Dalam kitab al-Mustathraf karya Muhammad bin Ahmad bin Manshur al-Ibshihi, Imam al-Ashma’i menceritakan pengalamannya saat melintas di suatu perkampungan dan menemukan batu besar yang di atasnya terukir bait puisi cinta.
أ يا معشر العشّاق بالله خبروا
إذا حل عشق بالفتى كيف يصنع
Demi Tuhan! Wahai para pencinta, tolong katakan padaku
Apa yang harus dilakukan seorang pemuda saat cinta bersemi di hatinya?
Merasa tergugah pada puisi yang ditulis oleh pemuda yang mabuk cinta, al-Ashma’i menjawabnya dengan menulis bait puisi di bawahnya.
يداري هواه ثم يكتم سرّه
ويخشع في كلّ الأمور ويخضع
Orang itu harus mengobati cintanya lalu menyimpan rapat rahasianya
Tabah atas semua persoalan sambil menenangkan diri
Pada hari berikutnya, al-Ashma’i kembali lagi ke tempat semula. Ia mendapati puisi yang ia tulis sebelumnya sudah mendapat balasan dari pemuda yang dimabuk cinta.
فكيف يداري والهوى قاتل الفتى
وفي كلّ يوم قلبه يتقطع
Bagaimana ia mengobati dirinya sedangkan cinta membunuh sang pemuda
Dan hari demi hari, hatinya terus tercabik-cabik?
Pada hari selanjutnya, al-Ashma’i kembali lagi ke tempat dia saling berbalas puisi di atas batu. Ia pun memjawab lagi puisi pemuda yang dimabuk cinta itu dengan bait berikut:
إذا لم يجد صبرا لكتمان سرّه
فليس له شيء سوى الموت أنفع
Bilamana ia tidak bisa bersabar atas apa yang menimpanya
Maka tak ada yang lebih baik atas dirinya selain kematian
Pada hari ketiga, al-Ashma’i datang kembali untuk yang terakhir kalinya. Ia begitu terkejut saat mendapati seorang pemuda tak bernyawa tergeletak di dekat batu. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pemuda itu masih sempat menuliskan bait pamungkasnya di atas batu:
سمعنا أطعنا ثم متنا فبلغوا
سلامي على من كان للوصل يمنع
Aku dengar dan patuh (pada sarannya) hingga aku mati
Maka tolong sampaikan salamku pada orang yang terpisah jauh dariku
Wallahua’lam.