Sedang Membaca
Mengeja Inskripsi Qasidah Ibnu Zamrak di Alhambra
Maria Fauzi
Penulis Kolom

Alumni Al Azhar Cairo, CRCS UGM. Tinggal di Jogjakarta

Mengeja Inskripsi Qasidah Ibnu Zamrak di Alhambra

Ibn Zamrak Iec

Angin musim semi mampu menciptakan nuansa magis di Alhambra. Angin dingin dari utara bersatu dengan hangatnya angin selatan membuat iklim di kawasan ini  sempurna. Warna-warni bunga dengan segala jenis, udara segar, semilir angin dari puncak gunung Sierra Nevada membuat saya tak ingin beranjak dari bumi ini hingga penghujung musim tiba.

Tidak hanya itu, suara gemericik air yang tidak akan pernah berhenti mengaliri dan menghiasi fountain di tengah-tengah taman. Ooohh..damai sekali rasanya.

Alhamra, nama yang seringkali disebut oleh ratusan penyair, ilmuan, seniman bahkan oleh orang-orang di luar semenanjung Iberia beberapa abad silam. Kata Alhamra ini berasal dari bahasa Arab, merah artinya. Oleh lidah Spanyol, AlHamra sedikit bergeser menjadi “Alhambra”. Disebut merah karena istana Alhambra atau Alhamra ketika senja hingga malam tetiba memancarkan warna jingga tepat di atas bukit dengan background salju putih di puncak pegunungan Sierra Nevada. 

Aliran sungai sepanjang Alhambra sangat jernih, gemericik, dan tidak terlalu deras. Saluran irigasi untuk komplek istana berpusat dari puncak pegunungan Sierra Nevada, mengalir melalui dam-dam buatan berjarak sekitar 10 km dari istana yang secara langsung dialirkan ke taman, penjuru istana, hingga mengalir indah di bilik-bilik kamar sang sultan. Airnya jernih, bersih, dan segar. Saya berulang kali meneguk perlahan, mencoba merasakan air pegunungan Siera Nevada yang kisahnya berulangkali saya baca dalam syair-syair lawas Rumaykiya de Sevilla, salah satu penyair perempuan Andalusia yang menjadi permaisuri kerajaan Sevilla.

Adalah Jennat Al-Arif atau biasa disebut dengan Garden of the Architect, sebuah villa khusus sang raja yang berada di ujung taman Alhambra. Tepat di belakang Jennat Al-Arif adalah kawasan Albayzin, perkampungan orang-orang Arab terdahulu beradab-abad sebelum peristiwa Reconquista. 

Baca juga:  Tafsir Gus Baha dan Gitar Gus Alip Ponorogo

Dari dalam istana terlihat jelas sekali bukit-bukit berpenduduk padat di kawasan Albayzin yang didominasi warna putih berjejer dengan puluhan bahkan ratusan pohon pinus. Jalanan yang sempit, menanjak, dan berbatuan khas Maghribi menjadi keunikan Albayzin. Kata ini berasal dari segerombolan kawanan muslim yang berpindah dari kota Baeza ketika pasukan Kristen berhasil mengambil alih beberapa daerah di Andalusia pada abad ke-13. Perkampungan ini berada di seberang istana Alhambra, yang dipisahkan oleh sungai Darro. 

Beberapa warga Albayzin juga masih menggunakan bahasa Arab, mayoritasnya adalah imigran dari beberapa negara di Afrika Utara. Penjaja souvenir beradu kepiawaian untuk menarik konsumen dengan menggunakan berbagai bahasa, Spanyol, Inggris, Arab dan sesekali bahasa Jerman. Bermacam-macam, ada yang menawarkan keramik khas Andalusia, kain tenun Maroko sampai piring-piringan logam bertuliskan Alhambra. 

Saya melihat distrik Albayzin ini merupakan ilustrasi Granada ratusan tahun yang lalu. Umat Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai tanpa ada pemaksaan satu dengan yang lain. Memakai bahasa yang sama, yaitu Arab. Kultur, makanan, dan tradisi mereka yang tidak ada berbeda besar. Hingga pasukan Kristen di bawah seruan Archbishop Talavera mensterilkan seluruh wilayah Spanyol dari semua yang berbau Arab, Yahudi, dan muslim pada tahun 1502.

Tapi sekarang semua seolah berlalu. Distrik ini ingin memberikan kesan lain Granada yang baru, modern sekaligus eksotis. Tempat semua orang bisa duduk santai sembari menikmati Alhambra. Pemuda-pemudi Spanyol, juga keturunan Maroko muslim dan ribuan turis memadati jalan kecil nan sempit membawa memorinya masing-masing. Suara kicauan burung, gemericik air sungai Darro dan keheningan Albayzin membuat saya terbuai dengan Granada hari ini, Granada yang dibangun di atas puing-puing memori jutaan manusia, lintas agama dan peradaban.

Baca juga:  Menyoal Pseudo-Moral dan Pseudo-Relijiusitas Fotografi Indonesia

Puisi Sang Penyair

Kuffic merupakan seni kaligrafi yang paling mendominasi di seluruh bangunan Alhambra, terlebih di dalam istana Nasrid. Paling tidak, mata saya seakan tak berkesudahan menangkap rangkaian teks Arab yang terpahat indah di dinding, pilar bahkan di atap istana. Stucco-stucco khas arsitektur Moor, begitu juga dengan hiasan muqarnas menghiasi seluruh dinding dan sudut-sudut villa ini. Miniatur surga dibangun tepat di atas tanah Granada yang terpancar dari kemegahan istana Alhambra.

Rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an dan juga motto kerajaan yang berbunyi “Wa Lā Ghālib Illa Allah” berjejer rapi, sejajar dan memancarkan nuansa emas yang begitu aduhai. Pahatan demi pahatan sangat jelas terlihat dan berestetika tinggi.

Puluhan ikonografi yang terpahat di tiap sudut istana tak ada yang begitu saja hadir tanpa makna dan arti, ia dipahat melalui rangkaian syair dan juga qasidah pilihan yang dibuat oleh penyair kenamaan dan juga sekaligus sekretaris istana. 

Misteri di balik beragamnya iconography di istana Alhambra membuat saya harus berulang kali berhenti dan membaca dengan teliti satu per satu. Butuh kejelian dan perhatian lebih untuk bisa membaca aksara Arab dengan kaligrafi klasik yang terdiri dari untaian syair juga qasidah ini. 

1 Al Hamra 2
Petiksn Qasidah Ibnu Zamrak berada di di bawah simbol kerajaan Alhambra

Adalah Ibnu Zamrak seorang penyair kerajaan sekaligus negarawan Granada yang berada di balik puluhan syair di dinding istana Alhambra. Sebagai seorang wazir dan sekretaris pribadi, Ibnu Zamrak mendapat tugas yang cukup prestisius dari sang raja untuk menghiasi dinding istana merah Alhambra. 

Meskipun pesan yang disampaikan dalam qasidah tersebut berbeda satu dengan yang lain, bait-bait ini seakan menjadi saksi atas perjalanan kehidupan kerajaan Nasrid serta keindahan dan kegemilangan Alhambra. Bait-bait Ibnu Zamrak berada di beberapa bagian istana yaitu di ruangan The Court of the Lions, The Hall of Two Sister, Fountain of Daraxa’s Garden dan Daraxa’s Mirador. 

Baca juga:  Mbah Moen di Tangan Penyair

Rangkaian panjang puisi Ibnu Zamrak memenuhi hampir seluruh ruangan, dari yang menjuntai ke bawah hingga yang berbentuk horizontal. Ornamen dengan bentuk tumbuh-tumbuhan menjadi pelengkap atas keindahan puisi tersebut.

Selain itu, dekorasi dengan landasan geometri yang begitu rumit membuat beberapa pengunjung seolah turut mencerna makna yang terkandung dari kerumitan setiap struktur geometri.

Tidak hanya Ibnu Zamrak (1333-1393), kerajaan Nasrid mempunyai dua penyair lain yang bertugas membuat inskripsi di dinding-dinding dan penjuru istana. Mereka adalah Ibn al-Yayyab (1274-1349) dan Ibn Jatib (1313-1375), sekretaris kerajaan yang juga ditugaskan untuk menghiasi istana dengan syair-syair indah yang berkisah tentang keindahan istana merah dan ragam pujian untuk sang Raja. 

Berikut salah satu petikan syair Ibn Zamrak yang menggambarkan keindahan istana;

I am a garden adorned by beauty

You will know my being if look at my beauty

For Muhammad, my king, a pair I wear

The noblest thing that will or has been…

 

Blessed but He who granted the imam Mohamed

The beautiful ideas to decorate their mansions

Well, is there not in this garden wonders

God has made incomparable in their beauty

And a sculpture of pearls transparent clarity

Whose edges are decorated with fringe of seed-pearl?

Melted silver flows through the pearls,

Resembling the dawn and pure beauty.

 

1 Al Hamra 3
Ikonografi syair dari beberapa penyair kerajaan Nasrid terpahat di dinding ini.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top