Manuskrip ini berkode Or. 5567, tersimpan di bagian Koleksi Khusus dari Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dalam manuskrip ini terkandung satu kopian lengkap dari kitab Wulang Haji. Naskah tersebut ditulis di kertas dalam bahasa Melayu dengan aksara Pegon-Jawi dan Latin. Setiap satu halaman tulisan dengan aksara Pegon-Jawi akan diikuti di halaman baliknya dengan tulisan dalam aksara Latin. Kopian ini dibuat oleh Raden Poerawidjaja pada awal abad ke-20, sebelum tahun 1908. (Jan Just Witkam 2007)
Teks dari kitab Wulang Haji sendiri adalah karya dari seorang Kepala Penghulu (Hoodf Panghulu) Tanah Karawang, Jawa Barat, bernama Raden Moehamad Hoesen. Kitab ini selesai ditulis oleh Raden Moehamad pada 1 September, 1873. Kitab ini disusun seluruhnya dalam bentuk prosa dan syair. Secara keseluruhan terdapat 2.364 kata yang menyusun 332 bait syair. Semua syair itu terbagi ke dalam 83 sajak-empat-baris. Lihat informasi bibliografi dari manuskrip tersebut selengkapnya di laman https://mcp.anu.edu.au/N/WHaji_bib.html.
Dalam kopian yang kita bahas di sini, semua isi kitab ini dituliskan dalam 72 halaman yang terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama, bagian pembukaan dalam bentuk prosa. Kedua, bagian inti dari kitab ini, berisi anjuran-anjuran untuk berhaji. Terakhir adalah bagian penutup yang disusun dalam bentuk prosa.
Tema utama kitab ini, sebagaimana tergambar dari judulnya, adalah ajaran-ajaran yang perlu diperhatikan oleh seorang Muslim yang akan, sedang, dan telah pergi haji. Ambil sebagai contoh anjuran penulis agar ketika berhaji seorang Muslim itu berhati-hati dan berhemat dalam mengeluarkan uang.
Selain itu, Raden Moehamad juga memberitahukan bahwa seorang yang sedang haji hendak bersiap menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi baik ketika di perjalanan maupun ketika sampai di Tanah Suci.
“Gila–Haji”
Kitab ini merekam beragam ekspresi dan situasi masyarakat Nusantara abad ke-19 mengenai proses berangkat ke Tanah Suci. Salah satunya catatan unik mengenai usaha keras masyarakat untuk bisa berhaji, yang masih dapat kita lihat di masa kini, terbukti dengan panjangnya antrean haji sekarang, ternyata “kebiasaan” yang sudah ada sejak masa itu.
“Gila-Haji” semacam ini dinilai positif bila menjadikan seseorang bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan harta dengan cara halal agar bisa menjadi bekal memenuhi rukun Islam kelima itu. Namun, ia bisa menjadi negatif pula. Misalnya, ketika seorang yang tidak mampu secara finansial memaksakan diri untuk berhaji. Inilah yang terekam dalam kitab Wulang Haji. Yaitu tentang orang-orang yang tidak mampu mempersiapkan bekal baginya untuk berhaji, dan bila dia kepala keluarga, tidak pula bekal bagi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya yang ditinggalkan di Tanah Air.
Dalam bagian yang berisi syair, mulai dari sajak-empat-baris nomor 1 hingga 6, Raden Moehamad secara jelas merasa perlu untuk mendiskusikan secara khusus gejala “Gila-Haji” ini. Berikut ini adalah transkrip syair tersebut yang saya sesuaikan dengan ejaan dalam bahasa Indonesia.
1. Ingatkan saudara biar mengerti
jangan menurut yang tiada mesti
timbang diri dengan hati-hati
dapat selamat sudahlah pasti
2. Banyaklah orang kena perdaya
merasa dirinya mendapat mulia
pergi di Makkah dengan sia-sia
anak istrinya dibikin aniaya
3. Banyak yang pergi sebelum mestinya
dengan minta-minta buat bekalnya
tinggal di rumah anak istrinya
tiada cukupkan makan pakaiannya
4. Sampai merasa dia punya diri
putar keliling seantero negeri
minta-minta ke sana ke mari
cuma tiada* dapat lantas mencuri
5. Tiada ingatkan dirinya rugi
berjalan jauh sore dan pagi
hilang pelajaran berbagi-bagi
yang tunggu rumah kurang dibagi
6. Anak istri dapat sengsara
membikin pusing sanak saudara
terlalu bodoh kurang mengira
di belakang kala dapat perkara
*Di teks aslinya adalah “tara” yang merupakan bahasa Sunda untuk “tiada”.
Pada masa itu, Raden Moehamad mencatat bahwa banyak yang pergi haji namun sebenarnya belum memenuhi syarat wajibnya. Yaitu kemampuan finansial untuk membiayai perjalanannya dan “makan-pakaian” bagi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya yang ditinggalkan di rumah. Untuk bisa pergi ke Makkah mereka sampai minta-minta, bahkan jika perlu mencuri sebagai bekalnya. Penulis akhirnya mengancam bahwa mereka yang bertindak semacam ini bahwa setelah pulang akan mendapat masalah dengan pihak keamanan yang digambarkan dengan kata “mendapat perkara”.
Bagi masyarakat Indonesia berkunjung ke Rumah Suci telah sejak lama seakan menjadi obsesi. Bahkan, di masa sekarang, ia membuka peluang bisnis yang sangat menggiurkan dari jamaah yang ingin berumrah dan berhaji. Biro-biro haji dan umrah muncul bak jamur di musim hujan, bertebaran di seantero negeri. Namun hati-hati bagi mereka yang mengambil jalan sesat menyangkut perjalanan ke Tanah Suci. Biro-biro yang tergiur uang besar semata dan berusaha menipu jamaahnya telah menjadi saksi kebenaran syair Wulang Haji. Bahwa mereka benar-benar mendapat “perkara” di pengadilan pada akhirnya nanti.