Avatar
Penulis Kolom

Penulis adalah Pengajar di UIN Raden Intan Lampung.

Menyoal Pandemi dan Ketakutan Masal Covid-19

1 A Jenasah Korona

Dampak dari pandemi corona bukan hanya mengubah tataran sosial, politik dan ekonomi suatu Negara, tetapi juga aspek psikologis warga negara. Pasalnya, COVID-19 telah mempengaruhi mental (psikis) masyarakat Indonesia secara global, ditandai dengan kecemasan, kekhawatiran hingga ketakutan.

Beberapa hari yang lalu, penulis sedang rebahan di salah satu warung di kota Bandar Lampung. Ada beberapa warga (ibu-ibu) sedang membicarakan corona dengan nada yang amat serius, sontak saya pun tak tinggal diam dan bertanya, “emang kenapa dengan corona ini buk?”seorang ibu menjawab, “itu loh mas virus yang lagi menyebar dimana-mana, tadi berita di tv udah banyak korban yang terinfeksi”. Ungkapnya.

Lantas saya lanjut bertanya, “terus masalahnya apa buk?”, seorang ibu yang lain menjawab, “yaa kita khawatir lah mas, kemarin juga ada berita di rumah sakit Abdul Muluk katanya ada yang terjangkit virus ini, kan kita takut jadinya”. Ujarnya.

Memang sebelumnya, diwartakan ada warga Lampung yang terinfeksi corona, dan pasien telah diisolasi di rumah sakit Abdul Muluk, kota Bandar Lampung. Hingga Kepala Dinas Kesehatan provinsi Lampung mengimbau agar warga tak usah panik, karena panik dapat menurunkan daya tahan tubuh .

Perbincangan yang singkat, namun memunculkan pertanyaan terhadap psikologis masyarakat yang semakin hari semakin parah. Khususnya kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan warga pada virus yang menyebar cepat hanya dalam hitungan hari. Diketahui tertanggal 28/03/2020 jumlah kasus positif corona mencapai 1.155 orang kasus. Sementara korban meninggal dunia 102 orang, pasien sembuh 59 orang (baca : m.cnnindonesia.com).

Baca juga:  Pemetik Puisi (1): Sajadah dan Tanah

Jika kita flashback, sebelum corona ditetapkan sebagai pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), masyarakat Indonesia merasa biasa dan aman-aman saja, seolah-olah tidak punya masalah. Namun setelah diketahui virus ini telah menembus ibukota, warga mulai panik dan khawatir. Bahkan ketika masyarakat itu tahu bahwa di tempat (kota) ia berdiri telah ada warga yang positif COVID-19.

Ditambah lagi dengan imbauan oleh pemerintah pusat, provinsi hingga daerah, mengumumkan kesiagaan terhadap kondisi ini. Seperti diketahui imbauan dari BNPB perpanjangan status darurat bencana akibat corona hingga 29 Mei 2020.

Surat edaran itu tentu bukan maksud membuat kepanikan di tengah-tengah masyarakat pasca pandemi. Namun lebih menekankan pada usaha preventif untuk mencegah dan menghindari penyebaran corona di seluruh wilayah Indonesia. Tapi faktanya, masyarakat berbondong-bondong membeli kebutuhan pokok di supermarket. Hal ini menunjukkan kekhawatiran masyarakat tidak bisa dielakkan lagi.

Keadaan ini memunculkan pertanyaan, semakin dekat dengan corona, seolah-olah besok akan kiamat! Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa rasa takut itu muncul? Bagaimana ia bisa menghantui manusia? Pertanyaan ini membawa diskusi panjang, setidaknya tulisan singkat ini menjawab pertanyaan itu.

Reza Wattimena mendefinisikan rasa takut adalah perasaan tegang di dalam pikiran, karena kemungkinan manusia akan kehilangan sesuatu, baik itu harta, reputasi atau hidup. Dan biasanya rasa takut itu muncul karena perasaan terancam. Ada yang mengancam harta kita, reputasi kita ataupun hidup kita (baca : Tentang Manusia).

Jika dilihat dari sudut filosofis, dengan meminjam epistem nya Plato bahwa rasa takut itu muncul karena pikiran manusia yang memunculkan rasa takut, manusia menjadi penyebab kemunculan rasa takut itu. Namun, jika memakai logika Aristoteles terlihat berbeda, ia berpendapat keadaan itulah yang menjadi sebab munculnya rasa takut.

Baca juga:  Sadar Kematian Bisa Datang Kapan Saja

Dalam analisa sederhana, COVID-19 telah menjadi sebab kemunculan rasa takut dan kekhawatiran masyarakat jika memakai pandangan Aristoteles, bukanlah pikiran atau “ide” seperti pandangan Plato. Namun Imanuel Kan tjuga tak tinggal diam dalam persoalan ini, antara subjek dan objek tidak bisa dipisahkan. “Manusia” dan “COVID-19” telah melahirkan suatu pengetahuan, yakni ketakutan (baca : Filsafat Ilmu).

Kita semua mungkin sudah sepakat bahwa manusia tidak bisa lepas dari rasa takut. Rasa takut akan kesuksesan, rasa takut akan kegagalan, rasa takut akan kematian (usia), rasa takut akan masa depan keluarga dan lain sebagainya. Kita tidak bisa menafikan bahwa manusia seringkali diselimuti oleh rasa takut.

Namun menurut Reza, ketakutan terbesar manusia adalah kematian. Rasa takut berpisah dengan keluarga yang dicintai, atau takut orang yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu. Sehingga dengan keadaan rasa takut itu mengacaukan pikiran dan tindakan manusia.

Kita tahu, WHO telah menetapkan corona sebagai pandemi, dengan alasan virus ini telah menyebar cepat hingga ke wilayah yang jauh dari pusat wabah. Tidak mengenal siapa yang menjadi sasarannya, tanpa memandang usia, profesi, jabatan, jenis kelamin, agama, dan lain sebagainya, hanya dalam hitungan perminggu telah merenggut nyawa ribuan orang di dunia.

Baca juga:  Buka Bersama: Ketika 90% Hadirinnya Tidak Berpuasa

Masih pendapat Reza, ketakutan adalah antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan terjadi. Menurutnya, sumber dari rasa takut adalah pikiran manusia. Manusia membangun bayangan atas apa yang akan terjadi pada dirinya. Rasa takut adalah bayangan dan belum terjadi. Di sini terlihat jelas bahwa Reza menggunakan logika Plato dalam menjawab soal rasa takut.

Namun, dalam pandangan Sigmund Freud bahwa ketakutan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya yang dimaksudkan Freud adalah sikap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya. Dalam konteks ini, COVID-19 sedang mengancam jiwa masyarakat Indonesia. Bila COVID-19 telah hilang, manusia akan kembali normal tanpa perasaan khawatir, cemas, dan takut.

Dalam hemat penulis, rasa takut adalah hal yang wajar bagi setiap individu, apalagi dengan kondisi ini. Namun ketakutan yang berlebihan juga tidak baik, tidak ada yang perlu dicemaskan, semuanya adalah apa adanya. Ikhtiar dan doa tetap dijalani, usaha maksimal tetap dilaksanakan secara disiplin sesuai saran-saran dari pemerintah.

Sebagai penutup, mengutip dari laman facebook presiden Joko Widodo,“Kalau “jaga jarak” ini bisa kita lakukan dengan disiplin, saya yakin bahwa kita akan bisa mencegah penyebaran COVID-19 ini”. Tentu kedisiplinan jaga jarak bukanlah satu-satunya, tetapi juga kedisiplinan isolasi diri, kedisiplinan kebersihan, kedisiplinan pemakaian masker hingga kedisiplinan mematuhi aturan-aturan pemerintah dalam segala bentuk untuk pencegahan COVID-19.

Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top