Sedang Membaca
Keakraban Manusia Indonesia dengan Tanaman
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Keakraban Manusia Indonesia dengan Tanaman

Img 20210730 Wa0006

Hampir dua tahun bangsa Indonesia terkoyak oleh wabah mematikan. Virus Covid-19 dengan varian baru coba dibendung dengan tanaman herbal yang diwariskan oleh leluhur. Buahnya, kita kembali mengakrabi empon-empon setelah lama tidak digubris. Realitas ini menyadarkan kita untuk tidak berjarak dengan dunia flora Nusantara yang sesak faedah.

Saya teringat dengan catatan pidato kenegaraan Presiden Soekarno Tahun Berdikari/Takari periode 1965. Putra Sang Fajar itu mencomot ungkapan Jawa: suta naya, dhadhap waru.

Bung Karno, singa podium yang diasuh dalam kebudayaan Jawa itu, tentu memahami betul makna unen-unen yang akrab di jagat wong cilik tersebut.

Entah siapa yang menciptakannya, namun ungkapan ini lumayan populer di lingkungan masyarakat Jawa tempo dulu. Peribahasa suta naya, dhadhap waru melukiskan nasib rakyat sejatinya bukan ditentukan kodrat Tuhan, melainkan oleh manusia (pemimpin).

Celakanya, dalam ungkapan ini, masyarakat terkesan menerimanya dengan lapang dada, tanpa mau membongkar praktik busuk kekuasaan.
Tempo dulu, manusia Indonesia berkarib dengan tumbuhan.

Relasi hangat tersebut laksana gigi dan gusi, sampai melahirkan ratusan ungkapan, salah satunya suta naya, dhadhap waru. Bila dianalisa dari dimensi kebahasaan, nama suta naya tidak mencerminkan adanya relasi tertentu dengan agama, kepercayaan, maupun strata kebangsawanan.

Nama suta naya merebak di mana-mana, dalam arti dipakai oleh khalayak ramai dan tidak momot arti makna kebahasaan yang istimewa dan berbobot.

Dalam kamus Jawa, suta mengandung arti: anak, sais/kusir. Sedangkan naya memuat arti: tingkah laku, kelakuan, sikap, ulah, atau kebijaksanaan.

Baca juga:  Lawan Kluster Pilkada!

Maka jika diandaikan sebagai kualitas barang dalam perdagangan, nama suta naya nyaris hanya nama pasaran. Bukan nama kalangan yang memiliki drajat (derajat), pangkat (kedudukan), dan semat (harta) cukup tinggi dan terhormat dalam lingkungan sosial di Jawa seperti kanjeng gusti atau raden mas.

Berarti, nama suta naya kebanyakan dipakai oleh laki-laki dari kelas bawah, menjadi ciri rakyat kecil, kawula alit, atau kaum pindak pedarakan.

Sama dengan suta naya, pohon dhadhap/dadap (Erythrina lithosperma) dan waru (Hibiscus tiliaceus) juga merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di telatah Jawa, baik dibudidayakan atau tidak.

Keberadaan dadap dan waru kadung akrab dan menyatu dengan masyarakat perdesaan di masa lalu, kendati derajat dan posisi kulturalnya jauh berbeda dengan pohon beringin, bunga wijayakusama, dan buah maja yang menjadi primadona dan dimuliakan dalam tradisi kerajaan di Jawa.

Dadap terbilang tenar lantaran daunnya dipercaya bisa dipakai pupuk/tapal untuk menyembuhkan sakit panas pada bayi dan anak-anak. Di samping itu, dijadikan pula sebagai makanan ternak serta pupuk hijau. Ia dibiarkan tumbuh begitu saja bersama pepohonan lain di tegal atawa tanah kering.

Kayu dadap jarang dipakai sebagai bahan bangunan karena lunak dan mudah gapuk gara-gara dilalap rayap maupun bubuk.

Era 1960-70an, penduduk Boyolali yang dijepit gunung Merapi dan Merbabu sempat memanfaatkan kayu dadap untuk papan rumah (Imam Budhi Santosa, 2017).

Baca juga:  Jejak Keturunan Rasulullah di Bumi Nusantara

Agak berbeda dengan dadap, biasanya pohon waru sengaja dibudidayakan di area tegalan. Tapi, banyak pula yang ditanam di bibir jalan sebagai pohon perindang. Zaman dulu, daunnya acap dimanfaatkan untuk pembungkus tempe.

Kayu waru dinilai kuat dan bagus untuk bahan bangunan dan peralatan rumah tangga. Dalam perdagangan, kayu waru termasuk kelas kayu tahun (memiliki keawetan dalam hitungan tahun).

Penduduk Indonesia klasik emoh meremehkan tumbuhan. Kenyataan ini dibuktikan dengan kondisi halaman rumah, tegal sawah, kuburan, sungai, perbukitan, jalan, dan pasar yang selalu ditemukan tumbuhan.

Contoh gamblang di jalanan dan pasar desa acap ditanami pohon perindang seperti trembesi, turi, lamtoro, dan johar. Bahkan, di kuburan pun gampang dijumpai pohon beringin, kamboja, puring, dan kemuning.

Sementara itu, di wilayah tanah kering lazim ditanduri pohon yang kayunya bisa dipakai untuk bangunan maupun perkakas. Semisal, jati, sono, sengon, waru, mindi, randu, dan lainnya.

Di samping kayunya punya faedah, buah yang dihasilkan juga digunakan, antara lain kopi, salak, kepundung, pete, dan kelapa. Menarik, di sela-sela pohon yang baris berjejer, manusia menanami pala kependem atau pala kebrungkah (uwi, tales, ganyong, garut).

Sedangkan pada tanah sawah, baik yang memperoleh pengairan cukup maupun tadah hujan, umunya ditanami tanaman pangan dan palawija seperti padi, jagung, ketela, kacang, atau buah dan sayuran. Di musim kemarau ditanami semangka, waluh, gambas, kubis, kentang, dan sebagainya.

Tidak mandeg untuk kebutuhan ekonomi dan perut manusia saja, flora berfaedah juga dalam pengobatan. Sebut saja empon-empon (temu lawak, temu giring, jahe, kunir, kencur) yang bisa menangkal virus korona banyak ditanam di setiap pekarangan.

Baca juga:  Malam Terakhir Khalifah Utsman bin Affan

Lalu, tatkala menderita sakit gigi, petani cukup menggunakan getah pohon kamboja. Wong Jawa yang pringisan akibat luka tersayat pisau segera diolesi getah pir-balsem.

Kemudian, kalau sengsara karena sakit perut, disarankan makan pucuk daun jambu biji. Apabila ditimpa sakit batuk, dianjurkan minum rendaman sirih.

Keintiman manusia bersama tumbuhan mewujud pula dalam ungkapan sarat petuah hidup yang disebarkan secara lisan karena budaya tulis baca belum sampai pada mereka. Misalnya, gajah alingan suket teki (gajah sembunyi di balik rumput teki).

Sepotong kalimat ini memuat makna bahwa orang melakoni perbuatan pura-pura akan kena batunya. Apa yang diucapkan tidak sama dengan hati nuraninya, dan akhirnya ketahuan jua sebab yang disembunyikan lebih besar dan telah diketahui orang banyak.

Di balik kepanikan akibat amukan Covid-19, mata batin kita disadarkan untuk getol menggali pengetahuan tentang tumbuhan di sekeliling kita.

Terutama untuk mengenal, memahami, dan menghargai nilai-nilai yang dianut dan diekspresikan sebagai manusia yang lahir dan tumbuh besar dalam kehidupan budaya agraris maupun maritim.

Bila hal-hal mendasar di sekitar kita diabaikan begitu saja, bisa dipastikan kita kehilangan akar historis (kepedotan oyot). Tidak perlu menunggu pagebluk korona menghebat untuk peduli pada empon-empon.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top