Sedang Membaca
Merusak Bumi dari Meja Makan
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Merusak Bumi dari Meja Makan

Jika Anda masuk ke restoran atau warung makan, apa yang Anda pikirkan selain makanan? Biasanya, kita hanya menunjuk jenis makanan atau mengambil dafar menu dan menunggu pelayan datang untuk bertanya. Setelah itu, makan. Itu saja. Lalu membayar sesudahnya.

Jika dipikir, lebih-lebih mengacu pada data yang diajukan oleh Elizabeth Royte perihal limbah makanan yang menempati peringkat ketiga limbah tertinggi dunia setelah Tiongkok dan Amerika, saat berada di warung makan, kita bagaikan tengah berada di meja pengadilan: makan sebagai tuntutan naluriah atau sekaligus juga merusak Bumi. Masa sampai sejauh itu?

Iya. Kita saja yang tidak atau enggan memikirkan rantai konsumsi dan distribusi makanan tersebut karena terlalu fokus ke sajian atau terusik oleh perut yang lapar.

Kiranya, tidak penting saya sebutkan hujah-hujah yang melarang pengrusakan di muka bumi. Ayatnya ada, hadisnya ada. Tapi, ateis atau ahli ibadah, percaya pada data atau tidak, manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan alam dan manusia. Karena itu, merusak bumi—yang notabene merupakan tempat mereka hidup—adalah tindakan ironis, tercela.

Lalu, mengapa kita santai saja menyaksikan pengrusakan-pengrusakan itu? Penyebabnya; yang satu rakus, satunya tidak peduli. Salah satu pokok masalah kerusakan Bumi adalah cara pandang kita dalam melihat masalah itu sendiri.

Banyak orang yang melihat ibadah mahdlah hanya sebagai aktivitas kunci untuk mendapatkan pahala, sehingga banyak pula sunnah mahjurah dan mereka lupa bahwa dengan niat yang benar, mengamalkan sunah Nabi dan menunjukkan wujud kehambaan kita sudah dapat dimulai.

Sekurang-kurangnya, ada tiga hal pengrusakan yang biasa dilakukan manusia dari meja makan.

Baca juga: 

Baca juga:  Multikulturalisme Bahasa Alquran

Sampah Plastik:

Bukankah sudah menjadi kebiasaan, kita makan tapi tidak disediakan air karena ia sudah disediakan di tempat terpisah dalam wadah plastik?

Dulu, saat saya masuk warung, air minum langsung disuguhkan karena “minum adalah sepaket dengan makan”. Sekarang, palayan bertanya lebih dulu, “Minumnya apa?”. Jika jawabannya air biasa atau air bening atau air putih (ini sebutan salah kaprah), yang bakal disuguhkan adalah air minum dalam kemasan (AMDK).

Airnya masuk tubuh selama beberapa jam, sampahnya bertahan ratusan tahun. Kurang ironis? Di acara-acara walimah: air gelasannya ditusuk, tapi dibiarkan, tidak diminum, atau diminum hanya sedikit.

Yang mengerikan adalah karena ‘gerakan’ seperti ini bersifat masif, hampir dilakukan oleh semua orang, di mana-mana. Barangkali, awalnya hanya satu-dua. Tapi, karena semakin banyak yang melakuannya, yang lain lalu merasa bahwa tindakan itu bukanlah tindakan yang buruk. Masyarakat pun permisif, menganggapnya mubah-mubah saja.

Jadi, wajar saja kalua Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat, tempo hari itu membahas bahaya sampah plastik hingga larangan untuk membuang sampah sembarangan.

Tisu

Sebelum ada tisu, orang menyediakan serbet buat lap tangan sehabis makan. Biasanya terbikin dari kain kasar, atau kain perca, sisa-sisa potongan kain di tukang jahit. Belakangan, karena gaya hidup manusia terus berbuah dan orang ingin yang gampang-gampang, praktis lagi murah, digunakanlah tisu. Jika kain bisa dicuci ulang, tisu harus langsung dibuang.

Pernahkah kita berpikir, mengapa untuk sekadar makan saja kita harus memproduksi begitu banyak sampah? Atau, kok bisa kertas tisu itu sangat murah?

Baca juga:  Belajar dari Teladan Ekonomi Buddha

Kebanyakan kita tidak pernah memikirkan dari mana kertas tisu itu berasal, jarang yang bertanya mendasar begitu. Jika ia dianggap berasal dari pohon yang aman bagi deforestasi, kita tidak benar-benar tahu kenyataan yang sebenarnya. Jika ia berasal dari kertas daur ulang, bahan kimiawi apakah yang membuatnya begitu? Adakah jaminan kesucian dan kehalalan?

Rumit, ya? Bukan mempersulit masalah, tapi beginilah kenyataannya. Memang rumit, kita saja yang menyepelekannya. Ini mirip dengan kantong plastik yang katanya bisa hancur dengan sendirinya, padahal kenyataannya, setelah bertahun-tahun kemudian, repihannya tetap ada, hanya bermetamorfosa: dari repihan, ke mikroplastik, ke nanoplastik. Wajar jika sekarang kita sadar, lautan tidak lagi dipenuhi ikan, melainkan sampah plastik yang kelihatan dan nyaris tidak kelihatan oleh mata biasa.

Saya mengapresisasi warung memiliki dedikasi untuk lingkungan. Contoh (maaf, bukan iklan): Waroeng Kencoer, dekat Probolinggo. Tidak ada tisu dan sedotan di sana.

Pengelola berkomitmen untuk mengalihkan biaya belanja kedua item tersebut untuk kegiatan sosial dan environmental, meskipun kita tetap bisa mendapatkannya secara cuma-cuma di meja kasir, namun dengan pembatasan.

Sisa Makanan

Sisa makanan merupakan sampah terbesar dunia yang ada di peringkat ketiga. Sampah jenis ini sepintas tampak sepele, karena kita hanya melihatnya dalam wujud sisa-sisa: sisa sop, sisa nasi, sisa kuah, sisa ikan, dan seterusnya. Kesalahan pertama sudut pandang ini adalah meng-“hanya”-kan sisa-sisa itu. Kesalahan berikutnya: kita tidak pernah memikirkan rantai proses makanan sehingga ia tiba di hadapan kita, di meja makan.

Baca juga:  Israel, Air, dan Kita

Sisa potongan kentang dalam sop yang terbuang itu, mungkin berasal dari Wonosobo, butuh air banyak saat menyiramnya, butuh BBM saat mengangkutnya, butuh plastik saat mengemasnya, butuh minyak saat menggorengnya, dan setelah tiba di atas meja, di atas piring, kita buang begitu saja?

Barangkali, kita bisa berkelit, dengan tidak percaya pada data-data di atas hanya karena dikumpulkan oleh orang “kafir” (apalagi mungkin ateis), tapi masa iya kita harus mengeluarkan hadis la’qul ashabi’ dari Riyadus Shalihin atau mengutip hadis tatacara makan dari kitab Adzkar al-Akil was Syarib dari Adzkar an-Nawawi atau menuturkan adab para sufi terhadap makanan dari Sirajut Thalibin lebih dulu supaya kita tidak ragu? Kan tidak perlu begitu. Cukuplah alasan: mubazir itu dilarang, baik ketika Anda sedang kaya, apalagi sedang memang miskin.

Tentu, tiga butir ini hanya pengantar, yang tampak dan kasat mata saja, dan sering terjadi. Kita belum bicara gorengan, minyak goreng, dan sawit. Ketika di Barat kudapan masa depan sudah mempertimbangkan minyak alga, sudah mempertimbangkan daging imitasi, sudah mempertimbangkan burger serangga, sempatkah kita merenung:

Mengapa sawit terus ditanam meskipun dengan menghancurkan keanekaragaman hayati dan deforestasi? Mengapa harus ada rekayasa padi lahan kering? Mengapa talas, kentang, dan singkong harus menggantikan padi dan gandum?

Semua itu adalah proyek besar pemuasan syahwat manusia yang sedang duduk beserdawa di meja makan. Mengapa semua itu harus direkayasa? Sebab ada yang makan terlalu banyak dan masih ingin nambah di saat yang satunya tak ada yang hendak di makan bahkan untuk hari ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
1
Lihat Komentar (4)
  • Di arab saudi mekah dan madinah kantong plastik biasa digunakqn buat air zan2. Korma atau apapun juga gimana kita2 7ach. S3pqnjqng tahun umroh2 dan umroh. Haji aekqli giamana apakah bisa dikatagorikqn dengan pengtusakan kah

  • Wah.. Fikih banget tulisan ini.

    Kesimpulan yang kudapat dari membaca tulisan Ra M Faizi ini berupa saran: dakwahkan, kembalikan tradisi yang baik jaman kemarin, tinggalkan tradisi milenial yang tidak baik, yang tak terasa telah menggiring kehidupan kita pada budaya konsumtif berlebihan, agar usia bumi dan kehidupan ini lebih lama dan selamat.

    Tulisan yang inspiratif dan menggugah!

Komentari

Scroll To Top