Anwar Kurniawan
Penulis Kolom

Santri Pesantren Sunan Pandanaran, Jogjakarta. Meminati kajian Islam dan kebudayaan.

Membaca Islam di Era Post-Truth

Jangan kau percaya sesuatu hanya karena engkau ingin memercayainya” 

Kutipan di atas saya dapatkan di salah satu scene sewaktu mengkhatamkan serial film The Game of Thrones. Ya, kalimat itu diucapkan oleh seorang politisi bernama Tyrion Lannister. Dan, di era post-truth seperti hari ini, kalimat itu rasanya memang kontekstual sekali. 

Rupanya, dalam kehidupan sehari-hari mental skeptisisme itu diamalkan betul oleh Aksin Wijaya, seorang sarjana Muslim Indonesia. Aksin sendiri, sewaktu saya silaturahim di kediamannya di Ponorogo, Jawa Timur, mengatakan bahwa ia memang terinspirasi oleh “epistemologi keraguan” Abu Hamid al-Ghazali, ulama sufi cum filsuf Muslim abad 12 M.

Dan, salah satu dorongan mengapa Aksin menulis banyak buku yang mengundang beragam komentar adalah khittah “jangan kau percaya sesuatu hanya karena engkau ingin memercayainya” itu tadi.

Artinya, setiap informasi yang kita terima, tidak peduli sepakem apa informasi tersebut, tidak selayaknya ia ditelan begitu saja agar penalaran kita tetap terjaga kesehatannya.

Dalam buku terbarunya berjudul Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia (2019), misalnya, ia mencoba menggelitik kesadaran fundamental kita yang tiga tahun terakhir ini berisik sekali menuntut hegemoni “Islam” atas negara.

Meskipun wacana mengenai supremasi Islam atas kelompok lain di Indonesia telah ada sejak dulu, Aksin cukup tangkas memotret kembali kontestasi memburu kebenaran tafsir agama yang berkaitan dengan persoalan hubungan antar umat beragama, umat beragama dengan pemerintah, dan antar umat Islam itu sendiri.

Baca juga:  M. Quraish Shihab: Islam yang Saya Anut

Secara teknis, buku ini memuat empat topik penting. Pertama, soal esensi Islam; kedua, sikap Alquran terhadap Yahudi-Nasrani; ketiga, Islam a la Kanjeng Nabi Muhammad; dan keempat, relevansi Islam bagi masa depan keberagamaan bangsa Indonesia. 

Akan tetapi, dalam rangka menghindari spoiler saya tidak akan mengupas semuanya. Lagi pula, karakter yang tersedia amatlah terbatas. Jadi, di sini hanya akan dibincang sedikit saja laksana trailer dalam sebuah tayangan layar lebar. Tapi bukan ini poin saya.

Sehubungan dengan esensi Islam, umpamanya, selama ini terdapat ke-parsial-an pengetahuan sebagian umat sewaktu membincang Islam. Bahwa kemudian Islam itu tunggal, Aksin menegaskan benar adanya, karena ia memang berasal dari Yang Maha Tunggal.

Namun, lanjut Aksin, letak ketunggalan itu bukan berada di level institusi Islam yang bersifat eksklusif dengan satu syariat sebagaimana dibawa Nabi Muhammad saja. Islam tunggal adalah Islam yang bersifat universal dengan ragam syariat sebagaimana yang dibawa para Nabi besar lainnya.

Maka sebagai konsekuensi, Islam dipahami tidak hanya sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saja. Tetapi Nabi sebelum-sebelumnya seperi Ibrahim, Musa, dan Isa sebetulnya juga membawa rukun asasi keislaman yang sama, yakni: mengajak umatnya agar beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh.

Baca juga:  Ali bin Yusuf dan Peristiwa Pembakaran Ihya Ulumuddin

Alhasil, atas dasar itu tidak lagi dibenarkan adanya klaim kebenaran dan tuduhan sesat di antara sesama penganut Islam yang tunggal itu, kendati syariat yang dibawanya berbeda-beda. Dan, menurut Aksin hal itulah yang seringkali disalah-mengertikan sebagian orang selama ini. 

Dipikir kalau Islam Nabi Muhammad hanyalah jalan keselamatan yang paling benar dan tidak ada jalan keselamatan lain di luarnya. Akibatnya, umat Yahudi dan Nasrani pun seolah dipaksa hengkang dari barisan monoteisme Islam dan hanifiyah Ibrahim. 

Padahal, klaim eksklusif ini sangat berpotensi melahirkan konflik antar-penganut agama yang berbeda, bil khusus tiga penganut agama samawi yang secara biologis dan teologis menginduk pada Nabi Ibrahim.

Contoh dari ketegangan dan kengerian dari pertikaian gara-gara salah kaprah memahami esensi Islam itu pun sangat melimpah ruah. Dan, tentu saja perlu diskusi tersendiri untuk membahas ketegangan demi ketegangan itu.

Yang jelas, mungkin saja umat Yahudi dan Nasrani akan menerima kenyataan “terdepak” dari monoteisme Islam dan secara kelembagaan disebut agama non-Islam. Tetapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan tinggal diam dengan tuduhan sebagai agama di luar Ibrahim, lebih-lebih jika disertai dengan tuduhan sebagai agama yang sudah melenceng, sesat, bahkan kafir. 

Itulah mengapa sewaktu Munas Alim-Ulama 2019 di Pesantren al-Azhar, Citangkolo, PBNU memberi rekomendasi agar kita merubah cara pandang mengenai “kafir” yang sudah terlanjur dipolitisasi dan melebar dituduhkan kepada sesama penganut monoteisme. 

Baca juga:  Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat

Pendek kata, buku ini saya kira sangat menarik. Ia dipaparkan secara deskriptif, analitik, dan menyajikan cukup banyak pemikiran serta sudut pandang yang berbeda-beda dari pelbagai sarjana Muslim tanpa menghalangi kita untuk tetap menikmati setiap pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.

Namun begitu, saya tidak merekomendasikan buku ini dibaca para pelajar Islam beginner, apalagi tanpa bimbingan orang tua. Sebab, membacanya membutuhkan olah pikir yang cukup keras, dan jika tidak cerdik menangkap pesan utamanya, Anda hanya akan terjebak pada tuduhan “sesat-menyesatkan”.

Lebih jauh, buku ini juga bisa menjadi sangat membosankan apabila sejak awal Anda sudah menstigma Aksin sebagai liberal, terlepas dari latar belakang penulisnya yang sejauh ini memang cukup merdeka ketika membincang Islam.

Akhir kalam, kalau Anda menghendaki dalil-dalil keagamaan karena meragukan argumen yang dibangun, maka jangan khawatir, sebab di dalamnya tidak hanya ayat-ayat Alquran yang akan Anda temui, tetapi seperangkat alat metodologi juga cukup mudah dijumpai. 

 

DATA BUKU

Judul Buku: Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia

Penulis: Aksin Wijaya

Penerbit: IRCiSoD, September 2019

Tebal: 228 halaman

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top