Sedang Membaca
Menelaah Para Tokoh Muslim dari Kaum Difabel
Nuzula Nailul Faiz
Penulis Kolom

Mondok di PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa di Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menelaah Para Tokoh Muslim dari Kaum Difabel

Unnamed (1)

Jika anda masih ingat drakor Start-Up (2020) yang sukses membelah bangsa kita menjadi dua kubu, kubu Nam Do-san dan Han Ji-pyeong, dalam memperebutkan Seo Dal-mi, ada satu adegan dimana keduanya terlihat kompak. Yakni saat keduanya merayu Alex Kwon, agar perusahaannya tetap mempertahankan aplikasi yang mempermudah tunanetra buatan Do-san dan kawan-kawan. Keduanya sama-sama ingin terus membantu Nenek Choi yang tunanetra. Yang itu berarti, mereka juga sedang membantu jutaan tunanetra lainnya yang terbantu dengan aplikasi tersebut.

Bayangkan bila seandainya cerita fiksi itu benar ada dalam kenyataan. Setiap kita masing-masing memiliki kepedulian yang sama pada kaum difabel, lalu mengerahkan kemampuan yang kita miliki untuk membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari (misalnya Do-san dengan kemampuanya merancang aplikasi dan Ji-pyeong sebagai investor). Mungkin akan terwujud apa yang disebut Leave no one behind (LNOB) atau tidak ada satupun yang tertinggal dalam hidup, yang dirasakan oleh segenap kaum difabel.

Setidaknya ada tiga faktor yang menurut Nurul Huda (Pasca Sarjana Studi Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), terkait difabel yang bisa mewujudkan prinsip Leave no one behind, yaitu dalam diri difabel itu sendiri, lingkungan dan sikap sosial (2018). Yang pertama, para difabel dan kerabatnya mesti percaya diri dan terbuka dengan lingkungan sosial. Yang terpenting adalah sikap penerimaan diri.

Kedua, lingkungan harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel dengan sikap terbuka dan menciptakan lingkungan yang aksesibilitas yang aksesibel. Ketiga, sikap sosial yang memandang para difabel berbasis hak asasi, hak dasar mereka untuk menjalani kehidupan, bukan atas dasar belas kasihan.

Sehingga, bukan ketidakmampuan yang dilihat, melainkan sebuah solusi agar semua mampu menjalani kehidupan dengan nyaman. Bila ketiga hal itu terwujud, seorang difabel akan merasakan kehidupan yang setara dengan orang lainya. Sehingga, mereka bisa berkontribusi dalam peradaban manusia.

Tercatat, banyak tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi penting dalam  Islam, sejak era Sahabat Nabi sampai sejarah kontemporer, yang merupakan seorang difabel. Tapi keterbatasan itu, tidak menjadi halangan bagi mereka untuk memberikan kontribusi pada agama dan kehidupan sosial secara lebih umum. Berikut ulasan prestasi dan lingkungan sosial beberapa tokoh Islam yang merupakan seorang difabel.

  1. Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. (Tuna Netra, Muadzin dan Sahabat Kepercayaan Rosulullah)

Para ulama’ mencatat, ada dua ayat dalam Al-Qur’an yang terkait dengan Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. ini. Yakni dalam QS. ‘Abasa dan QS. An-Nisa’ ayat 95 (Siyar Salaf ash-Shalihin, Ismail al-Ashbihani).

Surah Abasa merupakan teguran Allah SWT. untuk Nabi Muhammad SAW. yang waktu itu lebih memprioritaskan berdialog dengan para pembesar Quraisy, karena mereka dianggap memiliki potensi kekuatan yang lebih besar bagi agama Islam, daripada memperhatikan Abdullah bin Ummi Maktum Ra. yang merupakan seorang tunanetra yang sedang ingin bertanya untuk belajar pada Nabi SAW.

Baca juga:  Ulama Banjar (74): H. M. Daud Yahya

Sedang surah An-Nisa’ ayat 95 merupakan pemakluman Allah SWT. kepada Abdullah bin Ummi Maktum Ra. yang tunanetra dan para sahabat lainya yang memiliki keterbatasan, untuk tidak ikut berjihad di jalan Allah.

Setelah peristiwa turunya Surah ‘Abasa, Nabi Muhammad SAW. sangat memuliakan Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. Bila menjumpai beliau, Nabi menyambutnya dengan مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيْهِ رَبِّي  yang artinya “Selamat berjumpa wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku” .

Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. merupakan tunanetra sejak kecil. Ibunya mendapatkan julukan (laqob) maktum yang artinya “sembunyi”, karena saat melahirkan ia bersembunyi karena melahirkan anak tunanetra. Sebelum era Islam, ia merupakan orang biasa dan hidup untuk dirinya sendiri di Makkah. Ia tidak terlalu dikenal orang. Ia kemudian masuk Islam dan termasuk golongan as-sabiqunal awwalun (generasi awal yang masuk Islam) (Toni Pransiska, 2017).

Saat di Madinah, meskipun ia tunanetra, Rasulullah memberikan peran baginya dalam kehidupan sosial dan perjuangan Islam. Abdullah bin Ummi Maktum Ra. mendapatkan tugas sebagai muadzin bersama sahabat Bilal bin Rabah Ra.

Saat Nabi bepergian dalam perang, Nabi SAW. mempercayakan kepemimpinan di Madinah kepada Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. (Suwar min Hayāt al-Shahābah, Abburrahman Rif’at Al-Basya).

Dalam catatan sejarah, tercatat Abdullah bin Ummi Maktum Ra. juga pernah ikut perang di akhir hayatnya, dengan dipercaya memegang bendera pasukan Islam, dan di saat itulah beliau mati syahid (al-Ishābah fī Tamyīz al-Shahābah, Ibnu Hajar al-Asqalani).

  1. Az Zamakhsyari (Tunadaksa, Pengarang Tafsir “Al-Kasyaf”)

Abu al-Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari merupakan pakar dan tokoh intelektual Islam dalam bidang  Tafsir, Nahwu, Bahasa Arab dan Sastra. Az-Zamakhsyari lahir di Zamakhsyari pada bulan rajab tahun 467 H/1074 M dan wafat pada malam Arafah di Jurjaniyah Khawarizm pada tahun 538 H/1143 M. Dalam teologi, beliau bermadzhab mu’tazilah.

Beliau produktif menghasilkan karya-karya penting dalam berbagai bidang, khususnya sastra. Karya besarnya dalam tafsir adalah Al-Kasyaf ‘an Khaqaiqi Ghawamidh an-Tanzil, kitab tafsir terkenal yang sangat kompeten dalam bidang sastra. Dalam bidang bahasa Arab, beliau mengarang Asas al-Balaghah. Bidang Nahwu, beliau mengarang banyak kitab, salah satunya Al-Mufashal fi Shin’at al-I’rab.

Di balik produktifitas beliau dalam berbagai bidang ilmu tersebut, beliau memiliki keterbatasan, yakni beliau merupakan seorang tunadaksa. Suatu hari saat ia bepergian untuk menuntut ilmu ke Bukhara, ia terjatuh dari kendaraannya. Alhasil, kakinya patah hingga membuatnya harus berjalan dengan bersandar pada tongkat kayu.

Baca juga:  Jejak Nadia Murad, Aktivis Hak Asasi Perempuan dari Irak

Namun meski memiliki keterbatasan, tidak menyurutkan semangat beliau dalam menuntut ilmu. Beliau masih melakukan kegiatan intelektualnya di berbagai kota. Beliau berguru pada Abu Mudhar Mahmud bin Jarir ad-Dhabbi al-Asbihani dalam bidang ilmu bahasa, nahwu, dan sastra di kota Khawarizm. Selain itu, guru beliau yang lain yaitu Abu al-Hasan Ali An-Naisaburi di Naisabur, Iran, Syaikh Abu Manshur Nashr Al-Kharitsi, dan Abu Sa’d Asy-Syaqqani.

Dilihat dari beragam pencapaian intelektualnya, bisa dikatakan sikap sosial di lingkungan beliau saat melakukan perjalanan intelektual dapat menerima dan membantu beliau dalam pergulatanya di dunia intelektual.

  1. Abu al-‘Ala al-Ma’arri (Tuna Netra/Sastrawan)

Abu al-‘Ala al-Ma’arri merupakan sastrawan asal Suriah yang hidup sekitar abad 11 Masehi. Beliau dikenal sebagai seorang sastrawan dan filsuf. Karya-karya sastranya penuh pesan-pesan moral dan kesedihan yang filosofis. Karya-karya sastranya antara lain Risalah al-Ghufron, Risalah al-Malaikat, Diwan Siqtuz Zand, Luzumiyat, Risalah Fushul wa Ghayah, dan Risalah al-Hina’.

Sastrawan besar ini merupakan seorang tunanetra sejak kecil. Ketika usia empat tahun, al-Ma’arri terkena penyakit cacar yang mengakibatkan kebutaan pada matanya. Mata kanannya tertutup selaput putih dan mata kirinya total tidak bisa melihat.

Keterbatasan itu membuatnya sering diejek, tapi tidak menyurutkanya untuk mencari ilmu dan berkarya. Inilah pentingnya sikap penerimaan diri. Ia belajar berbagai ilmu di kota kelahiranya pada banyak ulama, salah satunya Abu Hamzah yang mermadzhab Hanafi. Kekaguman pada penyair terbesar Arab, yakni Al-Mutanabbi, kemudian membawanya sebagai sosok sastrawan.

  1. Thaha Husain (Tunanetra/Pakar Sastra Arab)

Thaha Husain merupakan seorang intelektual dan pakar sastra arab kelahiran Mesir pada tahun 1889. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang produktif. Sudah lebih dari 50 buku karya beliau yang diterbitkan, diantaranya fi al-Syir al-jahili, Mustaqbal al-Tsaqāfah fi Mishr, Mir’ah al-Islām al-Fitnah al-Kubra Utsman, al-Ayyām, dan lainnya.

Beliau dikenal sebagai intelektual liberal dengan pemikiran kontroversial, salah satunya kesimpulan analisanya pada syair-syair kuno arab dengan menggunakan metode-metode akademik kritis modern atau metode ilmiah, yang mengatakan bahwa sebagian besar dari syair-syair yang selama ini diyakini sebagai syair jahili perlu diragukan kebenaran dan keautentikannya (Toni Pransiska, 2017).

Di balik kecemerlangan perjalanan akademiknya, sampai dijuluki sebagai amidul adabi arabi atau pelopor sastra Arab yang melakukan perombakan dalam gaya sastra Arab, beliau merupakan seorang tunanetra sejak usia dua tahun, karena penyakit Opthalmian. Meski begitu, keterbatasan itu tidak menyurutkan beliau untuk terus belajar.

Pendidikan dasarnya dimulai di maktab, lembaga pendidikan dasar yang kemudian dilanjutkan ke Universitas al-Azhar, akan tetapi setelah beberapa lama ia meninggalkan al-Azhar. Setelah meninggalkan al-Azhar, Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Kairo. Lalu ke Sorbonne, dan lulus dengan disertasi The Philosophy of Ibn Khaldun: Introduction and Critism pada tahun 1918 (Islam and Modernism in Egypt , Charles C. Adams).

Baca juga:  Ulama Banjar (86): Kapten TNI H. Sjamsuri Arsjad

Sosok di balik kesuksesanya menjadi Bapak Sastra Arab Modern adalah Suzane Brusseu, perempuan Prancis yang beliau nikahi pada tahun 1917, seorang istri yang sangat mendukung karir suaminya. Diceritakan oleh Kiai Said Aqil, ketika menulis disertasi, Thaha Husein sudah punya satu anak.

Dalam proses penulisan itu, Thaha Husain berbagi tugas: ia menggendong anaknya dan istrinya membacakan literatur. Beliau menyimpulkan, dan istri yang menuliskannya. Dari sini kita bisa melihat pentingnya penerimaan diri oleh seorang tunanetra dan keluarganya, yang diwujudkan dalam dukungan untuk membangun karirnya sendiri.

***

Islam tidak memandang kadar kesuksesan seorang hamba dari fisik. Hamba yang paling mulia di sisi Allah ialah hamba yang paling bertakwa kepada-Nya. Ketakwaan tempatnya ada di hati dan amal perbuatan manusia. Maka jalan menuju hamba yang mulia di sisi Allah, bisa dilewati oleh siapapun, termasuk termasuk bagi para kaum difabel.

Karena setiap manusia mempunyai hati dan berdikari atas amal perbuatanya. Rosulullah SAW. bersabda: Inna Allaha la yandzuru ila shuwarikum wa amwalikum, wa lakin yandzuru ila qulubikum (Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian) (HR. Muslim).

Sebab menjadi difabel bukanlah masalah di sisi Allah SWT., karena yang menjadi masalah itu cacatnya hati seperti cacatnya hati orang munafik. Allah SWT. berfirman, Shummum bukmun ‘umyun fa hum lā yarji‘ūn (QS. Al-Baqarah ayat 18). Artinya, Mereka (orang munafik) tuli, bisu, dan buta (dari kebenaran), maka mereka tidak akan kembali.

Para kaum difabel, sebagaimana yang diabadikan Al-Qur’an dalam surah ‘Abasa tentang Sahabat Abdullah bin Maktum Ra., juga memiliki keinginan untuk menyucikan diri, mendapatkan pengajaran, serta mengambil manfaat darinya, lewat berbagai fasilitas yang dianugerahi Allah, sebagaimana hamba yang lainya.

Dalam Islam, mereka berhak atas kesetaraan dan diberi kesempatan yang sama untuk punya kontribusi sosial, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. mempercayai Sahabat Abdullah bin Maktum Ra. sebagai penanggung jawab kota Madinah, saat beliau pergi berperang.

Dengan menjalankan pemahaman ajaran Islam seperti itu pada kaum difabel, akan lahir banyak lagi tokoh-tokoh Islam yang berkontribusi pada kehidupan agama dan kemanusiaan secara lebih umum dari kaum difabel, sebagaimana tokoh-tokoh kita di atas. Dengan cara, berkarya dengan apapun bidang kita masing-masing untuk membantu kaum difabel, sebagaimana Do-san dan Ji-pyeong. Agar sama-sama kita bisa mewujudkan prinsip Leave no one behind. Semoga. Allahu a’lam bish shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top