Sedang Membaca
Pola Zakat Fitrah yang Diamalkan KH. Bisri Syansuri dan KH. Abdul Wahab Hasbullah
Yusuf Suharto
Penulis Kolom

Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim, dan Tim Penulis Khazanah Aswaja.

Pola Zakat Fitrah yang Diamalkan KH. Bisri Syansuri dan KH. Abdul Wahab Hasbullah

Saat mengaji bab zakat di Masjid Jami’ Al-Fattah, Nglundo Utara, Candimulyo, Jombang, Jatim, pada Sabtu (9/6/2018) bakda Tarawih, Wakil Ketua PCNU Jombang, K.H. Amirul Arifin menjelaskan bahwa panitia zakat di Musala dan Masjid bukanlah terkategori amil. Dengan demikian, panitia yg dibentuk satuan masyarakat ini tidak berhak menerima zakat.

“Status panitia zakat di masjid dan musala ada dua macam,” tuturnya.

Pertama, panitia sebagai wakil muzaki (pezakat) untuk diserahkan ke mustahik atau penerima zakat.

Dalam status ini, panitia tidak boleh menjual zakat. Tidak boleh mengambil atau mengurangi sedikitpun dari zakat tersebut. Bahkan mengambil untuk sekedar beli kresek pun tidak boleh. “Seratus persen harus diberikan kepada mustahik,” tegasnya.

Diberikan ke masjid tidak boleh. Diberikan ke organisasi juga tidak boleh. “Penerima zakat harus person atau orang,” tambah K.H. Sholeh, Wakil Rais Syuriyah PCNU Jombang.

Kresek yang dibeli dari uang masjid juga tidak boleh. “Karena uang masjid hanya boleh untuk kebutuhan masjid,” tambahnya.

Beras pezakat juga tidak boleh dicampur dalam karung. Sebab jika ada orang miskin berzakat, lalu berasnya dicampur oleh panitia. Lalu dibagi. Ternyata si miskin tadi diberi, dan dalam beras yang ia terima ada berasnya sendiri, satu butir saja, maka ini haram.

Baca juga:  Muhammad dalam Mitos dan Realitas

Kedua, panitia berstatus sebagai mustahik. Jadi dalam panitia ada mustahik yang dipasang sebagai penerima.

Mustahik yang paling mudah dicari yakni miskin. Menurut Imam Al-Ghazali, orang miskin adalah yang persediaan makanannya tidak cukup untuk setahun,” kata Kiai Sholeh.

Misalnya, di panitia itu ada orang kaya 1, 2 dan 3.  Lalu ada yang miskin A, B dan C. Maka yang bagian nampani (menerima) zakat dari pezakat adalah A, B dan C. Pezakat ketika menyerahkan bilang, “Pak, Zakatku saya berikan ke Njenengan.” Penerima menjawab, ‘nggeh,’ sambil mendoakan. Semua zakat yang diterima dengan pola ini statusnya berarti sudah menjadi milik mustahik A, B dan C.

Namun sebelumnya, panitia 1,2,3 dan A,B,C sudah bermusyarawah bahwa nanti beras yang terkumpul akan dibagikan pada mustahik yang lain, yakni panitia, guru TPQ, imam dan untuk kebutuhan operasional. Bahkan diberikan untuk masjid dan organisasipun boleh.

Kiai Sholeh menyatakan, pola kedua ini sejak dulu sudah dipraktikkan KH. Bisri Syansuri Denanyar dan KH. Abdul Wahab Hasbullah Tambakberas.

KH. Asyharun Nur, Ketua MWC-NU Jombang juga menyatakan bahwa seluruh musala dan masjid di Tambakrejo sudah melaksanakan pola kedua ini. Dan bisa mengalokasikan buat NU.

Mas Jejen juga menyatakan di Masjid Al-Karomah sudah lama dipraktekkan. H. Muslih, dari Musala Baiturahman matur, sudah sekitar tujuh tahun mempraktikkannya.

Baca juga:  Sarung, Madura, dan Inferioritas

Kiai Sholeh menambahkan, yang wajib zakat fitrah, yakni orang yang punya persediaan makan dua hari. Hari terakhir Ramadan dan hari pertama lebaran.

Misalnya ada orang miskin yang tidak punya apa-apa, namun malam takbiran diberi zakat yang cukup untuk dua hari, maka dia wajib zakat. Atau orang miskin yang punya persediaan makan dua hari itu hanya punya uang Rp 5 Ribu. Maka dia bisa mendatangi panitia model kedua tadi. Guna membeli paket beras zakat hanya dengan uang Rp 5 Ribu. Lalu beras itu dibayarkan kembali.

Panitia model kedua bisa menjual paket beras zakat murah, karena beras itu statusnya sudah menjadi milik mustahik yang bagian menerima zakat. Ini sangat membantu agar orang-orang miskin bisa menunaikan zakat.

Kiai Sholeh juga mengingatkan bahwa yang wajib niat zakat adalah orang yang wajib mengeluarkan zakat. Suami wajib mengeluarkan zakat untuk istri dan anak. Maka yang wajib meniati zakat istri dan anak adalah suami.

Distribusi zakat harus di lingkungannya. Memindah penyaluran zakat keluar desa hukumnya haram. “Misalnya yang zakat orang Candimulyo, kok dibagikan kepada orang Tambakberas, ini tidak boleh.”

Beliau juga mengingatkan agar membagi zakat berdasarkan skala prioritas yang disampaikan Imam Ghazali.

1. Mengutamakan mustahik yang takwa. “Ada orang miskin rajin ke masjid, satunya tidak pernah ke masjid. Maka didahulukan yang rajin ke masjid.”

Baca juga:  Santri, Ilmu Kanuragan, dan Kètab Potèh

2. Mengutamakan mustahik yang berilmu. “Satunya mau hadir pengajian, satunya tidak. Maka diutamakan yang mau ngaji.”

3. Mengutamakan mustahik yang tanggungannya berat atau banyak. Misalnya sakit atau menanggung orang sakit atau punya anak banyak.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top