Sedang Membaca
Fenomena Pelecehan Seksual di Pesantren
Mashur Imam
Penulis Kolom

Penanggung Jawab Komunitas Kajian-Penelitian Dar Al-Falasifah, Pengurus LAKPESDAM PCNU Jember dan Alumnus Pascasarjana UIN KHAS Jember.

Fenomena Pelecehan Seksual di Pesantren

Fenomena Pelecehan Seksual di Pesantren

Tulisan ini ingin memotret fenomena sejumlah kasus pelecehan seksual yang terjadi di pesantren secara holistik. Diskriminasi atau pelecehan seksual perlu diposisikan sebagai satu peristiwa yang tak dapat dipisahkan dari perubahan sosial umum masyarakat. Pencabulan, pemerkosaan dan lain sebagainya, terus terjadi dengan ragam variannya. Artinya, sebagai gejala sosial, tindakan najis tersebut berpotensi terjadi dimanapun dan kapanpun. Bukan hanya pesantren, yang dapat disebut rawan diskriminasi.

Di lembaga sekelas penjara kepolisian pun, sering dilaporkan terjadi tindakan tercela yang demikian. Namun bukan berarti, tulisan ini ingin membela sebelah mata tindakan diskriminasi seksual di pesantren. Hanya saja, sebagai masyarakat dengan bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur, tidak boleh buta dalam melihat secara objektif fenomena yang terjadi.

Akhir-akhir ini marak terjadi kasus pelecehan seksual di pondok pesantren. Tidak tanggung- tanggung, mulai dari desember tahun kemarin, 2021, hingga saat ini, korbannya telah mencapai puluhan orang. Bahkan dari data yang diungkap Siti Aminah Tardi, Komnas Perempuan, pada tahun 2021 angka pelecehan seksual di pesantren menempati posisi terbanyak kedua pasca Universitas. Data yang dikemukakan, tentu mencoreng pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan dengan orientasi pembentukan moral terbaik ini.

“Penjara Suci” Terancam Najis

“Penjara suci”, begitulah pesantren akrab dijuluki. Julukan ini sebenarnya disematkan karena pesantren dianggap lembaga pendidikan yang bukan hanya bertujuan meningkatkan pengetahuan peserta didiknya, namun juga berusaha menyucikan rohani atau jiwanya. Sebutan mulia demikian yang akhir-akhir ini terancam. Beberapa kabar buruk mencemarkan kesuciannya. Sejumlah pengajar, hingga pengasuh pesantren melakukan pelecehan seksual pada santri-santrinya. Mulai dari pemberitaan Herry Wirawan, sang pemerkosa belasan santri, kasus Gus Bechi, dan sang predator eks politisi sekaligus pengasuh pesantren di Banyuwangi, sangat meresahkan bagi pencinta budaya pesantren.

Baca juga:  Menghampiri Kematian (2): Pengalaman Mati Suri Seorang Muslim dan Ahli Syaraf Harvard

Seluruh orang yang pernah nyantri, apalagi menjadi pengelola pesantren, sangat terganggu pada pemberitaan ini. Bagaimana tidak, pesantren dari sejak kolonial hingga pasca reformasi, diyakini sebagai tempat orang-orang hebat. Tidak dapat dibantah, pesantren yang paling berjasa dalam membentuk tokoh-tokoh penting bangsa ini. Mulai dari pejuang kemerdekaan hingga negarawan luhur, banyak yang berasal dari pesantren. Soekarno, Gus Dur, hingga KH. Ma’ruf Amin dan sejumlah menteri pada setiap rezim selalu ada yang berasal dari lulusan pendidikan pesantren.

Historis prestasi ini, seolah tak akan berarti apa-apa, diterjang oleh fakta-fakta fenomena diskriminatif yang terjadi. “Penjara suci” nampak telah tidak selayaknya disematkan. Kabar yang beredar menciptakan asumsi pesantren tak lagi suci, namun telah menjadi ruang belajar yang dinajisi pelaku-pelaku diskriminasi. Pesantren berganti menjadi penjara paling rawan dan menyeramkan bagi perempuan dan anak. Persis sebagaimana peribahasa yang menyebutkan, “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.

Nilai Agama dalam Kontestasi Budaya Global

Nampaknya tidak objektif, jika sedikit fenomena diskriminasi seksual perempuan yang terjadi, dijadikan dasar menyebut pesantren secara keseluruhan, rawan diskriminasi. Tentu, sebaiknya secara cermat lebih dahulu memahami faktor-faktor umum yang dapat melahirkan diskriminasi terjadi.

Diskriminasi sebagai tindakan sosial sebenarnya tidak ada hubungannya dengan lingkungan dan spasial geografis komunal masyarakat. Hal yang banyak mempengaruhi adalah tingkat kesadaran luhur dan semangat pemenuhan kebutuhan naluriah manusia. Kesadaran nilai tentu banyak sumbernya, ada yang menganggap bersumber dari ajaran atau nilai luhur (seperti ajaran agama) dan ada yang menyebutnya berdasar konsensus terbaik interaksi sosial masyarakat. Sedangkan sebaliknya, semangat pemenuhan kebutuhan lahiriah manusia adalah hasrat yang jika tidak dibatasi melahirkan tindakan layaknya hewan. Pambatas yang dimaksud, tentu adalah ajaran agama yang dapat membedakan manusia dari binatang. Jadi kesadaran luhur akan beroposisi dengan kebebasan pemenuhan kebutuhan manusia.

Baca juga:  Filsafat Indonesia dan Ujian Keimanan Kita

Jika ditelisik dari kacamata strukturasi budaya, Gidden menyatakan bahwa kesadaran nilai luhur sering berperan sebagai constraining tindakan manusia. Dengan demikian, potensi diskriminasi akan selalu berlawanan tingkat dengan kuatnya kesadaran nilai. Sisi ini yang berhubungan dengan arus globalisasi. Arus globalisasi yang semakin lama semakin kuat–diakui atau pun tidak–telah mempengaruhi pola kehidupan masyarakat secara umum. Sendi-sendi kehidupan masyarakat mengalami tekanan. Era yang menurut Friedman adalah mengikuti dan menggantikan era perang dingin (cold war) ini, menimbulkan penetrasi paling kuat pada aspek nilai-nilai sosial masyarakat. Globalisisai yang memperluas batas sosial masyarakat, menimbulkan efek terjadinya perang nilai (war of value) dalam kebudayaan. Secara signifikan, membuat kondisi “gamang” pada masyarakat terkait nilai yang akan mereka pertahankan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan menguatkan nilai, sebenarnya merupakan agen perlawanan pada dampak negatif yang disebabkan oleh arus globalisasi. Sedangkan globalisasi, tidak hanya menghilangkan sekat geografis, namun juga menghilangkan sekat komunal sosial budaya. Komunal budaya pesantren pun terancam arus ini. Nilai-nilai budaya luhur agamanya mulai mengalami kerapuhan. Pengasuh, pengelola dan para ustadz-ustadz mengalami kegamangan kesadaran nilai luhur. Ajaran agama yang dipahami melemah. Media sosial dan rusaknya simbolisasi identitas agama paling banyak mempengaruhi.

Sebagaimana dipahami beberapa tahun terakhir ini, agama dan ajarannya hadir ke publik hanya sebagai instrumen konflik sosial. Peran ajarannya mengalami transformasi yang besar. Dari yang semestinya dipakai sebagai penyucian jiwa berubah menjadi aset dagangan dan dagelan saling berdrama untuk merebut simpatik masa. Akibatnya, sejumlah tokoh agama tak bisa melepaskan dari realitas ini. Pemahaman agama yang dimiliki, akhirnya tidak lagi menjadi alat refleksi tindakan dirinya dan lebih-lebih bagi orang lain. Hanya menjadi wacana yang dimunculkan untuk meraup dan mendapat keuntungan guna kebutuhan naluriahnya. Kondisi ini yang juga terjadi di beberapa tokoh agama pesantren.

Baca juga:  Alif.Id, Jurnalisme Budaya, dan Keislaman Kaum Santri (2): Ilmu, Energi, dan Waktu

Apakah sedarurat ini kondisi pelecehan seksual di negeri ini dengan melihat fenomena yang belakangan ini marak terjadi, khususnya di pesantren?

Bersambung..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top