Sedang Membaca
Baba Tahir, Sufi Penyambung Aspirasi Rakyat
Ulummudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baba Tahir, Sufi Penyambung Aspirasi Rakyat

Siang itu langit Hamedan tampak cerah. Hujan musim semi baru saja turun menyisakan hawa yang khas. Saya berjalan menyusuri jalanan kota ini dengan penuh gairah. Tiba-tiba ada seorang pria paruh baya bersepeda yang menghentikan langkah saya. Namanya Agha Husaini. Ia merasa asing dengan wajah saya yang berbeda dengan masyarakat sekitar.

Setelah mengetahui saya dari Indonesia, Agha Husaini menawarkan dirinya untuk menjadi guide dadakan selama saya di Hamedan. Saya pun dengan senang hati menyambut ajakannya. Saya meminta tolong untuk diantarkan ziarah ke tokoh sufi yang ada di sini. Lantas, ia membawa saya ke makam seorang sufi sekaligus penyair yang bernama Baba Tahir.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya saya akan berziarah ke sana karena Baba Tahir bukanlah nama populer seperti Bayazid Busthomi atau al-Ghazali. Namun, pertemuan saya dengan Agha Husaini telah membuka wawasan saya tentang khazanah dunia spiritual Persia.

Tanah Persia memang merupakan lahan yang subur dalam perkembangan mistisisme dalam Islam. Tentu saja, Khurasan, wilayah timur Persia menjadi tempat paling terkenal terkait bidang ini. Riuhnya mistik di tempat tersebut sampai juga merambah ke bagian barat negeri ini. Salah satu sufi yang masyhur di sana adalah Baba Tahir Uryan.

Makam Baba Tahir ini berdekatan dengan makam Ibnu Sina yang terletak di kota Hamedan. Makamnya berada dalam satu komplek yang di dalamnya terdapat taman yang mengelilinginya. Makam para tokoh dan penyair di Persia memang umumnya selalu berada di tengah-tengah taman. Ini seakan mewakili jiwa penyair yang selalu menebarkan keindahan melalui kata-kata yang membius pembaca.

Baca juga:  Tasawuf Menggilas Ekstremisme di Maroko
Makam Baba Tahir (foto: penulis)

Makam Baba Taher sendiri berada dalam sebuah bangunan yang berdiri setinggi 20 meteran. Di atap bangunan tersebut terdapat kubah berwarna biru langit. Sementara, di bagian luarnya dihiasi oleh 12 pilar yang mengelilingi bangunan utama. Posisinya berada di tengah-tengah taman yang dipenuhi oleh bunga yang sedang mekar di musim semi.

Agha Husaini yang menemani saya ke dalam makam menceritakan sekilas tentang Baba Tahir. Ia adalah seorang sufi dari Hamedan yang hidup pada masa dinasti Seljuk menguasai Persia abad 11 Masehi. Ia dikenal sebagai bijak bestari yang senantiasa memberikan pencerahan dengan syair-syair indahnya. Oleh karenanya, ia dipandang sebagai salah satu penyair sufi pertama yang memasukkan unsur mahabbah dalam literatur Persia.

Genre syair-syairnya lebih bernuansa mistik daripada filosofis. Ia menulis syair dalam bahasa Persia abad pertengahan dialek Hamedan yang dikenal dengan do bayti, puisi empat baris yang tidak umum saat itu. Selain dalam bahasa Persia, ia juga menulis syair dalam bahasa Arab. Puisi-puisinya masih sering dibaca oleh masyarakat Iran sampai saat ini.

Yang paling fenomenal dari Baba Tahir tentu saja pertemuannya dengan Sultan Seljuk yang bernama Tughril Beig. Diceritakan dalam kitab Rahat al-Shudur, suatu ketika rombongan kerajaan pimpinan Tughril berpapasan dengan Baba Tahir. Seketika, Sultan Tughril menghentikan rombongannya, lalu ia turun dari kuda dan mencium tangan Baba Tahir yang diikuti oleh pasukannya.

Baba Tahir lantas melontarkan pertanyaan, “Apa yang akan engkau lakukan terhadap hamba-hamba Tuhan?”. Mendengar pertanyaan tersebut Tughril menjawab bahwa dia akan memperlakukan hamba-hamba Tuhan sebagaimana Baba Tahir perintahkan. Kemudian, Baba Tahir menimpali dengan mengatakan “Perlakukan hamba-Nya dengan penuh keadilan dan keramahan”.

Baca juga:  Sastra Sufistik dari Seorang Sufi Ahli Farmasi

Kisah tersebut menggambarkan bahwa Baba Tahir mempunyai posisi yang spesial perihal hubungannya dengan kekuasaan. Kedudukan ini dimanfaatkan beliau untuk mengingatkan pemimpin akan tanggung jawabnya. Ia menyuarakan aspirasi masyarakat yang tidak mempunyai akses langsung kepada penguasa.

Sikap inilah yang harus dimiliki oleh para pemuka agama. Mereka harus konsisten dengan tugasnya yakni sebagai pengingat bukan pemecah belah umat. Masyarakat butuh sosok ulama yang dari kata-katanya terpancar kesejukan dan kebijaksanaan bukan cacian dan makian.

Agha Husaini lebih lanjut menjelaskan walaupun Baba Tahir seorang ahli sunnah, tetapi itu tidak menghalangi masyarakat Syi’ah untuk menghormatinya. Baba Tahir dikenang bukan karena identitasnya, melainkan ajarannya yang dengan kata-kata hikmahnya dapat membimbing manusia menuju jalan kebenaran.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top