Husnul Athiya
Penulis Kolom

Husnul Athiya adalah alumni UIN Antasari Banjarmasin. Kini sedang mendalami Kajian Media dan Pop Islam

Memilih Nama Bayi dan Negosiasi Takdir

Nama itu penting dan fundamental. Ia merupakan identitas yang akan terus melekat sampai si pemilik berhenti bernapas. Bahkan ada kata-kata indah untuk menyemangati orang yang hidup, agar selama hidup berbuat baik, sehingga namanya tetap dikenang: “harimau mati meninggalkan belang”, “gajah mati meninggalkan gading”, “manusia mati meninggalkan…?”

“Nama”. Ya, meninggalkan “nama”. Jika di dunia tidak berbuat kebaikan yang berarti, nama seseorang akan lebih cepat lenyap ketimbang tubuhnya yang dikubur di tanah belakang masjid atau di ujung kampung yang sepi.

Jika manusia diibaratkan barang, nama merupakan label yang sejatinya merepresentasikan objek yang dilabelinya. Karena perannya yang penting, kebanyakan orang tua rela menghabiskan energi untuk mencarikan nama yang terbaik untuk anak mereka yang akan atau sudah lahir.

Beberapa tahun yang silam, sebelum internet dan google mulai mengakrabkan diri dengan masyarakat, para orang tua tak jarang meminta bantuan tokoh agama untuk memberikan rekomendasi nama bagi anak mereka.

Baca juga:

Saya jadi teringat semasa kecil, almarhum abah yang kebetulan dianggap sebagai tokoh agama di kampung tempat kami tinggal, sering diminta melakukan hal ini. Saya akan menjadi orang pertama yang mengetahui nama tersebut setelah beliau selesai merangkaikannya.

Metodenya tak main-main. Referensi kata diambil dari kitab, termasuk Alquran. Usai merangkai, abah akan melakukan salat Istikharah untuk mengeleminasi kandidat nama yang akan direkomendasikan pada si empunya anak. Biasanya, abah memberikan dua nama, agar orang tua yang bersangkutan bisa memilih.

Rangkaian nama yang Abah formulasikan cenderung berbahasa arab. Tak jarang, dia mencoba menautkan makna nama tersebut dengan sejarah terlahirnya si anak, entah terkait dengan kondisi dunia saat ia lahir atau alasan personal orang tuanya. Seperti kasus pemberian nama untuk anaknya, yakni saya sendiri, abah menyematkan alasan personal yang menjadi kisah sejarah mengapa saya lahir ke dunia.

Baca juga:  Sajian Khusus: Tradisi Natal dan Catatan Toleransi Umat Beragama

Saya dinamai “Husnul Athiya”. Kedua kata tersebut dari bahasa Arab. Abah (H. Jamhari Arsyad, W 6 Januari 2003) mengatakan bahwa arti dari nama saya adalah “Pemberian yang Terbaik”. Hal ini dilatarbelakangi alasan kedua orang tua saya yang sudah lama menginginkan anak perempuan setelah empat anak laki-laki tampan hadir menghiasi hidup mereka.

Kemudian, setelah doa yang tak putus-putus, akhirnya Tuhan menghadirkan seorang bayi perempuan kepada mereka. Itulah mengapa saya dianggap “Pemberian yang Terbaik”. Lewat nama yang diberikan, abah menyimpan kisah sejarah tentang hidup saya.

Kini, metode pemberian nama tidak lagi hanya bertumpu pada tokoh agama atau meniru orang terpandang (tafa’ulan). Para orang tua modern cenderung lebih percaya diri dalam merangkai nama untuk anaknya sendiri.

Mereka mencari referensi lain yang tersedia di buku maupun internet. Tetangga saya punya seorang anak laki-laki yang diberi nama “Akhlakku Langkar Rahman” (Langkar dalam bahasa Banjar artinya “bagus”). Lalu anaknya yang kedua diberi nama “Kumandang Adzan Rahman” (karena lahir ketika azan berkumandang). Teman ponakan saya diberi nama “Nyala Asa”. Adapula keluarga saya yang baru melahirkan, dan memberi nama anaknya Jordan Ferdinand.

Belakangan, di media sosial muncul orang-orang dengan nama yang tidak lazim, seperti Tuhan dan Setan. Ya, inspirasi memang bisa datang dari mana saja.

Sejauh yang saya lihat, ada semacam trend dalam memberikan nama. Ada trend kearab-araban. Lalu, ada trend kebanjar-banjaran (merujuk pada Banjarmasin, Kalsel), kepersia-persiaan (Iran dan sekitarnya) , keartis-artisan (bintang televisi), kesanksekerta-sanksekertaan (kuno), kesastra-sastraan (puitis), kealam-alaman (sederhana tapi tampak keren “Indonesia”), dan kebarat-baratan (modern).

Baca juga:  Kekuatan Nama-nama Islam

Agak sedikit berbeda dengan nama sebelumnya, nama era kiwari ini cenderung terdiri dari tiga, bahkan empat kata. Seakan tak peduli dengan kesukaran si anak melingkari namanya saat ujian nasional kelak, orang tua tetap berdiri teguh pada hasratnya untuk menisbahkan nama kece tersebut, tak peduli seberapa sulit ia dilafalkan dan diingat. Arkian, para nenek dan kakeknya sering keliru dalam memanggil cucu mereka.

Meskipun begitu, nama “kearab-araban” saya rasa masih menempati posisi teratas untuk bayi-bayi yang dilahirkan pasangan muslim. Jika laki-laki, mereka cenderung menyisipkan atau memulai nama anak mereka dengan “Muhammad”, dan jika perempuan, mereka mulai dengan kata “Siti” atau “Noor” dan nama-nama tokoh perempuan muslim lainnya.

Entah sudah berapa ratus “Siti” yang saya kenal di dunia ini. Salah satu dari mereka mengaku tidak percaya diri dan memprotes pada orang tuanya, lalu dengan ringan orang tuanya menjawab:

“Jangan salah, konon manusia yang bernama “Siti” nanti akan di panggil duluan ke surga. Seharusnya kamu bersyukur kan?”

Mendengar itu, teman saya langsung bungkam bicara. Kini, ia bahagia menyandang nama “Siti” seumur hidupnya.

Pemberian nama merupakan salah satu bentuk kecil dari praktek berbahasa yang dipandang sebagai identitas. Seakan tak ingin kehilangan identitas sebagai generasi muslim milenial era kiwari, para orangtua modern dengan cemerlang menyatukan nama dari berbagai bahasa dan menyandingkannya dengan bahasa Arab sebagai identitas kemuslimannya. Muncullah nama seperti Muhammad Alexander, Ayaskara Ahmad, Syamilan Abhirama, dan kawan-kawannya. Hal ini juga menjadi strategi jitu untuk meredam protes dari kakek-neneknya yang cenderung masih memegang prinsip arabian is the best choice ever.

Saya mengenal beberapa orang tua yang tiba-tiba memutuskan untuk mengganti nama anaknya yang sudah diresmikan dalam tasmiyah. Alasannya beragam, ada yang sering sakit, terlalu nakal, terlalu keras kepala, kurang pandai, dan juga sering membangkang. Hal ini dipandang sebagai ikhtiyar untuk memperbaiki pribadi dan nasib si anak. Belum lagi kasus perhitungan nama dalam pernikahan yang dianut beberapa budaya di Indonesia. Ada beberapa pasangan yang terpaksa harus diganti atau ditambah namanya karena ketika dihitung hasilnya tidak baik. Jadi jangan heran jika mendengar kalimat “Aksara namanya terlalu tinggi”. Sebagian ada yang berhasil, sebagian tidak.

Baca juga:  Tuan Guru Lombok; Figur Agamis dan Sosialis

Albinus (2016:85) dalam Religion as a Philosophical Matter Concerns about Truth, Name, and Habitation menyatakan bahwa nama tidak hanya sekadar panggilan yang merujuk kepada seseorang. Lebih dari itu, nama juga diasosiasikan dengan nilai-nilai yang lain, seperti makna simbolik, yang dalam hal ini merupakan fungsi kata dalam mitologi. Dengan demikian, sebagian masyarakat masih memandang nama sebagai sesuatu yang sakral.

Ia diyakini dapat secara magis memberi pengaruh (baik positif maupun negatif) terhadap yang dinamainya. Mengganti dan mengotak-atik nama merupakan upaya untuk bernegosiasi dengan ‘takdir’ yang akan diterima dalam hidup.

Akhirnya, nama bukan hanya sekedar doa dari yang memberinya. Ia menjadi identitas yang merepresentasikan pemiliknya. Ia menampung sejarah yang melatarbelakangi kelahiran pemiliknya. Ia juga memuat keyakinan akan hal magis yang mampu memengaruhi kehidupan pemiliknya. Namun, jangan lupa. seberapa keras negosiasi yang dilakukan dengan takdir, Tuhan tetaplah pemegang andil.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top