Sedang Membaca
Menuju Masyarakat Pasca Pandemi dengan Gotong Royong: Refleksi Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75
Adrian Perkasa
Penulis Kolom

Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan PhD candidate di Universiteit Leiden.

Menuju Masyarakat Pasca Pandemi dengan Gotong Royong: Refleksi Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75

Img 20200817 Wa0002

Tahun ini bangsa Indonesia memperingat hari kemerdekaannya yang ke-75. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan tahun ini diliputi suasana keprihatinan mengingat pandemik Covid-19 yang masih melanda.

Seperti halnya bangsa lain di dunia, Indonesia masih berjuang dalam menghadapi terjangan badai wabah tersebut. Belum lagi ancaman terpaan badai lain yang telah menimpa beberapa negara lain seperti misalnya resesi di bidang ekonomi.

Namun di balik semua itu, kita harus tetap optimis bahwa bangsa kita akan bisa melampauinya. Momen peringatan hari kemerdekaan yang ke-75 ini harus menjadi momen  seluruh elemen bangsa untuk mengambil intisari dari Pancasila yakni gotong royong sebagai modal bersama untuk melewati pandemi maupun krisis yang muncul dewasa ini.

Dalam pidato Sukarno, yang kemudian ditahbiskan sebagai pidato kelahiran Pancasila, disebutkan satu konsep penting yakni gotong royong. Setelah menyampaikan secara panjang lebar tentang gagasannya terkait lima dasar negara Indonesia yang akan terbentuk, Sukarno menjelaskan bahwa kelima dasar atau azaz tersebut bisa diperas menjadi tiga azaz hingga menjadi satu dasar saja, gotong royong.

Menurut Sukarno, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjoangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” 

Dalam perspektif akademis, telah banyak studi yang dilakukan baik oleh sarjana Indonesia maupun yang bukan Indonesia terkait tradisi gotong royong. Setidaknya pandangan para sarjana tersebut terbagi dalam spektrum antara mereka yang meyakini bahwa memang gotong royong ini memang memiliki akar yang jauh dan menubuh dalam jiwa bangsa Indonesia hingga mereka yang percaya bahwa konsep gotong royong hanya merupakan konstruk para pemuka bangsa Indonesia seperti Sukarno yang kemudian dikooptasi oleh rejim Orde Baru.

Terlepas dari silang pendapat para akademis tersebut, menurut saya momen peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini merupakan waktu yang paling baik untuk meradikalkan gotong royong. Meradikalkan dalam hal ini saya meminjam pemikiran Ernesto Laclau (2000), dengan menjadikan gotong royong sebagai suatu bahasa bersama yang bisa menjadi tautan sepadan (equivalent link) bagi segala varian gerakan sosial di masyarakat. 

Hanya saja melihat fenomena yang terjadi belakangan ini khususnya di Surabaya, tradisi gotong royong tampaknya sudah mulai pudar. Setidaknya semakin hilangnya gotong royong justru diperlihatkan para pemimpin daerah yang ada di tempat asal saya tersebut. Seperti yang banyak diberitakan media baik dalam maupun luar negeri, Surabaya maupun Jawa Timur menjadi salah satu daerah dengan kasus Covid-19 terbesar di Indonesia. Alih-alih menerapkan gotong royong dalam menanggulangi wabah tersebut justru terdapat perseteruan terbuka antara Walikota Surabaya, Tri Rismaharini dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Tanpa perlu banyak mengulang lagi berbagai kanal berita, konflik di antara dua kepala daerah tersebut bisa dikatakan semakin memperkeruh situasi selama masa pandemi khususnya di dalam manajemen penanggulangan kasus Covid-19.

Baca juga:  Corona dan Minuman Keras (Khamer): Apa Hubungannya?

Situasi terparah mungkin bisa diamati di beberapa fasilitas kesehatan yang ada di Surabaya, seperti misalnya RSUD Dr. Soetomo. Menurut Sonny, seorang dokter dan peserta pendidikan spesialis yang sehari-hari bertugas di rumah sakit tersebut, terdapat berbagai dampak yang diakibatkan dari rivalitas antara Ibu Walikota dan Ibu Gubernur. Dampak langsung yang bisa dirasakan adalah tidak adanya koordinasi yang baik antara RSUD Dr Soetomo yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. 

Akibatnya sering kali terjadi klaim terkait kenaikan jumlah pasien di rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 di Jawa Timur. Klaim dari pemerintah provinsi menyebutkan bahwa lonjakan jumlah pasien tersebut Sebagian besar berasal dari fasilitas kesehatan di Surabaya yang minta perawatan di RS tanpa melalui prosedur yang disyaratkan. Sebaliknya menurut klaim Pemerintah Kota Surabaya, mereka telah menyiapkan berbagai fasilitas yang memadai dalam menangani pasien Covid-19 dan malah menuding kenaikan jumlah terbesar penderita Covid-19 di kota tersebut justru berasal dari daerah di luar Surabaya. Sikap saling klaim dan tuding tersebut dimulai dari pucuk pimpinan dan kemudian diikuti oleh para aparat di bawahnya. Tak heran apabila kemudian situasi ini mengingatkan kita kepada pepatah lama: ikan busuk dimulai dari kepalanya. 

Dari fenomena tersebut, tentu adalah suatu hal yang wajat apabila masyarakat merasa acuh tak acuh dengan perkembangan wabah Covid-19 di lingkungannya. Mereka menganggap bahwa lebih baik memikirkan kondisi ekonomi rumah tangganya masing-masing daripada harus mematuhi protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Setidaknya hal ini telah dideteksi dalam survei yang dilakukan oleh LaporCovid-19 dan the Social Resilience Lab NTU Singapura.

Menurut survei tersebut, masyarakat Surabaya cenderung menganggap remeh risiko terinfeksi Covid-19. Dari latar belakang masyarakat yang menjadi partisipan dari survei disebutkan bahwa mereka yang memiliki pandangan seperti ini berasal dari kalangan ekonomi menengah yang kebanyakan tinggal di daerah perkampungan urban. Salah seorang pakar kesehatan masyarakat di Surabaya juga menekankan hal yang sama bahwa mayoritas masyarakat Surabaya hanya mengutamakan kepentingan ekonominya saja dan menyepelekan protokol kesehatan seperti yang terlihat di pasar dan ruang-ruang publik. 

Baca juga:  Tren Identitas Syar’i dan Budaya Pop

Secara sekilas bisa disimpulkan bahwa masyarakat Surabaya khususnya mereka yang tinggal di perkampungan banyak menyepelekan wabah ini dan hanya mengutamakan kepentingan ekonomi saja. Jadi, bagaimana kita bisa optimis membuat gotong royong sebagai spirit bersama sedangkan berbagai contoh yang dipaparkan sebelumnya justru memperlihatkan bahwa gotong royong telah menjadi sejarah? Lebih jauh lagi apakah hal ini membuktikan argumen para sarjana yang meyakini bahwa gotong royong memang hanya merupakan sebuah konstruk dari elit belaka untuk memanfaatkan tenaga rakyatnya dalam meraih suatu tujuan tertentu? Saya justru melihat sebaliknya bahwa hasil survei tersebut tidak menunjukkan gambaran keseluruhan dari masyarakat khususnya di Surabaya. Gotong royong belumlah menjadi sejarah dan banyak contoh yang justru memperlihatkan bahwa gotong royong telah menubuh dalam masyarakat kita. 

Keyakinan ini muncul setidaknya terlihat dari media sosial yang saya ikuti sudah ada banyak inisiatif hingga kegiatan yang bermodalkan gotong royong bahkan ada satu grup khusus dalam WhatsApp yang bertajuk “Gotong Royong Pekerja Seni”. Melihat elan vital yang ada di kawan-kawan seniman tersebut, semakin menguatkan anggapan sebelumnya bahwa memang gotong royong masih menjadi spirit bersama untuk saling menguatkan di suatu kelompok masyarakat. Lantas masih adakah contoh di tempat lainnya?

Medio bulan Juli yang lalu, netizen sempat membincangkan suatu warung kopi (warkop) yang viral di media sosial. WarkopPituLikur di Surabaya menjadi viral karena menyediakan Wi-Fi gratis plus minuman hangat bagi para pelajar yang mengikuti program belajar daring. Sejak awal tahun ajaran baru, pemerintah memberikan instruksi agar proses belajar mengajar dilaksanakan secara daring atau School from Home (SFH). Masalahnya tidak semua pelajar memiliki privilege yang sama satu dengan yang lain. Sebagaimana yang diceritakan oleh Hasan, pemilik warkop itu, banyak di antara orang tua dari teman sekolah anaknya merasa berkeberatan dengan model belajar online mengingat besarnya kuota internet yang harus disediakan. Merespon keluhan tersebut, Cak Cong, panggilan akrab Hasan, secara spontan membuka akses gratis Wi-Fi di warungnya.

Ketika saya tanyakan alasan dari program tersebut, Cak Cong hanya menjawab, “sederhana aja mas, saya merasa perlu bergotong royong untuk meringankan kesulitan yang kita hadapi bersama”. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sebagai orang tua yang memiliki anak seorang pelajar, tentu masalah sekolah daring yang dikeluhkan orang tua murid lain juga dirasakannya.  Sebagai pengusaha tentu sewajarnya Cak Cong bisa memanfaatkan momen tersebut untuk semakin memanfaatkan potensi warkopnya. Alih-alih melakukannya, Cak Cong justru memberikan fasilitas internet di warung miliknya kepada para pelajar ditambah pula dengan minuman hangat plus makanan ringan. Menurutnya apa yang dilakukannya tersebut untuk menyentil pemerintah termasuk kepala daerah yang bukannya bergotong royong dalam menanggulangi dampak Covid-19 di masyarakat, malah menajamkan konflik di antara mereka.  

Baca juga:  Bahaya Memahami Teks Keislaman Secara Leterlek: Menguak Karakteristik Kaum Islam Ekstremis

Di kampung-kampung lain juga saya dapati sendiri contoh serupa bagaimana warga bergotong royong pada masa pandemi ini. Seperti misalnya di Kampung Pabean yang mana terdapat pasar tradisional terbesar di Jawa Timur. Tanpa menunggu bantuan pemerintah, para pengurus RT dan RW membuat program membagikan masker gratis bagi pekerja harian di pasar tersebut serta tak henti-hentinya mengampanyekan protokol kesehatan minimal di sana. Ketika saya menanyakan alasan mengapa mereka melakukan hal tersebut sebelum datangnya bantuan pemerintah, jawabannya sama dengan yang diberikan Cak Cong, gotong royong. Dengan melakukan upaya tersebut sebenarnya mereka juga melakukan hal yang rasional mengingat mobilitas para pekerja harian yang semuanya berasal dari luar kampung yang jika tidak diantisipasi dengan baik tentu bisa menjadi bom waktu bagi munculnya cluster penyebaran Covid-19 di dalam kampung tersebut. 

Pasti masih banyak contoh lainnya di luar Surabaya yang bisa menjadi inspirasi dan membuktikan bahwa gotong royong memang merupakan DNA bagi bangsa Indonesia. Tinggal bagaimana model gotong royong ini harus diradikalkan sehingga mampu mengorkestrasi gotong royong lintas profesi, lintas disiplin, lintas instansi, lintas daerah dan lainnya. Apabila sekali saja gotong royong radikal ini berhasil, niscaya selanjutnya akan menyusul banyak gerakan lain yang mau turut serta bergotong royong. Serta tidak hanya berhenti sebatas pada masa pandemi saja.

Pada akhirnya kita bisa melihat bahwa pudarnya gotong royong dalam praktiknya bukan dalam masyarakat Indonesia tetapi justru di tingkat pemerintah sendiri, seperti yang jelas-jelas diperlihatkan di banyak tempat khususnya selama menghadapi pagebluk Corona. Seperti yang dianjurkan oleh Arundhati Roy (2020) bahwa pandemi ini bisa dilihat sebagai sebuah pintu gerbang untuk membayangkan suatu tatanan baru, maka saya membayangkan bahwa dengan meradikalkan gotong royong kita bisa membawa Indonesia mengarungi gelombang pagebluk ini dengan lebih baik. Selamat ulang tahun yang ke-75 Indonesia, Merdeka!    

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top