Tiba-tiba saja ingat pelajaran Khat di pesantren dulu. Dalam KBBI berarti tulisan tangan, khususnya yang indah. Diartikan pula sebagai garis, atau guratan pada tangan. Pelajaran yang bagi saya sangat sulit karena tangan dan jari kok rasanya kurang patuh pada otak. Saat otak saya minta bikin garis “begini”, bikin plengkungan “begitu”, tapi wujudnya berbeda. Khat memang bentuk huruf yang penuh kaidah atau aturan. Tangan rasanya berat.
Ya, menulis khat itu aturannya ribet. Tiap jenis atau gaya memiliki aturan ketat. Misal, dalam gaya Tsulutsi, menulis huruf “Nun” itu ukurannya paten, biasanya pakai ukuran besar titik: panjang garis turunnya sekian titik, garis mendatarnya sekian titik, garis ekor naiknya sekian titik, dengan ketebalan garis tebal tipis yang diatur ketat.
Lalu posisi titik “Nun” ada di lokasi tertentu.
Itu satu huruf: Nun. Masih ada 30 huruf lainnya, itupun baru jenis Tsulutsi. Jenis lainnyanya banyak sekali: Naskhi, Riq’ah atau Ruq’ah, Farisi atau Nastaliq, Diwani, Diwani Jali, Kufi. Itu yang asasi, tingkat kaidah dasar. Di tingkat furu’, cabang-cabang atau pengembangan-pengembangan jenis yang saya sebut tadi, masih banyak lagi. Lebih dari itu, para khatat atau kaligrafer atau seniman, punya gaya dan watak masing-masing.
Sekedar contoh khat Tsulutsi, yang konon menjadi induknya khat. Khat ini dikatakan pertama kali dibuat pada abad ketujuh pada zaman Umayyah akan tetapi baru dikembangkan pada akhir abad ke-9.
Dinamakan khat Tsuluts karena ditulis dengan kalam yang ujung pelatuknya dipotong dengan ukuran sepertiga (tsuluts) goresan kalam.
Baca juga:
- Seniman Kaligrafi, Pemilik Perahu, dan Huruf Waw
- Raghib Abu Hamdan dan Seni Kaligrafi Baru
- Kiai dan Kaligrafi
- Seni Kaligrafi Kiai Robert Nasrullah
Nah contoh kaligrafi paling populer berjenis huruf Tsulutsi ini misalnya tulisan tahlil di bendera HTI atau bendera Arab Saudi. Jadi sebenarnya gampang aja menjelaskan apakah itu benar Liwa dan Rayah Rasulullah? Ya tentu bukan karena khat jenis itu belum ada di zaman Rasulullah. Selain karena haditsnya dloif, tentunya.
Di Indonesia, Tsulutsi banyak dipakai di dinding-dinding masjid. Hati-hati, jika komposisi dan penempatan tidak diperhitungkan, akan mengganggu fokus orang salat.
Eh mari kembali ke pembahasan utama, kerumitan khat yang saya alami.
Karena merasa kesulitan, akhirnya saya setengah mutung, tidak melanjutkan belajar khat sampai tuntas. Cukup mengenal jenis-jenisnya, teori dasarnya dan hobi menikmati keindahannya. Sementara untuk menulis harian (meski tidak setiap hari) tidak pakai aturan khat yang kaku.
Kalau sedang ingin agak bagus, saya suka pakai yang mendekati Riq’ah. Kenapa?
Karena bagi saya agak simpel, tidak butuh ruang jembar, dan cepat menuliskannya. Di pesantren, gaya ini lazim dipakai untuk memberi nama kitab atau menulis surat. Tentu itupun jelas tidak pakai aturan aslinya. Intinya, saya pernah stop berkhat ria. Tingkat persisi khat di tengan kerumitannya bikin saya tidak kuat.
Agak berani menulis (dan melukis) setelah mendapatkan “de(re)konstruksi” pemikiran estetika dari guru saya syekh Jumaldi Alfi, pelukis asal Minang yang levelnya internasional. Dia mengatakan kepada saya dengan nada bergetar,
“Salah satu hambatan kita berkarya adalah patokan keindahan yang ditanamkan oleh guru-guru seni kita sendiri. yang tidak realis dan tidak sesuai aturan (lama) dibilang tidak indah. Padahal keindahan itu sangat luas. Maka jangan terhambat karena bentuk, perkuat isinya.”
Jreng! Allahu akbar! Sore itu seakan tabir gelap yang selama ini menyelimuti pikiran saya terbuka seketika. Memang, seniman yang asli seperti Alfi itu ucapannya singkat tapi membukakan jalan. Seperti lilin di tengah aliran listrik terhenti.
Sejak itu saya mulai menggores kanvas dan kembali menulis khat. Sekali lagi sungkem buat guru saya Jumladi Alfi.
Tentu saya masih memperhatikan bentuk. Toh lukisan atau kaligrafi itu berbentuk. Toh kita ini masih merupakan makhluk dengan bentuk. Toh pikiran kita memahami realitas itu masih berdasar bentuk.
Maka dalam melukis saya masih terus belajar mengenai bentuk dan membentuk. Sembari memberikan isi dalam bentuk itu. Bahkan, kadang saya terkejut, justru saya yang menerima isi dari apa yang terbentuk di atas kanvas tersebut.
Bentuk “Nun” dalam lukisan ini sebenarnya saya niatkan bergaya Tsulutsi. Kesulitan teknis sesungguhnya, untuk tingkat teknologi seperti sekarang, bisa saya selesaikan dengan mal atau cetakan. Jadi insya Allah bentuk “Nun” bisa sesuai kaidah Tsulutsi.
Tapi, meski Tsulutsi itu termasuk yang jelas terbaca oleh siapa pun yang bisa membaca huruf Hijaiah (kecuali kalau sudah dirangkai dan dihias), saya lebih sreg dengan bentuk “Nun” Tsulutsi modifikasi seperti dalam foto tulisan ini, disesuaikan dengan gambaran utuh dari lukisan itu. Menurut saya, isinya lebih kena.
Lalu apa isinya?