Sedang Membaca
Kiai Abdullah Faqih Cemoro, Ulama’ Perintis Tradisi Endhog-Endhogan di Banyuwangi
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Kiai Abdullah Faqih Cemoro, Ulama’ Perintis Tradisi Endhog-Endhogan di Banyuwangi

Kiai Abdullah Faqih Cemoro, Ulama’ Perintis Tradisi Endhog-Endhogan di Banyuwangi

Memasuki bulan Rabi’ul Awwal atau bulan Maulid, masyarakat Banyuwangi memiliki tradisi endhog-endhogan yang mana tradisi ini dirintis oleh KH. Abdullah Faqih Cemoro, Songgon, seorang ulama’ berdarah ningrat yang berasal dari Banten.

Adalah KH. Abdullah Faqih yang memiliki nama kecil Raden Mudasir lahir pada tahun 1332 H atau 1878 M di Dusun Pakis, Desa Balak, Kecamatan Songgon dari  H. Umar Mangunrono yang memiliki nama asli Raden Mardikin. Ayah Kiai Faqih Cemoro ini merupakan putra dari Sunan Murobah Banten dari istri Raden Ayu Adawilah, putri dari keturunan Mas Tholib atau Rempeng Jogopati.

Sunan Murobah sendiri diyakini sebagai seorang ulama asal Batu Qur’an, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten. Besar kemungkinan, Raden Mardikin hijrah ke Dusun Pakis dikarenakan adanya pembuangan para tahanan politik pemerintah kolonial Belanda seusai adanya peristiwa pemberontakan petani Banten tahun 1888, bersamaan dengan dibuangnya Mas Anom, Mas Serdang, dan Mas Adong ke Banyuwangi.[1]

Sejak kecil Mudasir menghabiskan masa kecilnya dengan menimba ilmu langsung kepada ayahandanya seraya rajin merutinkan beribadah puasa sunnah. Pada tahun 1887, saat Mudasir berusia 9 tahun ia memutuskan untuk berkelana guna mencari ilmu di berbagai tempat. Mudasir pada awal perjalannya berguru kepada Kiai Purwosono di daerah Sumbersuko, Lumajang, Jawa Timur selama dua tahun lamanya.

Selain di pesantren tersebut, Mudasir pun juga menimba ilmu kepada Kiai Abdurrohim dari Dusun Banar, Kecamatan Mertoyudan, Magelang yang merupakan ayah dari Kiai Manab Abdul Karim, pendiri pesantren Lirboyo. Setelah dari Lumajang, Mudasir pun meneruskan rihlah tholabul ilmi kepada Kiai Shiddiq Jember.

Baca juga:  Menggali Nilai Karakter Cagar Budaya Dokterswoning

Usai nyantri kepada Kiai Shiddiq, Mudasir meneruskan perjalanannya guna melanjutkan studinya ke Pesantren Bangkalan yang diasuh oleh Syaikhona Kholil. Di Bangkalan, Mudasir berkawan akrab dengan Manab, putra gurunya Kiai Abdurrohim Magelang yang kelak mendirikan Pesantren Lirboyo.

Sebagai sesama kawan yang hidup serba kekurangan selama menimba ilmu di Bangkalan, baik Manab maupun Mudasir akhirnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari dengan menjadi buruh ketam padi di daerah Banyuwangi dan Jember. Namun sekembalinya ke pesantren, padi hasil kerja Manab dan Mudasir pun diminta oleh Syaikhona Kholil untuk digunakan pakan ayamnya. “Peneran Nab, tak enggo pakan pitikku”, (“Kebetulan Nab, tak pakai pakan ayamku”), ujar Syaikhona Kholil.[2]

Selain berkawan karib dengan Kiai Manab, Mudasir di Pesantren Bangkalan juga berkawan dengan Ma’shum Ahmad / KH. Ma’shum Ahmad Lasem, dan Kiai Munawwir Krapyak, Jogjakarta.

Dari Bangkalan, Mudasir pun melanjutkan pengembaraannya guna menimba ilmu di Cirebon. Disana ia belajar kepada Kiai Abdul Djamil Buntet (ayah Kiai Abbas Buntet) untuk mempelajari ilmu hikmah dan kanuragan. Kepada Kiai Djamil pula, Mudasir menerima ijazah tarekat Syattariyah.

Setahun berikutnya, ia meneruskan menimba ilmu kepada Kiai Syamsuri Cirebon dan dilanjut menimba ilmu di tanah leluhurnya Banten. Akhirnya pada tahun 1904, Mudasir menyempurnakan ilmunya dengan beribadah haji seraya berguru kepada ulama’ Nusantara yang bermukim di tanah Haramain tersebut. Enam tahun tepatnya beliau menuntaskan pengembaraannya menimba ilmu dan ia pun kembali ke tanah air dengan nama hajinya “Abdullah Faqih”.

Baca juga:  5 Perawi Hadis Perempuan yang Paling Berpengaruh dalam Islam

Pada tahun 1911 Kiai Abdullah Faqih mulai merintis pesantrennya di kampungnya Dusun Cemoro dengan membeli tanah sepetak milik Semaoen dan Mak Jasir. Berawal dari dua – tiga orang santri yang mengaji kepadanya yang lambat laun santrinya semakin banyak. Dari pesantrennya lahir ulama’ – ulama’ ternama seperti Kiai Humaidullah, Kaliwungu Kendal, Kiai Abdul Halim, pendiri PP. MHI, Bangsalsari, Jember, Kiai Harun Abdullah, Tukangkayu, Banyuwangi, dan Kiai Abdul Mannan, Sumberberas, Muncar.

Selain berdakwah dengan men – transfer ilmu kepada para santrinya, Kiai Faqih juga melakukan dakwah secara kultural kepada masyarakat sekitar yang mayoritas dari suku Osing. Salah satu dakwah kultural warisan beliau yang hingga kini masih lestari di bumi Blambangan adalah tradisi endhog – endhogan atau tradisi menghias telur dan pohon pisang ketika masuk bulan Maulid.

Tak ada catatan yang pasti kapan tradisi ini mulai dirintis oleh beliau, namun terdapat makna filosofi besar yang terkandung dalam tradisi endhog – endhogan ini. Kembang endhog yang divisualisasikan dengan pohon pisang yang berbunga serta berbuah telur ini adalah perlambang dari kelahiran nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang penuh rahmat. Telur yang telah direbus matang juga memiliki makna filosofi bahwa tiga lapis telur melambangkan tiga ajaran penopang agama berupa Islam, Iman, dan Ihsan.[3]

Merasa misi beliau menyebarkan ajaran Islam telah rampung, pada malam Jum’at Kliwon tahun 1953 Kiai Abdullah Faqih berpulang ke hariban Ilahi pada usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga disebelah masjid pesantren miliknya bersandingan dengan istrinya, Ny. Suryati yang telah berpulang terlebih dahulu di usia 60 tahun.

Baca juga:  Sajian Khusus: Ulama yang Wafat dalam Keadaan Sujud

Selain mewariskan jejak dakwah kultural, Kiai Abdullah Faqih juga mewariskan jejak intelektual berupa karya tulis Nadzam al – Aqidah. Nadzam ini terdiri dari 21 bait yang penjelasannya memuat tentang aqaid seket atau aqaid 50. Sampai saat ini nadzam tersebut masih diajarkan di Madrasah Raudlatul Falah Pongkoran, Kaliwungu, Kendal. Adapun yang membawakan nadzam ini ke Kaliwungu, Kendal adalah Kiai Humaidullah yang merupakan salah satu santri dari Kiai Abdullah Faqih.[4] Wallahu A’lam Bishowwab….

[1] Ayung Notonegoro, “Lentera Blambangan : Biografi 9 Ulama’ Banyuwangi Teladan”, (Banyuwangi, Komunitas Pegon : Oktober, 2023), hal. 174 – 175.

[2] H. Asep Bahtiar dkk, “Pesantren Lirboyo : Sejarah, Peristiwa, Fenomena, & Legenda”, (Lirboyo, Lirboyo Press : Januari, 2020), hal. 26

[3] Moch. Sholeh Pratama, “Identity of the East End City of Java Island : Endhog – Endhogan Tradition in Banyuwangi in Commeration of the Birthday of Prophet Muhanmmad PBUH”, (Santhet : Jurnal Sejarah, Pendidikan, dan Humainora, Vol. 6, No. 1, April : 2022), hal. 103 – 104.

[4] Ayung Notonegoro, “Lentera Blambangan : Biografi 9 Ulama’ Banyuwangi Teladan”, (Banyuwangi, Komunitas Pegon : Oktober, 2023), hal. 181.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
4
Senang
3
Terhibur
3
Terinspirasi
3
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top