Sedang Membaca
Simalakama Kacung Penjajah: Program Politik Etis
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Simalakama Kacung Penjajah: Program Politik Etis

Politik Etis

Anak B.P. kebanjakan takoet kepada Belanda. Apakah sebabnja? Boekankah Belanda itoe joega manoesia seperti B.P.? Marilah kita periksa dari djaman koempeni. Pada waktoe itoe bangsa B.P. diindjak, diperas dan diambil kekoeatan dan oeangnja. Akan B.P. (lebih-lebih bangsa Djawa) jang biasa membedakan orang tinggi dan rendah, memandang bangsa Belanda bangsa jang tinggi, sebab m.i. selalu menang perang. Moelai itoe, sekalian Belanda disangka patoet dihormati. Tetapi si Belanda tidak ambil poesing. Bangsa Belanda jang perangainja koerang haloes itoe, membalas kehormatan kita dengan kekerasan. Anak Djawa jang moelai ketjil ditakoetkan kepada Belanda, besarnja tinggal takoet. Sebab itoe tidak baik, apabila orang toea menakoeti anaknja jang menangis: “Hei, diam, ada Belanda. (Mas Marco Kartodikromo, Student Hidjo, hlm. 117).

Politik Etis tidak saja melanggengkan superioritas Kerajaan Belanda atas Hindia-Belanda, tetapi juga menurunkan kaum Bumiputra ke dalam kelas sosial yang lebih rendah lagi dari sebelumnya. Kesadaran Belanda eereschuld (hutang kehormatan) dan politik asosiasi sebagai jalan keluarnya meningkatkan paradoks dalam bentuk rasa rendah diri yang tidak tertahankan karena tanpa adanya kesadaran superioritas dan inferioritas, hampir tidak terbayangkan ada orang yang bisa mengambil tugas mengangkat dan mendidik orang lain. 

Menjelang peralihan abad, kesadaran ihwal masalah yang ditimbulkan oleh program liberal sejak 1870 sudah sangat mendalam, tetapi terbatas di kalangan kecil politikus dan intelektual Belanda. Ketika Politik Etis diumumkan, jangankan rakyat, politikus dan intelektual Belanda mungkin hanya segelintir yang merasa memafhumi kerumitan masalah yang dihadapi, dan penyelesaian yang diajukan. Hanya dengan menatap balik ke masa silam, masalah penyelesaian tersebut dapat diteroka dengan lebih bernas kiwari.

Tahun 1900, penduduk Hindia-Belanda diperkirakan berjumlah 40 juta, termasuk sekitar 600.000 yang bukan golongan Bumiputra. Dengan tingkat pertambahan penduduk satu persen setahun, maka pada 1912 jumlah itu menjadi 45 juta. Dari tiap 100 penduduk itu, 72 berjejal di pulau Jawa dan Madura, padahal cuma tujuh dari tiap 100 bagian dari wilayah Hindia-Belanda yang termasuk pulau Jawa dan Madura.

Jumlah penduduk 40 juta itu pada 1900 menerima akibat pembaruan liberal yang telah berlangsung selama satu generasi. Pembaruan itu dianggap oleh kaum agama, sosialis, dan liberal progresif di Belanda sangat menguntungkan kaum pemodal, tapi merugikan rakyat Hindia-Belanda, terutama golongan Bumiputra. 

Diperkirakan, pendapatan Bumiputra per kepala setahun hanya sekitar 63 gulden, sedangkan golongan Eropa 2.100 gulden, dan Timur Asing sekitar 250 gulden. Pada tahun itu, yang bersekolah hanya tiga dari setiap 1000 penduduk Bumiputra, tetapi 160 dari setiap 1000 penduduk Eropa, 14 dari setiap 1000 penduduk Cina, dan 30 dari setiap 1000 penduduk Arab. Dari sekitar 100.000 Bumiputra yang bersekolah, hanya 13 yang duduk di Sekolah Menengah (Hogere Burgerschool, HBS).

Disparitas yang baru saja dilukiskan itu semakin tajam karena secara sengaja diperlihatkan dalam pemilahan masyarakat, secara hukum maupun sosial. Pemilahan yang telah berusia lama itu tetap saja dipertahankan, dan dipercanggih, kendati telah melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) Kerajaan Belanda. Sekadar contoh: menjelang abad ke-20, tepatnya sejak 1897, syarat untuk diakui derajat dengan Eropa makin diperberat. Caranya, mereka yang sudah diakui harus diuji kembali untuk memastikan apa benar masih tetap sesuai dengan takaran pergaulan Eropa.

Bagi Bumiputra, adanya pengakuan sederajat dengan Eropa pun tidak cukup untuk diperlakukan secara adil. Penguasa Bumiputra sendiri makin jauh terperosok ke tingkat anak gajian penjajah. Para regent (bupati) turunan dan anak-anak calon pengganti mereka makin selit belit menghargai jabatan itu. Mereka mulai mencari jalur peningkatan baru, yaitu jabatan dalam birokrasi yang khusus bagi orang Belanda (BB). Untuk itu, mereka harus mengikuti pendidikan Eropa.

Baca juga:  Manaqib KH. Syamsul Arifin Jember: “Nyongkel Sekep” dan Kesombongan Teologis di Masa Pandemi

Demikianlah yang terjadi dengan Regent Demak, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, kakek R.A. Kartini. Itu pula yang terjadi dengan Regent Serang, Raden Bagoes Djajawinata, ayah Pangeran Aria A. Djajaningrat dan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat. Bahkan itulah yang terjadi dengan pembesar yang lebih tinggi lagi, seperti Sri Pakualam V dan Susuhunan. R.M. Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, tiba di Belanda pada 1896 untuk menuntut ilmu di Sekolah Politeknik, Delft. R.A. Kartini sendiri, dengan dua adik perempuannya, telah begitu menguasai bahasa Belanda bahkan bahasa Prancis, sehingga mampu mendedahkan cita-cita, pikiran, dan perasaan yang mendalam dengan bahasa itu.

Tahun 1899, Achmad Djajadiningrat sudah siap berangkat melanjutkan pelajaran ke Belanda, tetapi terpaksa suak karena ayahnya meninggal. R.M. Ario Koesoemo Joedo, putra Sri Pakualam V, malah sudah di Belanda sejak usia delapan tahun pada 1890.

Setelah lulus HBS di Nijmegen pada 1900, Koesoemo Joedo mendaftar di sekolah kedokteran, Amsterdam. Celakanya, walaupun pendidikan yang ditempuh betul-betul sesuai dengan standar Belanda, tidak ada jaminan bagi anak-anak lapisan atas Bumiputra untuk memperoleh penghargaan yang setimpal. Nasib yang menimpa Raden Mas Ismangun Danoewinoto sangat menghantui para pelajar Bumiputra.

Berbeda sekali sikap Belanda terhadap warga bangsa yang megak merebut tempat dalam pergaulan global. Pada 1899, orang Jepang, di mana pun berada, resmi diakui oleh Belanda setara dengan orang Eropa. Tidak berapa lama kemudian orang Turki memperoleh status yang sama pula. Masuk akal jika masyarakat Cina merasa disepelekan lalu menuntut perlakuan serupa.

Untuk memperjuangkan tuntutan itu, didirikanlah Tiong Hwa Hwee Koan (THHK). Tuntutan ini boleh disebut kandas. Tahun 1906, pasal 109 RR direvisi. Sejak saat itu, orang-orang Arab, Moor, dan Cina, dengan resmi diperlakukan sebagai kelompok masyarakat tersendiri, yang disebut Vreemde Oosterlingen. Baru pada 1917 status orang Cina diakui sama dengan Eropa, tetapi cuma di bidang hukum dagang.

Bagi Bumiputra, masalahnya jauh lebih biut. Jangankan hak yang sama dengan Eropa, seruan kaum Ethici (Etisi) agar kehidupan Bumiputra diperbaiki pun belum juga mendapat jawaban dari pemerintah. Baru setahun kemudian janji perbaikan muncul tatkala titimangsa 17 September 1901, Ratu Wilhelmina berpidato dalam pembukaan sidang parlemen Belanda. Pidato itu (troonrede) menandai babak baru dalam politik kolonial Belanda di Nusantara.

Dalam pidato tersebut, diakui besarnya kecaman golongan Ethici terhadap pelaksanaan garis liberal secara hampir setengah abad. Kendati pelaksanaan garis liberal diakui telah mengantar Hindia-Belanda ke arah kesatuan ekonomi, pemerintahan, dan budaya, tetapi kesejahteraan Bumiputra diperkirakan sudah sangat merosot. Suatu badan penyelidik akan dibentuk akan dibentuk untuk memeriksa kemerosotan itu, dan Kerajaan Belanda hendak membalas budi kepada Bumiputra lewat “trilogi” program Politik Etis. “Trilogi” itu adalah: educatie, irigatie, emigratie.

***

Singkat cerita, beginilah beberapa pelaksanaan Politik Etis. Begitu program Politik Etis mulai dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa segera dibuka bagi anak-anak Bumiputra oleh Abendanon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri (1900-1905).

Tahun 1902, Sekolah Juru Kesehatan Bumiputra atau Sekolah Dokter Jawa (School voor Inlandsche Geneeskundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumiputra (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen–STOVIA). Lama belajarnya enam tahun setelah masa persiapan tiga tahun.

Pada 1902 itu juga telah dimulai program transmigrasi (emigratie), dengan terbentuknya tim peneliti lahan di Sumatera Selatan di bawah pimpinan H.G. Heyting. Dua tahun kemudian, pada 1904, terbentuk Dinas Perkreditan Rakyat (Volkscredietwezen) mulai dari desa sampai di ibu kota kabupaten.

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Pandangan Tentang NU Kembali ke Khittah 1926

Sesuai dengan tuntutan kaum Ethici, pelaksanaan sistem candu (opium regie) mencapai puncaknya dengan berdirinya pabrik candu terbesar milik pemerintah di Batavia pada 1901. Delapan tahun sebelumnya, pemerintah secara resmi telah menyatakan berakhirnya monopoli pedagang Cina atas pengusahaan candu.

Tiga tahun sesudahnya, 1904, kekuasaan rentenir Cina dan Arab atas Bumiputra dicoba dipatahkan dengan Dinas Perkreditan Rakyat. Sebagai pantulan meluasnya program irigasi, juga pada 1904 dibentuk satu departemen baru, Departemen Pertanian (Departement van Landbouw). Dengan makin pulihnya perekonomian, pada 1911 Departemen Pertanian diperluas menjadi Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan (Departement van Landbouw, Nijverheid, en Handel). Berhubung dengan itu, Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri diciutkan menjadi Departemen Pendidikan dan Agama (Departement van Onderwijs en Eeredienst). Program desentralisasi “kecil” mulai dilaksanakan tahun 1905, kendati baru dapat dimulai dari kota-kota seperti Batavia, Meester Cornelis (Jatinegara), dan Buitenzorg (Bogor). Dengan meluasnya pelayanan umum pemerintah, pada 1907 dibentuk Departemen Perusahaan-perusahaan Negara (Departement van Gouvernements Bedrijven).

Pendeknya, pelaksanaan program Politik Etis itu telah menimbulkan banyak kesempatan, tetapi sekaligus juga hambatan anyar bagi Bumiputra, sesuatu yang sangat asing dan membingungkan. Betapa tidak! Bumiputra hampir tidak dibantu menangkap logika dasar dan memafhumi ujung-pangkal keadaan baru itu. Mereka tinggal menerima proyek-proyek sehingga merasa lebih sebagai sasaran (objek) tinimbang pelaku (subjek) pembaruan. Pemerintah jajahan seolah-olah hanya perlu membalas budi terhadap rakyat Hindia-Belanda, bukannya mengajak mereka memafhumi masalahnya sendiri dan membantu memecahkannya.

Untuk membalas budi itu, pemerintah merasa tahu semua yang perlu dilakukan: benar-benar suatu sikap “triomfalisme”, yakni sikap yang menganggap agama sendiri sebagai kebenaran dan menilai agama liyan sebagai musuh. Di bawah afsun triomfalisme itu Bumiputra merasa silau, sehingga mereka hanya dapat melihat kepentingan jangka pendek semata.

Dengan program desentralisasi, misalnya, birokrasi yang berpola Eropa makin merasuk ke wilayah yang dulu dikuasai oleh birokrasi Bumiputra. Apa yang tersisa pada kharisma dan kemuliaan pejabat Bumiputra setelah terus-menerus dipangkas selama garis liberal dilaksanakan, semakin licin tandas. Jawaban mereka yang khas dan bersifat jangka pendek terhadap makin sirnanya wibawa dan kemuliaan tersebut menjadi tampak makin penting dan mendesak. Jawaban yang khas itu adalah memasuki jabatan dalam birokrasi pola Eropa (Departement van Binnenlands Bestuur, BB) lewat pendidikan tinggi di Belanda. Ternyata, setelah mereka sekolah di sana, musibah yang pernah menimpa Ismangun Danoewinoto terus berulang. 

Makin kurangnya daya pikat jabatan Bumiputra bagi anak-anak Bumiputra lapisan atas memang memberi peluang baru bagi priyayi kecil dan rakyat biasa untuk menduduki jabatan itu. Inilah sebabnya, selain masuk Sekolah Dokter Bumiputra (STOVIA) atau Sekolah Pertanian, banyak di antara priayi kecil itu yang menyerbu OSVIA dan Sekolah Guru. Akan tetapi, semakin banyak anak asisten wedana atau mantri polisi yang mendekati kedudukan bupati, semakin besar pula rasa terancam di pihak penguasa Bumiputra lapisan atas. Antipati di antara kedua pihak tak bisa dihindarkan. Yang paling keras sikapnya terhadap priayi kalangan atas itu ialah para siswa Sekolah Dokter Bumiputra.

Penyebabnya berlapis-lapis. Untuk memecah-belah siswa STOVIA, dan sekaligus menanamkan rasa rendah diri, pemerintah jajahan mewajibkan semua siswa yang bukan-Kristen mengenakan pakaian tradisional masing-masing. Selain itu, kendati sangat dibutuhkan, terutama oleh perkebunan besar, lulusan STOVIA dianggap kurang bermutu tinimbang dengan lulusan Belanda. Ketika Direktur STOVIA, dr. H.F. Roll, merencanakan peningkatan mutu sekolah itu, pemerintah menolak dengan alasan, bahwa calon dokter Bumiputra tidak sanggup menerima pelajaran yang lebih tinggi. Untungnya Roll tidak tunduk. Ia berjuang memperoleh penilaian positif atas kemampuan calon dokter Bumiputra dari para dosen sekolah dokter di Belanda. Hasilnya, sejak 1904 lulusan STOVIA boleh melanjutkan pelajaran di sana tanpa syarat.

Baca juga:  Nasehat KH. M. Hasyim Asy'ari untuk Pengurus dan Jamaah NU

Jadi, pada dasarnya siswa STOVIA merasa antipati terhadap pemerintah jajahan. Selain itu, di satu pihak para siswa STOVIA memandang rendah kalangan priayi tinggi sebagai kacung penjajah; di pihak liyan, mereka panas hati, karena setelah sembilan tahun bersekolah, gaji mereka cuma sepertiga gaji lulusan OSVIA, sekolah anak priayi tinggi, yang lama belajarnya cuma lima tahun. Dalam pada itu, rakyat jelata tak kuasa memperjuangkan kepentingan sendiri, sekalipun yang paling mendesak. Uluran tangan dari lapisan atas rumpil diharapkan karena mereka bertungkus-lumus mendahulukan kepentingan mereka sendiri yang bersifat jangka pendek. Selain itu, dalam program pokok Politik Etis, yakni pendidikan, seluruh Bumiputra dari segala lapisan sama-sama menderita perlakuan yang merendahkan dari pihak orang Eropa. Lapisan bawah direndahkan dalam Sekolah Desa yang tidak jelas muaranya; lapisan atas direndahkan di sekolah anak Eropa oleh murid Eropa, dan bahkan oleh guru.

Mungkin saja, salah satu penderitaan rakyat Bumiputra yang paling dramatis  adalah akibat program pemindahan penduduk (emigratie). Selain mencakup transmigrasi, program ini juga menyangkut pengerahan buruh, seperti ke Suriname, Kaledonia Baru, dan Sumatra Timur, Nah, pengerahan buruh ke perkebunan besar di Sumatra Timur itulah yang menimbulkan penderitaan paling dramatis. Penderitaan tersebut dramatis, sedikitnya karena dua alasan.

Pertama, penderitaan itu hanya bisa terjadi karena rangkaian penyebabnya mendapat perlindungan kekuasaan negara. Perlindungan negara ini berupa peraturan negara ini berupa Peraturan Kuli 1880 (Koelie Ordonnantie). Dalam ordonansi itu, penguasa kebun besar diberi hak untuk memperlakukan buruh sesuka hati jika dianggap melanggar aturan (poenalesanctie).

Kedua, penderitaan buruh menarik perhatian umum berkat gugatan berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh Belanda sendiri, yang disiarkan secara luas.

Setelah puluhan kali digugat tetapi tanpa hasil, maka titimangsa 22 Maret 1902 terjadilah gugatan pamungkas. Tokoh terpenting dalam gugatan ini ialah Mr. J. van den Brand, seorang pengacara di Medan. Karena pembesar perkebunan mengancam kelangsungan usahanya sebagai pengacara, Van den Brand sekalian saja menulis brosur yang membeberkan kebengisan mereka terhadap buruh. Brosur ini menggoncangkan Belanda, mirip novel Max Havelaar setelah abad sebelumnya. Berbulan-bulan pers Hindia-Belanda mewartakan peristiwa tersebut dengan gencar, tetapi masyarakat tidak kunjung melihat hasilnya.

Sesuai dengan pidato Ratu Wilhelmina pada pembukaan sidang parlemen 17 Septermber 1901, suatu komisi khusus resmi dibentuk pada 15 Oktober 1902 untuk meneliti sebab-musabab merosotnya kesejahteraan rakyat. Meskipun hasil lengkap penelitian komisi baru dilaporkan sepuluh tahun kemudian, bagian-bagiannya disampaikan juga sewaktu-waktu kepada pemerintah.

Begitulah, maka laporan penelitian itu disimpulkan, bahwa kemerosotan tingkat hidup penduduk Jawa dan Madura tidak senista yang dibayangkan sebelumnya. Rangkaian peristiwa ini dialami atau didengar luas oleh masyarakat Bumiputra lewat surat kabar dan majalah dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah tertentu. Sementara masyarakat Bumiputra tidak dapat memafhumi ujung-pangkal benang merah peristiwa itu, berita tentang berbagai peristiwa global pun masuk. Kendati masih merupakan teka-teki dalam kerangka Politik Etis, kedua rangkaian peristiwa tersebut tentulah merangsang dan sekaligus menanamkan benih kesadaran anyar di kalangan Bumiputra.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top