Sedang Membaca
Gadis dalam Lukisan: Buku dan Keinginan Menjadi Penulis
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Gadis dalam Lukisan: Buku dan Keinginan Menjadi Penulis

Kira-kira pada 1985, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, antara kelas 5 atau 6, saya gemar membongkar-bongkar buku untuk dibaca di perpustakaan sekolah.

Namun, perpustakaan yang saya maksud bukanlah perpustakaan madrasah ibtidaiyah tempat saya menuntut ilmu, melainkan Perpustakaan Madrasah Tsanawiyah Putri Annuqayah yang dikelola oleh kakek saya dan terletak di samping rumah).

Koleksi buku di perpustakaan tersebut sangat terbatas. Barangkali, karena alasan inilah kegemaran saya ini terbentuk. Meskipun tidak secara lahap, fiksi maupun nonfiksi, semua saya baca tak pandang buku. Di antara bahan bacaan yang paling saya suka adalah buku-buku inpres bertema ilmu pengetahuan alam. Buku-buku ini bergambar dan sifatnya serial, antara lain buku tentang sejarah kereta api, batu-batuan, listrik, mesin uap, dan pesawat terbang.

Sayangnya, tidak satu pun buku yang saya ingat judulnya, kecuali buku tentang pesawat terbang—kalau tidak salah—berjudul Wilbur Wright Bersaudara (untuk kategori non-fiksi) dan Jarot Pahlawan Cilik (untuk kategori fiksi).

Pada suatu hari, saya mendapatkan sebuah buku di luar perpustakaan. Saya tidak ingat, buku apa itu. Yang pasti saya ingat adalah: buku itu terbitan Gaya Favorit Press, beralamat di Jakarta. Berbekal alamat di sampul belakang buku serta kesukaan berkirim surat, dengan perasaan polos, saya mengirimkan selembar kartu pos berperangko Rp100,- kepada penerbit.

Baca juga:  Kisah Orang Gila dan Seorang Lelaki yang Tidak Menikah

Di sana saya tulis, bahwa saya adalah seorang pelajar di desa terpecil, kurang bahan bacaan, lengkap dengan alasan sedih ini-itunya; jujur dan tidak gombal. Paragraf kedua berisi permohonan. Paragraf ketiga, sudah barang tentu, ucapan terima kasih.

Selang beberapa minggu, bukan alang-kepalang saya gembira ketika melihat seorang petugas pos datang membawa amplop berwarna coklat. Saya buka; wow! Sebuah buku. Ya, itu buku yang tempo hari saya minta. Beruntung, dan kebetulan sekali, buku yang saya terima adalah buku fiksi kesukaan saya. Buku tersebut adalah buku kumpulan cerita pendek karya Darwis Khudori, Gadis dalam Lukisan.

Suatu hari, 21 tahun kemudian…

Siang itu, tepatnya pada 2006, Perpustakaan mendapatkan hibah buku bacaan dari salah satu direktorat jenderal di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (jika tidak salah dari “Pendidikan Menengah dan Umum”). Di antara buku hibah itu terdapat buku kumpulan cerpen berjudul Odah dan Cerita Lainnya karya Mohamad Diponegoro.

Saya membacanya, entah mengapa tiba-tiba ingatan saya terbawa pada buku kumpulan cerpen yang saya baca 21 tahun yang silam itu. Mendadak muncul keinginan untuk mencari tahu, di manakah si penulis buku Gadis dalam Lukisan itu kini berada.

Singkat cerita, saya mengirim pesan kepada Mas Mathori A Elwa. Dia membalas, “Aku gak tahu. Coba kau tanya Mustofa W. Hasyim, mungkin dia tahu.” SMS serupa akhirnya saya alihkan ke Mas Mustofa. Namun, dia juga hanya memberikan saran, “Coba kamu tanya si fulan di Yayasan Pondok Rakyat.”

Setelah saya menghubunginya, seseorang itu meminta maaf karena ternyata dia juga tidak tahu-menahu. Namun, si fulan ini juga memberikan anjuran yang sama, yakni agar saya menghubungi seseorang yang lain di sana. Nah, dari seseorang yang lain inilah, akhirnya, saya mendapatkan alamat kontak Bapak Darwis Khudori.

Baca juga:  Ngaji Tajul 'Arus: Jangan Menyerah Menjadi Baik sebagaimana Pemanah

Berdasarkan alamat emailnya, saya menduga, Pak Darwis Khudori tinggal di Prancis. Segera saya layangkan sebuah email kepadanya. Isi email tersebut antara lain berisi testimoni seorang pembaca kepada seorang penulis, tentang sebuah keinginan untuk mengenal lebih jauh sang sastrawan. Kurang dari sebulan, Pak Darwis membalas.

Bahagia rasanya mendapatkan balasan dari seseorang yang sejak bertahun-tahun silam saya kagumi karya-karyanya. Namun, yang lebih mengagetkan adalah sebuah pernyataan, bahwa kira-kira pada kisaran tahun 1978-an, saat saya masih berusia 3 tahun, beliau mengaku pernah tinggal di Annuqayah, di kampung saya itu, untuk beberapa waktu lamanya.

Setelah saya cari informasi dari beberapa orang yang saya yakini tahu perihal beliau, seseorang yang datang dari jauh dan tinggal di Annuqayah pada kisaran 1978 itu, mereka membenarkannya, meskipun mungkin mereka belum tahu kalau Darwis Khudori itu kini menjadi profesor di University of Le Havre.

Itulah kisah perjumpaan saya dengan sebuah buku (pertama) yang membangkitkan hasrat saya untuk menulis. Saya berusaha mengingat-ingat kembali kenangan itu sekarang, tentang sebuah keinginan yang kuat, tentu agar saya bersemangat lagi, kembali berapi-api.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top