Dosen di UNU Jakarta. Selain itu, menulis buku dan menerjemah

Seniman Kaligrafi, Pemilik Perahu, dan Huruf Waw

Suatu hari, Hafiz Usman Effendi menaiki perahu dayung dari Üsküdar menuju Galata. Pada zaman itu, perahu dayung adalah satu-satunya sarana transportasi yang menghantarkan penumpang dari Istanbul sisi Asia ke sisi Eropa atau pun sebaliknya, menyeberangi selat Bosphorus.

Di tengah perjalanan, ketika Hafiz Usman Effendi asyik menikmati pemandangan selat yang indah dan biru, juga villa-villa kayu yang cantik dan banyak berjejer di tepian selat, ia tiba-tiba teringat jika uangnya telah habis. Ia masukkan tangannya ke saku kanan dan kiri bajunya, meraba-raba dan mencari-cari barangkali masih ada sekeping kuruş. Tapi sia-sia. Ia memang kehabisan uang.

Hafiz Usman Effendi teringat, jika ia telah memberikan semua uangnya kepada para pengemis, tukang sirkus, juru cerita dan kotak-kotak sedekah di pelabuhan Üsküdar. Di sana ia mendapati beberapa orang hikayeci atau juru cerita. Mereka menceritakan berbagai macam kisah tragedi yang memilukan hati, utamanya tentang cerita perjalanan dan petualangan mereka ke negeri-negeri yang jauh. Tak sedikit dari mereka memperlihatkan bagian tubuh mereka yang luka dan cacat oleh karena keras dan berlikunya kisah perjalanan. Ia terpana dengan cerita-cerita itu, sehingga tanpa sadar telah menghabiskan keeping demi keping kuruş kepada mereka.

Tapi kini ia berada di tengah laut, di tengah selat, di atas perahu. Sesekali ia mencuri pandang ke arah pemilik perahu dayung. Ia berpikiran, tampaknya sang pemilik perahu bukan termasuk orang-orang yang memiliki rasa belas kasihan. Untuk menghibur diri, ia pun berkata dalam hati, “Allah maha mengetahui. Semoga Ia memberikanku keselamatan sampai ujung tepi sana”.

Namun tetap saja ia merasa gugup dan tak tenang. Ia pun meletakkan jemarinya ke atas permukaan laut yang berombak tenang, hendak mengetahui kadar kedinginan air dan udara. Sebenarnya ia sudah tahu, dan semua orang pun tahu, kalau air laut di akhir bulan September ini pasti dingin. Ia lalu berkata,

Baca juga:  Balada Sang Pemikul Gandum

“Waaw! Ini sungguh dingin, benar-benar dingin!”

Suara Waaw yang keluar dari mulutnya benar-benar membawa suasana baru bagi dirinya. Tangannya kemudian merogoh setumpuk kertas yang selalu ia bawa ke mana-mana di dalam tasnya. Ia mengambil sehelai kertas bersamaan dengan pena, tinta dan papan penyangga. Ia lalu melukiskan huruf Waw di sana dengan seni kaligrafi yang indah. Tak lupa ia juga membubuhkan tanda tangannya.

Sang pemilik perahu dayung memberikan peringatan terakhirnya.

“Ya, Tuan! Silahkan membayar ongkos perahu ini!”.

Perahu pun kian mendekat ke tepi. Setelah para penumpang lain turun, tinggallah Hafiz Usman Effendi seorang diri. Ia lalu mendekati sang pemilik perahu itu.

“Tuan, orang-orang memanggil saya Hafiz Usman,” katanya.
“Ya, Tuan Hafiz Usman. Lalu apa urusannya dengan saya?” tanya sang pemilik perahu.
“Aku seorang seniman kaligrafi terkenal di kota”.
“Lalu apa yang Tuan kehendaki dan maksudkan?”
“Maksud saya, saya memiliki reputasi dan kemasyhuran dalam dunia seni kaligrafi”.
“Oh, demikian juga kami, Tuan. kami juga terkenal sebagai pemilik perahu dayung. Meski demikian, ketika kami pergi ke pasar atau ke tempat mana saja, kami pasti akan membayar ongkos,” kata pemilik perahu itu.
“Ya, ya, aku sangat faham. Tetapi sungguh saya minta maaf karena aku lupa membawa uangku. Tengok, tengok ini! Aku melukiskan untukmu kaligrafi huruf Waw. Cantik sekali, bukan? Ambil ini sebagai ganti ongkos saya. Nilai lukisan ini pun jauh lebih tinggi dari jumlah ongkos yang seharusnya saya bayar. Percayalah!”

Pemilik perahu itu mengambil selembar kertas yang diberikan oleh Hafiz Usman Effendi.

“Jadi maksudmu, Tuan, apa yang engkau tulis bernilai uang?” tanya pemilik perahu.
“Begitulah,” jawab Hafiz Usman Effendi.
“Ah, jadi engkau seperti pencetak uang, begitu?”
“Astaghfirullah, Tuan! ini adalah seni!”
Pemilik perahu dayung itu pun naik pitam dan menghardik Hafiz Usman Effendi.
“Tuan! Aku ini pemilik perahu, bukan seniman. Barangkali apa yang engkau katakana itu bisa didapatkan di Beyoglu. Para seniman hidup di sana, bukan di Üsküdar. Kau simpan saja kertas ini di dalam saku bajumu, dan sebagai gantinya aku akan mengambil bajumu sebagai jaminan. Ketika engkau sudah punya uang dan membayar ongkos perahu ini kepadaku, aku akan mengembalikan bajumu beserta sehelai kertas bertuliskan huruf Waw di dalamnya,” kata pemilik perahu itu dengan nada mengejek.

Baca juga:  Karomah Mbah Kholil Bangkalan untuk Mbah Hasyim Asy'ari

Akhirnya, Hafiz Usman Effendi pun mau tak mau menyanggupi tawaran pemilik perahu itu. Ia pun melepaskan bajunya dan memberikannya kepada pemilik perahu. Ia lalu turun dan berjalan setengah telanjang.

*****
Di hari berikutnya, secara kebetulan sang pemilik perahu melewati Badestân (pasar barang antik). Pada hari itu, ia pergi memakai baju yang ia dapatkan dari seorang penumpangnya yang bernasib sial. Ya, ia memakai baju Hafiz Usman Effendi. Di sana ia mendapati beberapa kedai yang menjual lukisan kaligrafi. Tiba-tiba, ia teringat secarik kertas bertuliskan huruf Waw yang ia dapatkan dari seorang penumpangnya yang ketiban sial itu. Ia lalu mengeluarkan kertas itu dari saku baju, lalu memberikannya kepada salah seorang pemilik kedai.

Ketika pemilik kedai itu melihat isi kertas yang diberikan oleh sang pemilik perahu, ia langsung melompat. Pemilik kedai itu benar-benar terkejut dan berteriak.

“Waaw! Ini benar-benar lukisan kaligrafi Hafiz Usman!”

Tanpa berpikir panjang, sang pemilik kedai segera membelinya dari sang pemilik perahu. Pemilik perahu itu lebih kaget lagi, karena uang yang ia dapatkan dari hasil penjualan secarik kertas itu ternyata cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama satu minggu. Tak beberapa lama, datanglah seorang pembeli ke kedai itu. Pembeli itu ternyata membeli secarik lukisan kaligrafi Waw Hafiz Usman Effendi, dengan harga yang lebih mahal lagi. Sang pemilik perahu benar-benar terperangah di hari itu.

Baca juga:  Wasiat Syekh Ibrahim bin Adham Kepada Murid-Muridnya

“Waaw! Harga secarik kertas penumpang gila dan sial itu ternyata lebih tinggi nilainya dari selembar uang negara!” kata pemilik perahu sambil berlalu.

Beberapa hari kemudian, Hafiz Usman Effendi pergi menaiki perahu dayung menuju Üsküdar. Sang pemilik perahu dan baju yang dipakainya tampaknya tidaklah asing lagi bagi Hafiz Usman Effendi.

“Assalamu’alaykum. Ooo, tuan pemilik perahu. Apakah engkau mengingatku?” Tanya Hafiz Usman Effendi.

Bukannya menjawab salam, sang pemilik perahu itu malah segera melepas baju yang dipakainya dan hendak memberikannya kepada Hafiz Usman Effendi.

“Tidak, tidak! Ambil baju ini sebagai hadiah,” kata Hafiz Usman Effendi.

Sang pemilik perahu itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia lalu mendayung perahunya sampai akhirnya mendekati tepi pelabuhan Üsküdar. Hafiz Usman Effendi pun segera merogoh sakunya dan mengeluarkan uang untuk membayar ongkos tumpangan perahu.

“Tidak, tidak, tidak, Tuan! Tuan tak usah membayar dengan uang. Cukup engkau berikan aku secarik kertas bertuliskan huruf Waw,” kata pemilik perahu itu.
“Waaw! Engkau menghendaki Waw?”
“Ya, ya!”
“Hahaha! Ini berarti engkau mulai mengerti dan mengetahui nilai seni dan seniman”.
“Ya, ya. Saya mulai faham, tuan”.
“Baiklah, kalau begitu, saya minta maaf. Tidak ada Waw untuk kedua kalinya”.

Hafiz Usman Effendi pun segera melompat dari perahu. Ia kemudian melangkah berjalan. Sementara itu, sang pemilik perahu berdiri masygul, menatap ke arah Hafiz Usman Effendi yang terus berjalan. Pemilik perahu itu lalu bergumam:
“Waaw!”

*Diterjemahkan oleh A. Ginanjar Sya’ban dari cerita Wâw dalam kumpulan hikayat Turki, Bir Istanbul Hayalhânesi, karangan Serkan Özburun (2007) yang diarabkan oleh Abd al-Qadir Abd al-Lay dengan tajuk Istanbul Bait al-Khiyal (2008).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top