Sedang Membaca
Lahirnya Pertanyaan
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Lahirnya Pertanyaan

1 Images (1)

Hal paling fundamental yang membedakan manusia dari binatang lainnya, juga dari mesin pintar (AI) apapun adalah pertanyaan. Hanya manusialah yang punya kemampuan bertanya.

Dari pertanyaan itu lahir ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, sastra, agama, moralitas, seni, kebudayaan. Peradaban bisa terus berkembang karena manusia mampu merumuskan masalah dan mencari jawaban terus-menerus. Semua itu berangkat dari pertanyaan.

Karena itu, tanggung jawab utama pendidikan adalah menggugah, merawat, mengolah dan mengembangkan pertanyaan. Ketika melakukan riset, para ahli merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru, dengan memahami dan bertolak dari, atau untuk merevisi pertanyaan-pertanyaan lama yang pernah diajukan orang-orang sebelumnya. Suatu hasil riset yang baik akan memicu pertanyaan-pertanyaan baru berikutnya. Ibarat roda, pengetahuan digerakkan oleh mata rantai pertanyaan yang saling terkait dan berputar mendorong laju peradaban.

Setiap generasi punya pertanyaan mendasar yang baru, yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa seringkali bisa dilihat dari jenis, pijakan dan arah pertanyaan yang diajukan para warga dan pemimpinnya. Sebuah bangsa tak akan bisa bergerak maju jika mereka macet dan terjebak dalam suatu pertanyaan, tak tahu bagaimana keluar dari sana.

Sampai sekarang saya masih suka teringat spanduk yang dipajang University of Vienna. Tahun 2015 lalu, ketika saya mengikuti suatu konferensi di sana, kampus itu sedang merayakan ulang tahun ke-250. Mereka pasang banner dengan tulisan besar yang sangat menginspirasi “We have been asking questions for 250 years”!

Baca juga:  Ramadan di Tengah Korona: Hablumminallah Diperkuat, Hablumminnas Dipererat

Sedihnya, banyak lembaga pendidikan kita sekarang, dari TK sampai Perguruan Tinggi yang justru tak mengasah dan mengembangkan pertanyaan. Ketika belum sekolah, anak-anak pada umumnya punya begitu banyak pertanyaan. Dari bangun tidur anak-anak selalu sibuk mengajukan pertanyaan, haus ingin memenuhi rasa ingin tahunya.

Pertanyaan-pertanyaan anak-anak kerap lugu, spontan, murni, tak terbendung, tak berpretensi, tapi sekaligus tak selalu mudah dijawab. Setelah mengenyam bangku sekolah, setelah lulus SD, pertanyaan anak-anak itu kian berkurang. Lulus SMP, makin banyak pertanyaan mereka yang hilang. Lulus SMA makin sedikit mereka punya pertanyaan. Kelas berubah menjadi seperti ancaman yang membuat kehendak untuk bertanya itu membeku. Ada banyak pertanyaan yang mati pelan-pelan ditindas ketakutan.

Ketika masuk universitas, tak sedikit mahasiswa yang kesulitan untuk mengajukan pertanyaan. Kenapa? Tak sedikit lembaga pendidikan kita justru berperan ‘membunuh’ pertanyaan tadi secara pelan-pelan. Ini yang sungguh mengkhawatirkan. PM Laksono, antropolog UGM kerap memulai kelas dengan dua pilihan: mahasiswa bertanya atau mendapat pertanyaan. Ketika dua pilihan itu tak bersambut dia akan bilang: “Ini kelas apa kuburan? Disuruh tanya diam, ditanya juga diam. Ayo kita kelahi saja!”

Di kelas saya pun sering ikut-ikutan menantang para mahasiswa untuk mengajukan sebanyak mungkin pertanyaan, sejauh-jauhnya, seliar-liarnya, termasuk mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap baku. Salah satu tanggung jawab penting seorang intelektual adalah mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap mapan, tak boleh dipersoalan atau bahkan tak boleh dipikirkan. Supaya dengan itu kita bisa menemukan perspektif dan argumen baru, mendorong batas-batas yang dianggap tak boleh diganggu. “There is no limit for what we can learn,” begitu selalu kuingat tulisan di tembok sebuah SD di Philadelphia.

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Penerima(an) Pancasila

Orang bisa terus mengembangkan ilmu pengetahuan kalau ia terbebas dari rasa takut. Orang takut tak bisa mikir. Pertanyaan menjadi pintu untuk mendobrak ketakutan sekaligus menjelajah horison baru, menjelajah apa yang semula sudah dianggap sebagai batas, menjelajah kemungkinan pengetahuan yang tak bertepi. Dengan terus bertanya kita bisa terus menjunjung kemerdekaan.

Memang tak sedikit mahasiswa yang semula takut bertanya, bahkan takut bicara, takut ditertawakan, atau entah takut apalagi. Ketika bertanya, tak sedikit mahasiswa yang rumusan pertanyaannya tak jelas. Tapi semakin didorong untuk berani meninggalkan ketakutan, semakin mereka diberi ruang, semakin mereka diundang untuk menyampaikan pikiran sebagai seseorang yang merdeka dan berhak meraih pengetahuan menurut cara dan pijakannya masing-masing, semakin pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan. Ada momen dimana mereka mulai sulit behenti bertanya, juga mempertanyakan.

Kemarin di pertemuan ketiga kelasku untuk S2 Ilmu Sastra FIB UGM dalam kuliah “Sastra, Trauma, dan Memori” yang mestinya berlangsung dua jam, kami asyik mengunyah macam-macam pertanyaan tentang konsep narsisisme-nya Freud dan apa yang terjadi pada ego dalam proses perkembangan psikologi manusia, ketika seseorang jatuh cinta dan ketika kehilangan cinta, juga tentang konsep mourning dan melancholia ketika batin kita terluka, kenapa orang bisa bunuh diri dan sebagainya. Kelas mulai jam tujuh pagi. Setelah waktu mendekati jam sepuluh kami akhirnya bersepakat untuk melanjutkan pembicaraan minggu depannya, karena kalau terus dilanjutkan kami tahu, pembicaraan tak akan ada habisnya.

Baca juga:  Memahami Cinta Ibu

Minggu lalu kami mendiskusikan pengertian mengenai subyek sebagai produk dari terbentuknya kesadaran dan segala implikasinya. Minggu depan kami akan mendiskusikan esai Freud lainnya, Beyond Pleasure Principle.

Aku selalu merasa senang mendengar pertanyaan para mahasiswa. Dari mereka aku banyak belajar. Menemukan jawaban memang penting. Tetapi merumuskan pertanyaan jauh lebih penting.

Tak penting apakah dosen bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa yang kerap tak terduga dan tak mudah. Dosen tak harus selalu bisa menjawab semua pertanyaan mahasiswa. Siapa yang mengharus-haruskan?

Tak ada!

“Bayar dosen itu murah. Kok harus bisa menjawab semua pertanyaan mahasiswa, gimana nalarnya?,” begitu sering kuulang kalimat salah seorang guruku, Pujo Semedi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top