Sedang Membaca
Adakah Wujud (Final) Negara Islam?
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Adakah Wujud (Final) Negara Islam?

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam tersebar ke dunia bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui perang fisik dan ekspansi militer menghadapi berbagai negara. Oleh karena itu, apa pun sistemnya, faktanya ada yang namanya Negara Islam.

Pada masa Rasulullah saw, bentuk negaranya belum bernama. Pada masa Abu Bakar al-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, bentuk negaranya adalah “khilafah” yang jelas sekali warna keislamannya. Sedangkan pada masa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, bentuk negaranya adalah kerajaan meski namanya tetap khilafah dan selanjutnya nama khilafah dan kesultanan tetap dipergunakan meski sudah dalam bentuk kerajaan kecil-kecil. Jadi, Islam sejak awal kehadirannya selalu bersentuhan dengan masalah kenegaraan, bahkan dengan masalah politik secara luas.

Kenyataan sejarah itu menjadi dasar pandangan bahwa Islam adalah agama yang juga berkelindan erat dengan kenegaraan. Oleh sebab itu, tidaklah mengejutkan ketika kaum muslim sudah berkenalan dengan Aryanisme Persia, ada ungkapan populer yang berbunyi “al-Islam din wa dawlah”, bahwa Islam adalah agama dan negara, suatu ungkapan yang menunjukkan betapa erat hubungan agama dan negara.

Karena sejarah Islam juga sejarah kenegaraan, maka tak heran bahwa sepanjang sejarah –dari zaman Khulafaur Rasyidin hingga Turki Utsmani, dan bahkan hingga kiwari–sejarah Islam juga mencatat adanya perpecahan politik laiknya dunia politik mana pun. Bahkan konflik politik pun memberi kontribusi lahirnya mazhab teologi Islam, Jabbariyah dan Qadariyah, misalnya. Oleh karena itu, memahami masalah politik dalam Islam tidaklah mudah karena bukan perkara sederhana. Politik dalam Islam hanya berdimensi horizontal tetapi juga vertikal.

Kesulitan itulah yang menyebabkan hingga sekarang belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep politik dalam Islam, seperti konsep “Negara Islam”. Tidak adanya kesepakatan ihwal konsep Negara Islam ini menimbulkan pelbagai interpretasi tentang Negara Islam.

Negara Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw di Kota Madinah memang dipandang sebagai bentuk ideal. Akan tetapi, hal ihwal itu terbatas pada ajaran yang ideal, belum sampai kepada suatu model baku dan terperinci yang dibutuhkan dalam pendirian sebuah negara modern.

Baca juga:  Gaji Abu Bakar Ketika Menjadi Khalifah

Demikian juga periode “al-Khulafaur ar-Rasyidun”, meski lebih dekat ke sistem republik tetapi tidak berujung pada konsep yang disepakati. Model suksesi pada masa al-Khulafaur ar-Rasyidun memang sangat menarik.

Abu Bakar dipilih secara aklamasi sebagai khalifah pertama. Umar bin Khattab diangkat melalui dekrit, Utsman bin Affan dipilih melalui gabungan antara dektrit dan musyawarah serta demokrasi perwakilan, sedangkan Ali dipilih secara aklamasi oleh penduduk Madinah saja.

Empat model suksesi ini tidak sampai tersusun sebagai konsep baku sehingga pasca Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah tidak menggunakan sistem itu, sebaliknya malah menerapkan sistem dinasti kerajaan yang mengadopsi budaya setempat (model Imperium Romawi dan Persia) meski warna Islam juga terpampang di permukaan.

Dalam bukunya, “Chiefdom Madinah: Kecurut kekuasaan pada Zaman Awal Islam” (2011), Abdul Aziz meneroka, bahwa pengorganisasian masyarakat muslim Arab di Madinah pada masa Rasulullah dan al-Khulafaur ar-Rasyidun bukanlah wujud (final) Negara Islam, melainkan baru sebatas “Chiefdom Madinah”, yakni sebentuk pranata kekuasaan terpusat pra-negara (pre-state) yang jadi sumbu tata kelola masyarakat di Madinah dan wilayah taklukannya.

Pengorganisasian pada masa itu menyerap banyak elemen sosial-budaya setempar, bersifat sementara, ad hoc, dan belum menampakkan bentuknya yang matang, di mana Islam dan tradisi Arab Jahiliyah sama-sama memberi andil bagi “Chiefdom Madinah”.

Selain itu, Aziz juga mendedahkan bahwa:

Pertama, kehadiran Islam di Semenanjung Arabia yang dibawa Muhammad telah menghasilkan perubahan dalam pelbagai segi kehidupan masyarakat Arab. Selain meneguhkan sejumlah besar eleman kehidupan masa pra-Islam yang dipandang sejalan dengan misi kehadiran Islam, agama ini juga mengenalkan banyak elemen kehidupan baru, seperti penghormatan yang lebih besar pada hak-hak individu, penempatan keluarga inti sebagai basis hubungan sosial, pengembangan organisasi masyarakat yang memungkinkan tumbuhnya pengaturan monopolistik baik pada sarana kekerasan (means of violence) maupun perpajakan, tumbuhnya segmen masyarakat dengan keterampilan hidup dan habitus baru, serta perubahan-perubahan lainnya yang mengarah pada proses pembentukan negara.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Pengalaman masyarakat Arab di Semenanjung Arabia bagian tengah menunjukkan bahwa Islam tidak menyediakan konsep teoretik yang baku tentang negara dan pembentukannya, melainkan mengandung norma dan nilai yang dapat mendorong para pemeluknya menempuh proses-proses sentripetal pembentukan negara yang arahnya dapat bervariasi dan tergantung lingkungan sosial-budaya masing-masing.

Kedua, pelbagai artefak sejarah menunjukkan bahwa, di bagian-bagian tertentu Semenanjung Arabia, terdapat masyarakat yang telah lama mengenal sejenis kekuasaan terpusat yang sebenarnya hanya wilayah kekuasaan kekabilahan, seperti raja-raja pada kabilah Arab Kindah di selatan atau raja-raja pada kabilah Ghassan di utara.

Kekuasaan sejenis itu justru tidak pernah ditemukan di bagian tengah kecuali pasca kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Melalui agama Islam, Muhammad berhasil mendorong pelbagai perubahan dan membangun ummah di antara kabilah-kabilah Arab yang saling bermusuhan, yang kemudian berkembang menjadi sebentuk kekuasaan terpusat berbasis hubungan antarkabilah yang lebih luas.

Secara kategoris, kekuasaan terpusat itu baru mencapai tahap yang disebut “chiefdom” (imarah, keamiran), yaitu suatu tahap yang sudah melampaui tingkat integrasi sosial politik kesukuan (tribes), yang berbasis pertalian darah atau persaudaraan (kin-based), tetapi belum mencapai tahap integrasi sosial-politik yang disebut negara (state).

Melalui serangkaian proses, termasuk di dalamnya konteks eliminasi kepemimpinan di antara kabilah-kabilah basis, pasca Muhammad wafat kekuasaan terpusat ini berkembang menuju terbentuknya negara demi negara dinastik yang menjadi bagian dari proses berperadaban masyarakat Arab muslim.

Ketiga, proses berperadaban yang berkembang pada masyarakat Arab di Semenanjung Arabia bagian tengah tersebut hanya dimungkinkan melalui perluasan penaklukan ke luar wilayah mereka. Interaksi yang terus-menerus di antara pelbagai figurasi menyusuli pembentukan ummah mendorong masyarakat Arab muslim di Semenanjung Arabia bagian tengah melakukan ekspansi teritorial, sekaligus berhubungan langsung dengan masyarakat pemilik peradaban besar dan menyerap pelbagai elemen kultural kaum Mawali yang menjadi taklukan mereka. Ekspansi teritorial ini mendorong perubahan-perubahan lebih lanjut pada level sosiogenesis maupun psikogenesis.

Baca juga:  Hari Santri, Kita Baca Asal-Usul Pesantren di Jawa

Keempat, persepsi para pemikir muslim tentang “Negara Madinah” sebagai format negara Islam atau negara kekhalifahan, yang wajib dicontoh untuk ditegakkan oleh kaum muslim, merupakan persepsi yang mengabaikan realitas sosiologis masyarakat Arab kala itu! Suatu proses menuju pembentukan negara tidak tepat dijadikan contoh baku atau tipe ideal, dan karena itu perlu rekonstruksi atas format teoretik perihal kelindan antara Islam dan pembentukan negara.

Kelima, belajar dari pengalaman berperadaban masyarakat Arab, dalam konteks pencarian format teoretik tersebut, nilai-nilai keislaman uiversal maupun praktik-praktik tradisi lokal dan elemen-elemen budaya asing yang tidak bertentangan dengan nilai universal Islam diperlakukan sama pentingnya dalam menghasilkan formulasi tentang negara yang bersifat umum.

Landasan teoretiknya adalah konsep mashlahah dalam konteks “Maqashid al-Syari’ah”. Pengembangan konsep mashlahah atau mashalih al-‘ibad, dan konsep turunan lainnya dari teori Maqashid al-Syari’ah seperti ‘adah, menjadi dasar bagi pengembangan teori kekuasaan dan kenegaraan yang secara fleksibel dan kreatif dapat dirumuskan oleh masyarakat muslim kapan pun dan di mana pun.

Simpulan Aziz ini jelas menolak gagasan bahwa “Islam adalah agama sekaligus negara” dan gagasan liyan yang menyatakan bahwa Islam adalah “agama sekaligus (untuk kehidupan) dunia”.

Akan tetapi, Aziz tidak menempatkan kelanggengan cita-cita tauhid sebagai arah pembentukan negara, melainkan membangun mashalih al-‘ibad yang secara alamiah sesuai dengan pola pembentukan negara yang cenderung tidak dapat diprediksi.

Keenam, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong kaum muslim menemukan suatu formulasi alam pikiran (mindset) yang benar-benar menghormati manusia sebagai individu (agent) dalam perhadapannya dengan struktur masyarakat (structure), serta optimalisasi penggunaan akal manusia hingga ke puncak kekuatannya untuk mendefinisikan dan sekaligus menguasai realitas tanpa harus mencederai kebenaran wahyu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top