Sobih Adnan
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Buntet dan KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Aktif memberikan workshop penulisan di pesantren. Sesekali menulis puisi juga. Kini bekerja sebagai editor konten di Metro TV.

Tips Nyaleg ala Kitab Alfiyah Ibnu Malik

RAMPUNG sudah babak pertama pendaftaran bakal calon legislatif (bacaleg) untuk musim pemilu tahun depan. Jumlahnya, jangan ditanya. Untuk 560 kursi di tingkat pusat saja, kabarnya siap diperebutkan 7.795 orang.

Belum lagi jika menghitung seluruh kursi di semua tingkatan parlemen se-Indonesia. Satu partai politik (parpol), bahkan ada yang mengerahkan sampai 20.000 lebih kader dan non-kadernya guna mencari peruntungan di kursi dewan. Alhasil, nyaleg bukan perkara sembarang. Mestinya, yang kelak lolos pun adalah sebenar-benarnya manusia pilihan.

Lantas, bagaimana cara memenangi kontestasi dengan jumlah peserta yang amat berdesakan?

Jawabannya, tak perlu menyewa konsultan politik dengan bayaran yang kian mahal. Bagi yang pernah mesantren, cukup bertawasul kepada pengarang kitab paling masyhur, yakni, kepada Imam Ibnu Malik, yang di dalam al-Khulasa al-Alfiyyah-nya tersimpan banyak trik politik dan strategi jitu menjadi manusia pilihan.

Niat

Niat baik, menjelma gerbang untuk segala usaha dan perbuatan. Termasuk, ketika menekatkan diri terjun dalam pertarungan politik. Salah niat, bisa-bisa malah mengantarkan seseorang menjadi penjahat. Ditemukannya politisi dengan perilaku korup, picik, dan tak bertanggung jawab, barangkali memang sudah salah sejak dalam niat.

Dalam Alfiyah, Ibnu Malik menempatkan niat dan kebaikan di atas sesegala. Malah pada bait ke-127, separuh pertamanya mengemukakan ungkapan tentang selemah-lemahnya kebaikan.

Baca juga:  Gemuruh Hati Melepas Anak Berangkat ke Pesantren

Wa raghbatun fi al khair khairun wa amal. Senang terhadap kebaikan adalah kebaikan itu sendiri.

Persoalannya, nyaris sebagian besar caleg, toh, memiliki niat melakukan perubahan. Cuma ketika sudah terbius jabatan, merasa lain urusan.

Memilih parpol

Farfa’ bidzamin wa anshiban fathan wajur # kasran kadzikrullahi abdahu yasur

Sebenarnya, sepenggal nazam Alfiyah di atas sedang menerangkan tentang penanda perubahan kalimat (i’rab) dalam bahasa Arab. Lantaran, konsens kitab ini memang membahas tata bahasa Arab yang sarat dengan perubahan bunyi di setiap akhir kalimatnya. Masyarakat pesantren menyebutnya, ilmu nahwu.

Yang menarik, tamsil kalimat yang diunggah sang pengarang melulu tidak bersifat nganggur. Hampir di setiap percontohan, terselip pesan bahkan kode yang bisa diterjemahkan ke dalam banyak bidang. Salah satunya, politik.

Terjemahan kasarnya, ada 4 penanda dasar dalam i’rab, yakni, damah untuk rafa’, fathah untuk nashab, kasrah untuk jar, dan sukun untuk jazm.

Para ulama Nahwu kerap mengibaratkan rafa’ sebagai posisi puncak, unggul, atau luhur. Nasab, sesuatu yang terbuka. Jar, untuk sesuatu yang ringan dan titik rendah, sementara jazm, sebagai kode kevakuman.

Jika dikaitkan lebih lanjut, damah bermakna kumpul, fathah adalah membuka, kasrah berarti melanggar, sementara sukun; diam, atau mati.

Dus, apabila bait di atas dianggap sebagai petunjuk dalam memilih parpol untuk nyaleg, amanatnya, pilihlah parpol yang solid agar mampu meraih suara unggul. Bukan parpol yang dalam internalnya sendiri terdiri dari kubu-kubu dan faksi. Begitu pula, pilihlah parpol yang terbuka, bukan kendaraan politik yang mirip perusahaan keluarga.

Baca juga:  Kajian Turats Ulama Nusantara bagi Pengembangan Keilmuan di Ma’had Aly

Program kerja

Amat disayangkan jika belakangan para politisi Indonesia masih dibilang sepi gagasan. Mereka, konon, lebih banyak mengandalkan uang, latar belakang ketenaran, bahkan bermain sensitifitas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Padahal, gagasan menjadi daya tawar penting di depan konstituen. Untuk itu, apabila seseorang caleg berniat menapaki laku Alfiyah, maka merumuskan program kerja yang baik menjadi keharusan.

Dalam kitabnya, Ibnu Malik bilang;

Kalamuna lafdzun mufidun kastaqim. Ucapan seseorang mesti memiliki manfaat dan bersifat konsisten.

Caleg harus menyadari betul apa yang tengah dibutuhkan calon pemilihnya.

Dalam kampanye, ia tak boleh ngomong ngawur dan nganggur. Apalagi, mencla-mencle. Gagasan yang cemerlang dan komitmen tinggi, sudah barang tentu membuat elektabilitas seorang tokoh kian moncer dan maju.

Pencitraan

Gagasan saja, ternyata tidak cukup. Begitu juga sebabak pencitraan, tidak selalu bernilai buruk.

Apabila seorang praktisi politik mampu memadukan keduanya, niscaya satu daerah pemilihan (dapil) tak mudah berpaling ke lain pilihan.

Dalam Alfiyah, kode ini termaktub pada bait ke-448;

Wazakkihi tazkiyatan wa ajmila # ijmala man tajammulan tajammala. Bersihkan sebersih-bersihnya, perindah seindah-indahnya. Sebagaimana orang yang memperindah dengan semestinya.

Pantang menyerah

Tips berikutnya adalah tangguh dan tahan banting. Tentu, bukan politisi namanya jika gampang main hati alias baperan.

Baca juga:  Mengunjungi Penerbit Mustafa al-Babi al-Halabi yang Hampir Mati (?)

Imam Ibnu Malik, merangkai motivasi cukup apik mengenai hal ini. Dalam bait ke-302, ia sebutkan;

La aq’udul jubna anil hijai # walaw tawaalat zumaral a’dai. Tak berpangku tangan kala berperang, meskipun musuh bertubi-tubi datang.

Kode lain dalam bait ini, barangkali memang diperuntukkan pula bagi para pemain lawas. Caleg tahunan, yang sebelum-sebelumnya gagal tak perlu jadi pengganjal. Maju terus, sampai impian menjadi anggota dewan tercapai.

Seperti itulah kira-kira Ibnu Malik memberi kunci kepada para pembacanya yang -mungkin- berminat dalam perebutan kursi anggota dewan. Walaupun sebenarnya, Ibn Malik juga mempunyai bait yang berbunyi;

Waqaddimil akhasha fi ittishali # waqaddi man ma syi’ta fi infishali. Dahulukanlah orang yang berkompeten dalam urusan pangkat dan jabatan. Lantaran, untuk berkarya, tak semuanya harus di jalan yang sama.

Intinya, sadar diri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top