Sedang Membaca
Berhijrah Menuju Nahdlatul Ulama
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Berhijrah Menuju Nahdlatul Ulama

Tak Perlu Takut Kearab-Araban

Tragedi kemanusiaan kembali terjadi. Gereja Katedral di Makasar menjadi sasaran bom bunuh diri pada Sabtu, 27 Maret 2021. Sepasang suami istri yang terindikasi sebagai anggota Jamaah Anshoru Tauhid (JAD) dengan nekad meledakkan diri di depan gereja. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar menyebutkan pelakunya masih berusia muda. Pelaku berinisial L itu kelahiran 1995 (usia 26 tahun). Pasangan L dan YSF tersebut, meninggalkan surat wasiat di rumahnya yang menyatakan siap untuk mati syahid.

Kasus ini seolah mengkonfirmasi hasil survey yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2017 lalu. Di mana ada peningkatan pandangan keagamaan yang radikal di kalangan generasi Z yang terlahir pada dekade 90-an hingga 2000-an awal. Temuannya adalah sebesar 37.71 persen memandang bahwa jihad adalah perang, terutama perang melawan non – muslim. Selanjutnya 23.35 persen setuju bahwa bom bunuh diri itu jihad Islam. Lalu yang tak kalah mengerikan 34.03 persen setuju jika ada umat muslim yang murtad maka harus dibunuh. Temuan lainnya 33,04 persen berpendapat perbuatan intoleran terhadap kelompok minoritas tidak masalah.

Jika merujuk pada riset yang dilakukan Setara Institute dalam laporan risetnya yang berjudul Dari Radikalisme Menuju Terorisme (2012) prilaku radikal bertransformasi menjadi gerakan terorisme ini, berawal dari aktivitasnya dalam pengajian-pengajian yang bersifat eksklusif. Anak muda yang baru mendalami agama akan mudah dicekoki dengan doktrin-doktrin radikal. Fenomena ini, berkaitan erat dengan trend hijrah yang dewasa ini begitu popular. Yakni fenomena perpindahan pandangan ruhaniah seseorang. Dari yang dulunya bergelimang kemaksiatan, lantas bertobat dan menjadi hamba-hamba yang taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun, di balik semangat ketaatan tersebut, ada anomali yang menjebak para pelaku “hijrah” tersebut ke dalam perilaku beragama yang tekstualis dan radikal. Bahkan, tak sedikit yang kemudian terlibat dalam gerakan-gerakan ekstrim yang berujung pada aksi teror.

Baca juga:  Berjiwa Muhammad

Hijrah dan radikalisme memang tak terpaut secara langsung. Bahkan, bertolak belakang jika dipahami secara benar. Namun, anomali yang menjadikan fenomena hijrah dewasa ini sebagai pintu masuk ke radikalisme adalah kecenderungan untuk melakukan praktik keberagamaan yang instan, dekat dengan mereka, tidak rumit dan tak memunculkan kebimbangan. Hal inilah yang kemudian menjebak mereka dalam pemahaman keagamaan yang kaku, hitam-putih, dan akhirnya mudah menyalahkan terhadap perilaku beragama yang berbeda dengan dirinya.

Pelaku bom bunuh diri Gereja Katedral Makasar juga melampui tahapan yang sama. Sebagaimana dilansir tribunnews.com (https://www.tribunnews.com/nasional/2021/03/29/pelaku-bom-bunuh-diri-di-makassar-marahi-ibunya-karena-baca-barazanji-bidah-katanya?page=2) pelaku mengalami perubahan cukup signifikan setelah aktif dalam pengajian-pengajian yang tak diketahui pasti para tetangganya. Dari sana kemudian muncul sikap radikal. Orang tuanya yang melaksankan selawat al-Barzanji dilarang karena dianggap bid’ah. Ia juga tak mau makan daging sembelihan tetangganya karena bukan bagian dari kelompoknya.

Dengan rangkaian fakta yang demikian, fenomena berhijrah di kalangan anak muda ini, perlu mendapat perhatian serius. Semangat religiusitas yang tumbuh memang baik di tengah kebobrokan moral yang melanda sebagian anak muda. Seperti halnya pergaulan bebas, narkoba dan afiliasi pada kelompok-kelompok criminal. Namun, bukan berarti lantas menerima begitu saja saat ada aktivitas keagamaan, tanpa terlebih dahulu menyelidiki pahamnya secara utuh.

Fenomena hijrah haruslah menuju tempat yang baik. Jangan sampai semangat hijrah justru menjerumuskan pada kesengsaraan. Jika fenomena hijrah ini dilekatkan dengan peristiwa yang dialami Nabi Muhammad, jangan sampai kita salah berhijrah ke Thaif. Di Thaif ini, Nabi Muhammad bukannya mendapatkan perlindungan, justru memperoleh siksaan. Oleh karena itu, pastikan semangat hijrah kita mengarah ke Madinah.

Baca juga:  Kebingungan Memahami Gus Dur

Lantas pertanyaannya, di manakah letak “Madinah” yang harus dituju oleh anak-anak muda yang sedang antusias untuk berhijrah ini?

Agar tak salah dalam melangkah di dalam mengarungi aneka pemahaman keagamaan dalam Islam, Nabi Muhammad menegaskan untuk mengikuti kelompok mayoritas (aswadul a’dzam). Sebagaimana ditegaskan dalam sabdanya:

“Sesungguhnya Allah memberikan jaminan bahwa umatnya tidaklah akan bersekongkol untuk menyepakati kesesatan, keberpihakan Allah adalah pada Jama’ah, barang siapa yang menyimpang dari konsensus mayoritas berarti bahwa ia mengasingkan diri menuju neraka”. (HR. Al-Turmudzi)

Dalam konteks Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah representasi dari konsensus mayoritas (aswadul adzam) sebagaimana dimaksud di atas. Tak ada organisasi keagamaan yang memiliki anggota sebesar NU di Indonesia, bahkan di dunia. Sebagaimana hasil survey yang dirilis oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA pada 2019 lalu, jumlah warga NU mencapai 49,5 persen dari populasi muslim Indonesia yang mencapai 87 persen. Jika penduduk Indonesia sejumlah 250 juta jiwa, maka yang berafiliasi dengan NU tak kurang dari 108 juta warga.

Tak hanya itu, organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari beserta ulama se-Jawa-Madura ini, memiliki sanad keilmuan yang tersambung hingga ke Rasulullah. Melalui imam madzhab dan literatur klasik yang terwariskan dari masa ke masa menjadi jaminan adanya pemahaman keagamaan serta tafsirannya yang sesuai dengan spirit ajaran Nabi Muhammad yang mengutamakan welas asih bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin).

Selain itu, NU yang memiliki struktur dari pusat hingga ke Anak Ranting di dusun-dusun menjadikan jaminan kemudahan untuk belajar. Ada ribuan pesantren, madrasah, kampus dan surau-surau yang berafiliasi dengan NU yang siap mengajarkan keagamaan tiap saat. Belum lagi rumah-rumah para kiai yang senantiasa terbuka untuk melayani umat. Sehingga sebagai orang yang berhijrah tak akan sepi dari pertolongan dan bimbingan. Layaknya para kaum Anshor (orang-orang Madinah) yang menerima kaum Muhajirin (yang berhijrah dari Mekkah).

Baca juga:  Praktik Fikih Selama Pandemi (4): Bagaimana Pesantren Menghadapi Wabah?

Rekam jejak Nahdlatul Ulama pun tak diragukan lagi. Organisasi yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M ini, selalu berada di depan membela tanah air. Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mulai dari masa kolonial hingga era pemberontakan PKI. Dari masa Orde Baru hingga masa reformasi dewasa ini. NU tak satu pun tercatat dalam sejarah melawan kedaulatan negara. Karena mencintai tanah air bagi NU adalah bagian dari iman.

Dalam beragama pun sama. Rekam jejak NU senantiasa mengedepankan paham keagamaan yang moderat (tawasut) dan toleran (tasamuh). Sehingga hal ini menjadikan dakwah yang diemban oleh NU lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan. NU tak pernah memukul, namun berusaha untuk merangkul.  Sehingga saat ada orang yang memutuskan berhijrah dengan wasilah dari NU, tak akan ada ceritanya yang kemudian menjauhi orang tuanya karena dianggap berbeda atau bahkan terlibat dalam aksi-aksi yang menjurus pada radikalisme dan tindakan teror.

Menurut Ketua Umum PBNU 1984-1999, KH. Abdurrahman Wahid, NU bukanlah tempat orang-orang baik. Tapi, tempatnya orang yang ingin menjadi baik. Oleh karena itu, mari kita berhijrah ke NU untuk bersama-sama menjadi manusia baik, di mata sesama, lebih-lebih di mata Allah SWT. (*)

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top