Sedang Membaca
Konsep Mahabah Perspektif Al-Ghazali
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Ilmu Quran dan Tafsir INSTIKA Guluk-Guluk.

Konsep Mahabah Perspektif Al-Ghazali

Book One Good Flowers Red Wallpaper Flower Full Screen

Secara umum, manusia memiliki dua sifat yang ada pada dirinya, yaitu sifat biologis yang sudah ia miliki sejak lahir dan sifat psikologis yang ia dapat dari suatu perubahan usia dan perkembangan akalnya. Dari dua sifat tersebut, muncullah (secara garis besar) dua keadaan yang ditimbulkan dari keadaan biologisnya yaitu berupa nafsu yang pada hakikatnya keadaan ini dimiliki oleh binatang.

Kemudian, dengan berkembangnya akal dan kondisi psikologis manusia, tumbuhlah keadaan berbeda yang dapat membedakan antara binatang dengan seorang manusia sejati yang memiliki akal dan perasaan. Dan hal ini bisa kita sebut dengan hayawan an nathiq, binatang yang berbicara atau bisa berpikir.

Dari ulasan di atas, muncullah banyak sifat yang timbul dari dalam diri manusia dan mengejewantah menjadi suatu perasaan yang bersifat ‘positif’ dan ‘negatif’. Dan salah satu perasaan yang dimiliki oleh manusia adalah cinta.

Ketika berbicara tentang cinta, pasti hal pertama yang muncul dari pikiran manusia adalah suka, rindu, bahagia dan lainnya. Namun, sebagian dari mereka belum memahami secara pasti apa yang dikatakan dengan cinta. Hanya saja mereka beranggapan bahwa yang dinamakan dengan cinta adalah hal unik yang semua manusia pasti memiliki perasaan tersebut tanpa ada nilai ‘lebih’ dari cinta itu. Bahkan, kian banyak dari mereka terjerat dalam lingkaran cinta yang membelenggu hati dan pikiran mereka sehingga belum paham dan tersesat dalam jurang keterpurukan nafsu.

Baca juga:  Umat Islam dan Vaksin

Kemudian, dalam suatu hal, bahwa cinta terimplementasi dalam sebuah kehidupan manusia yaitu berupa rida. Dan hal tersebut disebabkan oleh cinta yang mengejewantah serta memlebur pada dirinya. Namun sekali lagi, manusia hanya memaknai rida dengan hal yang sudah direlakan, disukai atau diterima tanpa mengetahui makna yang terkandung dalam rida tersebut. Dan hal ini akan berakibat buruk dalam sebuah kehidupan menuju akhirat.

Dalam mahabah, ada beberapa sarjana muslim dunia yang menjelaskan definisi mahabah secara berbeda dalam konteks tasawuf. Imam al-Ghazali mengemukakan definisi mahabah di dalam salah satu kitab terkenalnya, Ihya’ Ulumu Ad-diin, bahwa yang dikatakan dengan mahabah adalah klimaks dari beberapa makamaat dan puncak teringgi dari beberapa tingkatan menuju Tuhan.

Dan Imam al-Ghazali menerangkan bahwa mahabah adalah tingkatan pertama dan paling utama dalam hal refleksi menuju Tuhan, karena tingkatan tasawuf yang berada setelah mahabah merupakan buah atau cabang darinya, seperti syauq (rindu), uns (kasih sayang) dan rida. Imam al-Gazali juga mengemukakan bahwa tingkatan yang berada sebelum mahabah hanyalah mukaddimah sebelum masuk pada tingkatan mahabah.

Kemudian, definisi kedua dikemukakan oleh Imam Alawi al-Haddad dalam kitabnya, an-Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, bahwa mahabah adalah paling mulia dan paling tingginya tingkatan-tingkatan menuju Tuhan. Berlandaskan firman Allah:  ﴿…وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ…

Baca juga:  Matematika, Kemajemukan, Kebenaran Tunggal

Artinya: “…Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah…” dan

…فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ…

Artinya: “…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…”

Dari dua definisi yang telah dikemukakan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa mahabah memiliki peran penting dalam mendekatkan diri pada Tuhan dan memiliki kedudukan sentral dari tingkatan-tingkatan yang lainnya.

Dalam salah satu kitab monumentalnya, Ihya’ Ulumu Ad-Diin, Imam al-Ghazali memberikan suatu perumpamaan tentang hakikat mahabah. Menurutnya, untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu hakikat dari mahabah. Karena rasa cinta tidak dapat terbentuk tanpa ada pengetahuan terhadap sesuatu yang ia cintai. Dan manusia tidak mungkin merasakan cinta kecuali pada sesuatu yang ia kenal. Dan terbentuknya cinta tersebut terjadi pada sesuatu yang juga bernyawa, bukan benda mati.

Kemudian, Imam al-Ghazali mengelompokan perasaan menjadi tiga bagian. Pertama, bahwa perasaan adalah hal yang sesuai dan menenangkan keadaan seseorang.

Kedua, hal yang dapat menghilangkan, memisah dan bahkan bisa menyakiti perasaannya. Ketiga, adalah hal yang mengakibatkan perasaan berada pada rasa sakit atau pedih dan nayaman. Ya, bisa dikatakan perasaan yag satu ini berada di antara dua tempat.

Baca juga:  Fenomena Suhita: Kebangkitan Sastra Pesantren?

Dari beberapa penjelasan singkat di atas, al-Ghazali memberikan beberapa kategori dasar bagi mereka yang ingin mengentaskan jalan sufi dengan cara mudah. Cara yang semua orang bisa lalui dalam kehidupan kesehariannya. Yaitu cinta!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top