Sedang Membaca
Menguatnya Islam Politik atau Merosotnya Politik Sekuler?
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Menguatnya Islam Politik atau Merosotnya Politik Sekuler?

Img 20200629 Wa0012

Penguatan ekspresi Islam politik di ruang publik Indonesia menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Mulai dari intoleransi hingga terorisme, bahkan usaha untuk mengganti dasar negara, sering dialamatkan penyebabnya kepada penguatan itu. Benarkah demikian? Lalu bagaimana seharusnya kita menanggapinya? 

Islam politik itu sendiri merupakan gejala lama. Di Indonesia, ia sudah muncul sejak nasionalisme berkembang pada awal abad ke-20. Namun meski tumbuh bersama semangat anti-kolonialisme, gagasan yang mau mengintegrasikan agama dan negara itu tidak pernah memenangkan kompetisi elektoral.

Pada tahun 1959, representasi partai politik mereka yang terbesar, Masyumi, bahkan dibubarkan tanpa pengadilan oleh Presiden Soekarno. 

Keadaan mulai berubah pada akhir tahun 1980-an. Sementara komunisme di Uni Soviet mengalami kebangkrutan, gagasan Islam politik yang berasal dari Timur Tengah justru menikmati perkembangan.

Di Indonesia, Presiden Soeharto –yang  sejatinya sekuler– mulai meliriknya. Lirikan ini berbuah semacam aliansi yang terus bertahan hingga masa kekuasaannya berakhir mendadak pada 1998. Setelah itu Islam politik dapat dikatakan terus berupaya untuk masuk ke pusat arus kekuasaan, meski lagi-lagi tidak pernah berhasil memenangkan pertarungan.

Kondisi yang hampir sama terjadi di Timur Tengah. Di Mesir, misalnya, Islam politik (Ikhwanul Muslimin) pada dasarnya adalah kekuatan pinggiran yang terus direpresi oleh pemerintahan sekuler mulai dari Gamal Abdul Nasir hingga Husni Mubarok. Sempat memenangkan pemilihan umum yang demokratis, sehingga menjadikan pemimpinnya Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir ke-5, Islam politik digulingkan oleh militer dukungan Amerika Serikat. Hal ini mengingatkan kita pada kasus pembatalan kemenangan partai Islam, FIS (Front Islamique de Salut), di Aljazair pada 1992. 

Baca juga:  Nouruz Mubarak

Bercermin dari peristiwa-peristiwa itu, kita bisa melihat bahwa perkembangan Islam politik merupakan respons terhadap represi pemerintahan sekuler. Ini merupakan paradoks besar di negara-negara muslim poskolonial. Meski di Barat sekularisme lahir sebagai sebuah ajaran filsafat yang berusaha membatasi pengaruh absolutisme agama (gereja) yang feodalistik, ketika dibawa ke Timur ia berganti fungsi menjadi pandangan politik yang dipakai oleh rezim penguasa –yang umumnya militer– untuk menekan rakyatnya. 

Akan tetapi, bahkan di Barat sendiri, sekularisme belakangan menghadapi tantangan serius. Lahir dalam konteks masyarakat kulit putih yang berlatar belakang Kristen, sekularisme gagap dalam mengakui adanya keragaman kultural yang luar biasa setelah meningkatnya gelombang imigran, khususnya yang berasal dari negara-negara Muslim. Di Prancis, di mana sekularisme dijalankan secara keras, pemerintah melarang penggunaan kerudung dan simbol agama lainnya di sekolah. Tentu saja hal seperti ini menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan politik sekuler dalam menjawab tidak hanya masalah keragaman kultural, tetapi juga keadilan sosial.  

Kembali ke Indonesia, mari kita renungkan secara lebih jernih apa yang sebenarnya terjadi. Dari rangkaian peristiwa di atas, menurut saya, yang terjadi adalah sebuah proses dialektis. Islam politik menguat karena politik sekuler merosot. Sekularisme merosot karena, terutama di negara-negara muslim poskolonial, ia dijalankan oleh pemerintah dengan cara otoriter. 

Baca juga:  Kisah Syariat Islam di Aceh: dari Putra Iskandar Muda hingga Zinah Ulama

Meski demikian, apakah lalu Islam politik adalah sebuah alternatif? Dari pengalaman Indonesia kita bisa menjawab dengan cukup pasti: tidak. Alasannya karena ia dikembangkan oleh rezim sekuler yang otoriter. Cacat bawaan sekularisme yang kurang sensitif terhadap keragaman kultural dan bahkan keadilan sosial terwariskan kepada Islam politik. 

Inilah konteks yang lebih luas dari relasi agama dan negara. Pemahaman seperti ini penting dikemukan agar publik mampu menilai secara lebih jernih apa yang sebenarnya terjadi di tengah mereka. Dari sini sebuah titik terang muncul: agama dan negara jelas tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan. Barangkali bertolak dari titik ini perjalanan kita sebagai publik bisa dimulai secara lebih baik. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top