan seraya mengucapkan illallah memukul dadanya dengan kata-kata yang saRAt dengan makna keagungan dan kebesaran. Sebagian orang menarik kata-kata la ilaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kata-kata illallah pada hati. Sebagian lagi mengucapkan kata Allah dengan cara yang sama serta mengenakan ketukan hû pada dada.
Baca juga:  Al-Azhari dan Gramatika Kitab Busyra al-Thullab bi I’rab al-Ajurumiyyah

Selama beberapa hari, sang murid mengamalkan chardharbi dzikr (atau chahar-páya, atau empat ketukan). Manakala cahaya zikir muncul dalam dirinya, yakni manakala ia mulai merasa giat dan bersemangat, maka ia pun diperintahkan untuk melakukan dzikr du dharbi damádam (zikir dua ketukan secara cepat dan beruntun). Prosedurnya ialah mengenakan satu ketukan la ilaha pada bahu kanan, dan ketukan kedua illallah dalam daerah hati dan mengucapkan Muhammadun Rasul Allah pada ketiga, kelima, ketujuh atau kesembilan kalinya. Ada sedikit perbedaan dalam zikir ini, disebabkan oleh sedikitnya ketukan. Manakala cahaya zikir ini mulai muncul,  la ilaha pun dihilangkan dan hanya zikir dua ketukan saja yang dilakukan dengan illallah.

Dalam zikir dua ketukan illalláh, sang dzâkir sesudah menggerakkan kepalanya ke kanan, mengenakan ketukan illallah di daerah hati. Setelah itu, biasa dilantunkan zikir nama Allah SWT. dalam Tarekat ini, yang dilakukan dengan menarik kata Allah dari pusar ke atas serta mengenakan ketukan hu pada hati.

Semua zikir yang disebutkan di atas, entah dengan suara keras atau diam dan dilakukan oleh lidah. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa zikir illallah dilakukan lebih bányak ketimbang la ilaha illallah.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top