Sedang Membaca
Memahami Pemikiran Al-Ghazali (10): Ilmu Pengetahuan Menurut Imam Al-Ghazal (Part 4)
Imam Nawawi
Penulis Kolom

Santri Baitul Kilmah, dan Mahasiswa S2 Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga.

Memahami Pemikiran Al-Ghazali (10): Ilmu Pengetahuan Menurut Imam Al-Ghazal (Part 4)

Alghazali 4

Keteledoran Isham Pawan Ahmad untuk membahas kitab al-Risalah al-Ladunniyah dalam disertasinya, membuat kesimpulannya tentang konsep revelation ala al-Ghazali melewatkan banyak hal. Misalnya, dalam Chapter Four:Al-Ghazali’s Theological Positions and Their Implications on Revelation, Isham Pawan Ahmad lebih melihat pemikiran Jabariah al-Ghazali (Isham Pawan Ahmad, 1998: 137-175).

Pemikiran al-Ghazali ditangkap oleh Isham P. Ahmad berupa gagasan tentang Kuasa Allah Yang Absolut, di mana semua pengetahuan dan tindakan manusia berada dalam garis takdir Tuhan. Dengan begitu, revelation sepenuhnya berangkat dari inisiatif Allah.

“Kecelakaan” intelektual ini dapat ditutupi dengan menghadirkan fashal terakhir kitab al-Risalah al-Ladunniyah, yang berjudul Fi Haqiqah al-‘Ilm al-Ladunni wa Asbab Hushulihi (al-Ghazali, al-Risalah al-Ladunniyah, 1328: 36-38). Hakikat Ilmu Ladunni dan Faktor-faktor Mendapatkannya. Judul ini saja sebenarnya sudah dapat menghapus kebingungan Isham Pawan Ahmad.

Ilmu Ladunni bagi al-Ghazali adalah Sarayanu Nuri al-Ilham yakunu ba’da al-Taswiyah. “Ilmu ladunni adalah mengalirnya cahaya ilham (inspirasi) setelah penyempurnaan (jiwa)”. Kemudian al-Ghazali mengutip firman Allah swt: “Demi jiwa dan penyempurnaannya,” (Qs. Asy-Syams: 7).

Ayat di atas ditafsir oleh al-Ghazali sebagai petunjuk tentang tiga tahapan agar jiwa manusia menjadi sempurna, bebas dari semua penyakitnya, dan sanggup untuk menerima revelation. Ilmu ladunni melalui ilham. Sekali lagi perlu diulang, ta’lim rabbani bagi al-Ghazali mengandung dua hal: wahyu dan ilham.

Baca juga:  Semerbak Aroma Sufi Syattariyah di Keraton Surakarta

Tahap pertama, tahshil jami’ al-‘ulum wa akhdzu al-hazhzhu al-awfar min aktsariha. Mempelajari seluruh jenis ilmu pengetahuan dan menguasai bagian terbanyak darinya. Seseorang yang ingin mendapatkan ilmu ladunni, ia diharuskan belajar terlebih dahulu dengan tekun dan sungguh-sungguh, sehingga penguasaannya sangat luas.

Tahap kedua, al-riyadhah al-shadiqah wa al-muraqabah al-shahihah. Melakukan riyadhah yang tulus dan mendekat pada Tuhan dengan cara yang benar. Artinya, seseorang harus betul-betul mengamalkan seluruh ilmu yang dipelajarinya, disertai perjuangan keras untuk menjalankannya.

Al-Ghazali kemudian mengutip sebuah hadits Nabi yang berbunyi: “barang siapa yang mengamalkan ilmunya maka Allah mewariskan ilmu padanya tentang apa yang belum ia ketahui,” (HR. Abu Nu’aim). Diajarkannya oleh Allah tentang sesuatu yang belum pernah diketahui adalah bagian dari ilham, dan ilmunya disebut ladunni.

Tahap ketiga, tafakkur. Al-Ghazali mengatakan, jiwa manusia yang apabila sudah belajar dan menjalankan riyadhah dengan mengamalkan semua ilmu pengetahuannya, kemudian ia bertafakkur atau menghayati, merenungi, semua hal yang telah diketahuinya, tentu dengan syarat-syarat tafakur yang tepat, maka jiwa itu akan masuk ke dalam alam gaib.

Yang menarik, al-Ghazali mengambil ilustrasi seperti orang yang memiliki modal, kemudian menggunakan modalnya itu dengan baik dan benar di dalam usaha perdagangan dan bisnis, maka sudah pasti itu akan mendapatkan laba atau untung. Keuntungan dalam berbisnis ini adalah ibarat tentang ilmu ladunni yang akan diperoleh seseorang setelah menjalani tafakkur.

Sebaliknya, apabila tafakkurnya salah maka jiwa itu akan terjatuh pada jurang kerugian. Sama seperti pedagang yang salah menjalankan modal usahanya, maka ia hanya mendapatkan kerugian. Tetapi, apabila berhasil, bagi al-Ghazali, jiwa manusia akan menjadi jiwa yang alim, sempurna (kamil), berpikir rasional (‘aqil), penuh inspirasi (mulham), dan mendapatkan pertolongan dari Allah (muayyad).

Baca juga:  Abu Saʻid al-Mihani, Sufi yang Tembok Rumahnya Penuh Lafaẓ Allah

Al-Ghazali memang tidak menjelaskan syarat-syarat tafakkur yang rinci dalam al-Risalah al-Ladunniyah ini. Tetapi, ia kemudian mengutip sebuah hadits Nabi tentang pentingnya tafakkur sebagai penutup kitabnya ini. Nabi saw bersabda: “bertafakkur satu jam lebih utama dari ibadah 60 tahun.” Dalam versi riwayat Abu al-Syeikh Al-Ashfihani, bunyi hadits ini : “berpikir satu jam lebih utama dari ibadah 60 tahun,” (HR. Al-Ashfihani, al-Uzhmah, jilid 1, h. 299).

Alhasil, ilmu ladunni melalui metode ilham, yang juga masuk dalam kategori ta’lim rabbani, mengindikasikan pentingnya usaha manusia, akal rasional, belajar dengan tekun dan benar. Sehingga perbincangan ilmu ladunni tidak lantas harus mengabaikan peran penting akal.

Sampai di sini, pandangan al-Ghazali menjadi konsisten dan komprehensif bahwa banyak ilmu syariat (‘ulum syar’iyah) itu bersifat rasional (‘aqliyah). Sebaliknya, banyak ilmu rasional itu (‘ulum ‘aqliyah) bersifat syar’i (syar’iyah). Tentu, yang paham hal ini, menurut al-Ghazali, adalah orang yang sudah alim dan arif. Wallahu a’lam bis shawab.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top