Sedang Membaca
Reşat Ekrem Koçu
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Reşat Ekrem Koçu

Semula Reşat Ekrem Koçu (1905-6 Juli 1975) tidak membayangkan akan melahirkan sebuah buku. Baru pada 1954-lah lampiran-lampiran empat halaman dari majalah Cumhuriyet yang berisi “Fakta-fakta Aneh dan Mengherankan dari Sejarah Kita” disatukan ke dalam sebuah bunga rampai.

Di balik cerita-cerita aneh, keganjilan-keganjilan, pelbagai rincian sejarah yang komprehensif itu terdapat kisah Koçu sendiri yang aneh dan tragis. Karyanya penuh cinta, yang telah dimulainya sepuluh tahun sebelumnya, pada 1944, dan yang terpaksa diakhirinya akibat kemiskinan pada 1953 di halaman 1000, pada jilid 4, sementara masih di huruf B–adalah Ensiklopedia Istanbul.

Tujuh tahun kemudian, Koçu mulai menulis Ensiklopedia Istanbul kedua, yang dengan pantas dan bangga diklaimnya sebagai “ensiklopedia perdana di dunia tentang sebuah kota”, dimulai lagi dari huruf A. Karena saat itu, Koçu sudah berusia lima puluh dua tahun, dia khawatir kalau-kalau harus meninggalkan lagi kerja monumentalnya dalam keadaan belum selesai, maka dia memutuskan untuk menguranginya menjadi hanya lima belas jilid, dan juga membuat catatannya menjadi lebih “populer”. Karena lebih percaya diri kali ini, Koçu merasa tidak ada alasan yang menghalanginya untuk memasukkan minat pribadi ke dalam Ensiklopedia.

Koçu menerbitkan jilid pertamanya pada 1958. Pada1973 dia sudah menyelesaikan jilid ke sebelas–tetapi baru sampai huruf G–saat dia terpaksa menghentikan usahanya, seperti yang pernah dikhawatirkannya.

Meski demikian, lema-lema yang aneh, dan berwarna-warni mengenai Istanbul di abad ke kedua puluh dalam Ensiklopedia kedua ini merupakan panduan yang tak ada tandingannya bagi jiwa kota ini, karena komposisi prosanya ialah tekstur dari Istanbul sendiri. Untuk memahami mengapa bisa seperti itu, kita harus memafhumi sisi balik senyap dari sosok Koçu.

Luluh dalam hüzün

Reşat Ekrem Koçu adalah salah satu jiwa yang tenggelam dalam hüzün–istilah yang dipungut oleh sastrawan Orhan Pamuk dari bahasa Arab untuk metafora kota Istanbul sebagai mahluk yang berwajah murung–yang membantu menciptakan citra Istanbul abad kedua puluh sebagai kota setengah jadi yang dirundung kemuraman.

Baca juga:  Mengarungi Nusantara Bahari

Hüzün itulah yang mendefinisikan kehidupan Koçu, memberikan pada karyanya logika terselubung, dan menuntunnya pada jalan sunyi yang hanya akan membawanya pada kekalahan akhirnya, tetapi–seperti penulis-penulis lain yang bekerja dengan sikap yang hampir sama–dia tidak menganggap hal ihwal itu sebagai sesuatu yang sangat penting dan tentu saja tidak banyak memikirkannya.

Orhan Pamuk meneroka dengan indah, sendu, dan mengharukan dalam bukunya, Istanbul: Memories of a City (2006), bahwa sebenarnya Koçu, jauh dari menganggap kemurungannya sebagai akibat dari sejarahnya, keluarganya, atau kotanya, menganggap hüzün-nya sebagai sesuatu yang sudah dia bawa sejak lahir. Sedangkan mengenai penarikan dirinya dari kehidupan, keyakinan bahwa hidup mensyaratkan penerimaan kekalahan dari awal–dia tidak menganggap ini sebagai warisan Istanbul–sebaliknya, Istanbul adalah pelipurnya.

Reşat Ekrem Koçu lahir pada 1905 dari keluarga guru dan pegawai negeri. Ibunya adalah anak seorang pasha, sedangkan ayahnya telah lama bekerja sebagai wartawan. Sepanjang masa kanak-kanaknya, Koçu menyaksikan peperangan, kekalahan, dan gelombang imigrasi yang mengakhiri Kesultanan Usmani, serta mengutuk Istanbul dengan kemiskinan yang tak bisa diatasi kota itu berpuluh-puluh tahun.

Koçu sering kembali pada subjek-subjek ini dalam   buku dan artikelnya di kemudian hari, sebagaimana dia kembali pada kebakaran-kebakaran besar terakhir di Istanbul, para petugas pemadam kebakaran, perkelahian-perkelahian di jalanan, kehidupan di lingkungan sekitar yang dia lihat ketika masih bocah.

Titimangsa 1960-an, ketika hasil karya Koçu masih sedikit demi sedikit, para pembacanya yang sabar tidak menganggap Ensiklopedia Istanbul sebagai sebuah referensi faktual mengenai kota Istanbul, tetapi membacanya lebih sebagai majalah yang menggabungkan hal-hal aneh dan eksotik dengan kehidupan sehari-hari di kota ini.

Baca juga:  Museum Orhan Pamuk

Akan tetapi, Koçu tetap saja tak terlalu dikenal luas. Kota dalam Ensiklopedia-nya yang murung bertentangan dengat adat-istiadat Istanbul 1960-an, dan tidak banyak pembaca yang bisa menerima, apalagi menghargai, cita rasa seksualnya. Namun, selama lima puluh tahun, Ensiklopedia pertamanya, dan jilid-jilid pertama dari ensiklopedia keduanya, memiliki pengikut setia, khususnya di antara para penulis dan akademisi yang, didorong keinginan untuk memafhumi pembaratan Istanbul yang berlangsung dengan langkas serta pembakaran, penghancuran masa lalunya, menyatakan bahwa jilid-jilid awal karya itu “serius” dan “ilmiah”.

Orhan Pamuk mendedahkan, kepiluan Koçu bukan dikarenakan kejatuhan Kesultanan Usmani dan kemunduran Istanbul, melainkan karena masa kanak-kanaknya yang suram.

Kita mungkin melihat penulis ensiklopedia ini sebagai sosok khas seorang kolektor yang, pasca mengalami trauma pribadi, menarik diri dari dunia untuk hidup di antara objek-objek. Akan tetapi, Koçu tidak memiliki pandangan materialisme seorang kolektor klasik–ketertarikannya bukanlah pada objek, melainkan pada fakta-fakta aneh.

Namun, sebagaimana kolektor Barat yang tidak tahu apakah koleksi mereka akan berakhir di sebuah museum atau tercerai-berai entah ke mana, dia tidak memiliki rencana besar ketika dorongan itu pertama kali dirasakannya: dia mulai mengoleksi karena tertarik dengan setiap fakta yang memberitahukan sesuatu yang baru perihal Istanbul kepadanya. Setelah menyadari bahwa pusparagamnya mungkin tidak akan tersimpan utuh, barulah dia mendapatkan gagasan mengenai ensiklopedia, dan sejak itu dia senantiasa sadar akan “kebendaan” koleksinya.

Labirin senyap

Kata sahibulhikayat, perpustakaan milik Koçu yang luas dipenuhi bertumpuk-tumpuk “materi” yang dia simpan di dalam amplop-amplop–pelbagai potongan koran, koleksi-koleksi gambar dan foto, dokumen-dokumen dan catatan-catatan (yang kini telah maherat) yang dihimpun dari bertahun-tahun membaca surat-surat kabar abad kesembilan belas.

Saat Koçu menyadari bahwa dia tidak akan hidup untuk menyelesaikan Ensiklopedia-nya, Koçu berkata bahwa dia akan mengambil seluruh koleksinya, yang dikais-kaisnya seumur hidup, dan membakar semua itu di kebunnya. Pada akhirnya, Koçu tidak membiarkan kemarahan menguasai dirinya, tetapi bahkan jikalau dia membiarkannya, tidak akan banyak bedanya; produksi Ensiklopedia Istanbul terus-menerus melambat dan sama sekali seriat 1973.

Baca juga:  Sembahyang Jumat di Negara Panggung

Sekitar empat puluh teman Koçu–sebagian besar adalah para sejarawan atau tokoh-tokoh sastra (yang mayoritasnya merupakan generasi kamitua)–menjadi kontributor untuk Ensiklopedia Istanbul selama tiga puluh tahun tanpa menerima bayaran satu sen pun. Sedangkan penulis dari generasi yang lebih muda, pada saatnya mereka akan menjauhkan diri dari Koçu karena pikirannya sering berubah sekonyong-konyong. Dan, selama masa tiga puluh tahun penyusunan, hanya satu atau dua perempuan yang pernah menulis lema dalam ensiklopedia itu.

Kekuatan dari ensiklopedia yang diedit Koçu karena proyek ini “gagal”. Alasan mengapa Ensiklopedia Istanbul dua belas jilid ini tidak dapat sukses adalah ketidakmampuan Koçu untuk menjadi “Barat”.

Untuk melihat kota ini dengan perspektif baru, para penulis Turki harus membersihkan diri dari identitas tradisional mereka. Untuk menjadi “Barat”, mereka harus memulai perjalanan yang tidak dapat dibatalkan ke tempat tak jelas antara “Timur” dan “Barat”.

Halaman-halaman “melankolis” Koçu nan paling indah dan mengagumkan adalah halaman-halaman yang tetap berada di antara kedua jagat itu, dan (lagi-lagi, seperti lainnya) harga yang harus dia bayar untuk orisinalitasnya adalah kesendirian. Jilid-jilid buku kuno yang telah lapuk ini sekarang hanya menguning, memudar, berjamur, murah, dan tentu saja sepi peminat.

Arkian, jurnalis cum sejarawan publik Reşat Ekrem Koçu–seperti tiga penulis melankolis Turki segenerasi: penulis memoar Abdülhak Şinasi Hisar, penyair Yahya Kemal, novelis Ahmet Hamdi Tanpinar–hidup melajang lapuk tanpa pernah menikah, dan mampus sendirian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0

Kecamuk Pamuk

Kecamuk Pamuk
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top